Prof. Dr. Meutia Hatta: Kesetaraan Hendaki Perempuan Terjun ke Ranah Publik

 

Perempuan Berperan di Wilayah Publik Bukan Beban Ganda

meutia-hattaKapanlagi. com (11 Juni 2008) – Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono mengemukakan, kesetaraan perempuan dalam pembangunan hanya bisa dicapai apabila perempuan terjun dan mengambil peran ke wilayah publik dan berbagi peran dengan laki-laki untuk wilayah domestik, kata Meneg PP di Jakarta, Rabu (11/6).

Dengan adanya pembagian peran oleh perempuan dan laki-laki baik di wilayah publik maupun dalam pekerjaan domestik tersebut, maka keterlibatan perempuan dalam pembangunan bukan menjadi beban ganda bagi perempuan, ujar menteri.

Menneg PP Meutia Hatta menegaskan, keterlibatan perempuan pada ranah publik itu bisa dimaknai bahwa perempuan bersama-sama dengan laki-laki merumuskan rencana strategis pembangunan dan menjalankannya serta kemudian menikmati hasilnya.

Perempuan Indonesia menurut menteri sudah mencapai banyak kemajuan dalam mendapat pendidikan, kesehatan, bahkan juga di bidang politik.

Bukti prestasi perempuan misalnya terlihat dari banyak perempuan yang mengenyam pendidikan hingga ke tingkat perguruan tinggi, mempunyai kesempatan untuk aktif berpolitik, beberapa perempuan sudah menduduki jabatan publik seperti menjadi walikota, bupati, gubernur dan di bidang ekonomi juga banyak perempuan yang berhasil menjadi pengusaha.

Dalam bidang kesehatan, perempuan Indonesia juga semakin meningkat, bahkan angka harapan hidup perempuan pada tahun 2007 sudah mencapai 71,9.

Berbicara mengenai peran perempuan Indonesia di kancah politik, menurut Menteri Meutia Hatta, keterlibatan perempuan memang sangat penting karena diharapkan dapat menampung kebutuhan perempuan dalam kebijakan.

“Diharapkan tidak ada lagi peraturan atau keputusan-keputusan yang bias gender,” tegas menteri.

Perempuan di Indonesia mempunyai kesempatan yang luas untuk terjun ke bidang politik, dan pintu untuk itu sudah terbuka lebar, yaitu melalui sejumlah kebijakan yang dituangkan dalam Undang-Undang, misalnya UU no 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, UU no 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, UU no 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD.

Namun, Menteri mengingatkan agar para perempuan mengembangkan diri, pengetahuan dan wawasannya agar tidak sekedar menjadi obyek, tetapi subyek politik.

“Paling tidak harus paham kata-kata kunci dalam politik misalnya `bawaslu` itu apa, lalu jika masuk ke partai politik mesti tahu tujuan partainya,” ujarnya.

Menurutnya, kondisi perempuan Indonesia di kancah politik sekarang sedang dalam proses untuk menuju ke tingkat yang lebih baik, tetapi perlu didorong oleh kemauan dan kemampuan kaum perempuan sendiri untuk menangkap peluang tersebut dan memahami kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai individu, warga masyarakat dan warga negara, politik kata Meutia Hatta yang juga terjun ke Parpol dengan menjadi Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) itu.

Menneg PP mengemukakan, dalam memperingati 100 tahun Kebangkitan bangsa yang juga sekaligus sebagai momentum Satu Abad Kebangkitan Perempuan Indonesia, pemerintah RI sudah menghasilkan serangkaian Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang terkait dengan kepentingan perempuan terutama untuk memberikan perlindungan hukum.

Kebijakan tersebut adalah UU no 7 tahun 1984 pengesahan konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, UU no 1 tahun 2000 tentang pengesahan konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) nomo 182 mengenai Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, UU no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU no 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU no 12 tahun 2006 entang Kewarganegaraan, UU no 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.

Selain itu juga UU no 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU no 2 tahun 2008 tentang Partai Politik dan keputusan Presiden no 36 tahun 1990 tentang pengesahan Konvensi Hak Anak dan Inpres no 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender.

Kebijakan tersebut selain sebagai perlindungan pemerintah bagi warganya, khususnya perempuan, juga mengandung makna luas bahwa permasalahan perempuan merupakan bukan lagi permasalahan domestik, melainkan merupakan persoalan publik, katanya. (kpl/rif)

Leave a Reply