Maria Loretta, Pahlawan Pangan Indonesia

 

“Kenapa malu makan pisang? Takut dibilang miskin?”

 

[NATGEO INDONESIA] – Sebagian besar orang mungkin tidak akan menyangka kalimat ini keluar dari mulut seorang perempuan sederhana berbalut kebaya ungu. Tubuh mungil dan konde berhiaskan bunga, tidak memperlihatkan sosok perempuan keras yang mampu berkeliling Flores, Nusa Tenggara Timur, hanya untuk mencari bibit pangan lokal.

Tapi itulah Maria Loretta, petani berlatar belakang sarjana ilmu hukum yang berkontribusi besar melestarikan sumber daya alam lokal di Flores. Berkat kegigihan dan kerja kerasnya memburu benih di seluruh wilayah itu, Maria berhasil melestasikan pangan lokal seperti sorgum, jelai, beras hitam, dan jewawut.

Tidak mudah melakukannya, karena semua itu harus dilakukan ibu dari empat anak ini dengan modal sendiri. “Berburu benih itu menghabiskan uang cukup banyak karena transportasi itu tidak banyak (di Flores). Kenapa saya harus berburu? Karena saya ingin menyelamatkan plasma nutfah-nya,” kata Maria saat ditemui di Gedung Usmar Ismail, Jakarta, akhir Februari 2012 lalu, saat ia memenangkan KEHATI Award 2012 untuk kategori Prakarsa Lestari Kehati.

Maria awalnya tidak menyangka akan jadi petani. Namun, sesudah menikah, perempuan berdarah Dayak ini diboyong suaminya ke Flores dan tidak memiliki aktivitas berarti. Dengan modal yang ada, Maria kemudian berinisiatif membudidayakan pangan lokal yang ada di sekitar Flores.

Bibit ini dicarinya hingga ke wilayah terpencil di Flores. Ketika akhirnya ditemukan, bibit itu kemudian dibarter Maria dengan gula atau kopi. Bibit termahal yang dibelinya adalah Sorgum Merah dari Desa Nobo, Kecamatan Ile Boleng. Untuk sepuluh kilogram bibit, Maria harus merogoh kocek hingga Rp 150.000. Itu belum termasuk ongkos kendaraan dan waktu yang dihabiskannya menuju Desa Nobo.

Ketika ditanya mengapa ia segigih itu melakukan pemburuan, Maria menjawab tegas,”Produk tanaman unggulan kita bisa menjawab isu tentang pangan yang melanda dunia. Kenapa kita harus berpikir untuk impor benih dari luar negeri?”.

Bibit hasil perburuan kemudian dibagikannya kepada petani sekitar rumah. Namun, tidak semua petani bisa mendapatkannya. Maria harus yakin lebih dulu jika petani tersebut mau dan mampu menumbuhkan bibit yang susah payah dicarinya. Selain itu faktor trauma juga jadi alasan. Sebab, pernah suatu kali bibit hasil buruannya malah dijadikan makanan babi oleh petani. “Saya tidak akan memberikan benih secara gratis kepada petani kalau itu tidak muncul dari kesadaran mereka,” ujar Maria.

Jerih payahnya akhirnya membuahkan hasil secara pribadi. Maria berhasil keluar sebagai juara Keanekaragaman Hayati (KEHATI) Award dalam kategori Prakarsa Lestari Kehati. Kategori ini diberikan pada individu/kelompok yang melestarikan keanekaragaman hayati. Atas kemenangan ini, Maria yang lahir 28 Mei 1969 berhak atas trophy dan hadiah uang Rp 25 juta.

“Maria orang yang sangat tegar dan bisa membuktikan bisa survive dengan keanekaragaman hayati yang ia kembangkan sendiri tanpa harus melulu beras,” ujar Endang Sukara, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang bertindak sebagai juri dalam KEHATI Award.

“Ia sangat konsisten, komit, dan bisa melakukan uji coba sehingga apa yang ia tanam sangat enak untuk jadi makanan,” tambah Endang soal alasan utama kemenangan Maria. :: [National Geographic Indonesia / Zika Zakiya]

Leave a Reply