[cerpen] Buah Rahim

Oleh Endah Raharjo

Septi membuka jendela kamar tidur lebar-lebar. Aroma khas tanah dan rumput berembun segera tercium begitu ia menghirup udara kuat-kuat. Dibiarkannya kesegaran udara pagi masuk melalui dua lubang hidungnya, terus menuju paru-parunya, dan menyegarkan seluruh tubuhnya.     “Matahari yang sama. Rumput yang sama. Pagi yang baru,” bisiknya pada diri sendiri sambil memandang keluar jendela, membiarkan semua sel-sel tubuhnya menikmati sejuknya udara pagi.

Dua tangannya dengan lincah menyibak rambut panjangnya ke belakang, menggulungnya ke atas membentuk sanggul kecil yang manis. Lehernya tertimpa bias sinar lampu teritisan yang masih menyala, membentuk siluet yang eksotis.

“Udah bangun ya?” Ketukan pelan diikuti suara Febri terdengar dari balik pintu.
Wajah Septi menyembul begitu pintu terbuka, menyajikan senyuman pagi yang sangat dikenal Febri. Wajah manis yang mulai dihiasi sedikit keriput lembut di sekitar matanya. Keriput yang kentara ketika adiknya itu tersenyum, menandai kematangan pribadinya dan menambah kekuatan karakter pada wajahnya yang berdahi tinggi, bermata besar berbentuk buah zaitun, dan berbibir penuh.

“Semua sudah di sini?” Febri bertanya sambil menepuk-nepuk sebuah koper kulit hitam di atas sofa. Septi mengangguk pasti.
“Aku udah mandi lho. Tinggal ganti baju. Kita berangkat lebih awal dan sarapan di bandara saja,” kata Febri lagi sambil matanya mengikuti langkah adiknya yang menuju kamar mandi.

Seminggu ini Septi tidak banyak bicara. Febri juga tidak yakin apa masih ada lagi yang perlu dibicarakan yang akan mengubah ketetapan hati Septi.

“Kamu yakin tidak akan menyesal nanti kalau kamu benar-benar hamil?” tanya Febri seminggu yang lalu ketika ia baru saja tiba di rumah Septi.

“Aku mau punya anak, Mbak. Kalau laki-laki boleh menebar benih di mana saja ia mau, kenapa perempuan tidak boleh menanami sendiri rahimnya dengan benih yang ia mau?” Suara Septi terdengar sangat tajam.

Febri hanya bisa menarik nafas dalam-dalam mendengar jawaban adiknya. Sejak itu Febri tidak lagi menanyakan hal-hal prinsip, tapi lebih pada hal-hal teknis yang masih asing baginya.

Selama seminggu Febri membantu mengepak barang-barang Septi dan memisah-misahnya menjadi tiga, yang mau diberikan ke sepupu mereka dan teman-teman Septi, yang mau ia bawa ke rumahnya sendiri, dan yang ditinggal di rumah itu sebagai bonus untuk keluarga yang membeli rumah Septi.

Febri bisa mengerti kalau Septi berubah menjadi demikian keras hati sejak bercerai dari suaminya sepuluh tahun lalu.

***

Septi tengah menyelesaikan pendidikannya di sebuah perguruan tinggi di Amerika ketika dia menerima kabar bahwa suaminya menghamili perempuan lain. Perempuan yang sering diajaknya keluar malam setelah Septi pergi sekolah lagi.

“Kamu pergi terlalu lama! Aku kesepian! Ngerti nggak?” Hardik suami Septi ketika Septi berusaha berbicara melalui telepon.

Dan entah bagaimana kejadiannya, perempuan yang tidak pernah dikenal Septi itu akhirnya memutuskan untuk menggugurkan saja kandungannya dan menghilang dari kehidupan suaminya. Septi berusaha keras untuk memaafkan suaminya dan menenggelamakan diri dalam buku-buku dan tugas-tugas yang menghujaninya setiap minggu.

Namun kejadian buruk itu berulang hanya dalam waktu tiga bulan.

“Aku mau punya anak! Aku butuh istri! Aku nggak mau nunggu kamu!” Hardikan itu kembali menghantam gendang telinga Septi ketika ia berusaha meminta penjelasan suaminya.

Septi bingung karena disalahkan atas perilaku suaminya. Sebelum berangkat ke Amerika, Septi sudah mencari sebanyak mungkin informasi kalau-kalau suaminya mau diajak pergi. Kata teman-temannya, beasiswa yang diterima Septi cukup untuk hidup berdua dengan suami asal hemat. Apalagi suaminya punya kemahiran bermain musik yang diakui banyak orang. Bisa saja dia manggung di kelab-kelab kecil dengan bayaran minimum atau bekerja sebagai pencuci piring atau yang sejenisnya, seperti yang dilakukan banyak mahasiswa yang membawa keluarganya. Tapi suaminya menolak.

“Aku harus ninggalkan kerjaanku? Ikut kamu? Jangan ngawur!” Begitulah hardikan pertama suaminya.

Walaupun dengan hati berat Septi pergi juga. Ia kala itu berharap suaminya akan menyusul sebulan atau dua bulan kemudian. Tapi harapannya sia-sia. Sejak itu, hardikan demi hardikan rutin ia dengar setiap kali ia menelpon ke rumah untuk berkabar.

Sepulang dari Amerika Septi segera bercerai dari suaminya. Septi meminta agar suaminya bertanggung jawab atas anaknya. Buah dari benih yang ia taburkan ke rahim perempuan muda yang bekerja sebagai kasir di kelab tempatnya bermain musik setiap malam.

Septi memilih hidup sendiri. Meniti karirnya dengan serius. Kemudian ketika bapaknya meninggal, ia tinggal serumah lagi dengan ibunya. Bertahun-tahun waktunya ia habiskan untuk pekerjaan dan mendampingi ibunya. Dua tiga kali dalam setahun Septi bertugas ke luar negeri. Kesendiriannya membuatnya mandiri dan sigap dalam menghadapi persoalan hidup. Karakter maskulinnya terasah dan terpancar dari sorot matanya dibalik penampilannya yang feminin.

Pernah ia dua kali mencoba menjalin hubungan dengan laki-laki yang telah mapan. Namun keduanya gagal karena alasan yang sama. Mereka meminta Septi meninggalkan pekerjaannya untuk pindah ke kota lain tempat mereka bekerja.

“Kamu harus mengubah pendirianmu kalau mau menikah lagi,” begitu nasihat ibunya selalu. Namun Septi tidak pernah mengubah pendirian.     “Ibu ingin kamu bahagia, Septi. Seperti Febri.” Pinta ibunya ketika ia merasa hari-harinya sudah akan berakhir.

“Aku bukan Mbak Febri, Bu. Aku bahagia hidup dengan caraku.”

“Ibu ingin punya cucu dari kamu. Ibu ingin kamu merasakan nikmatnya mengandung janin di dalam rahimmu, Septi.”

Berkali-kali, ketika penyakit kanker hati semakin melemahkan tubuhnya, ibunya berpesan pada Febri agar membujuk Septi untuk segera menikah dan memberinya cucu. Namun Septi belum sempat menemukan pasangan, apalagi memberi cucu, ketika ibunya menghembuskan nafas terakhir di pangkuannya.

****

“Katanya mau ganti baju? Kok malah ngelamun,” percikan air dari rambut basah Septi yang baru keluar dari kamar mandi mengagetkan Febri.     “Ah! Cuma ingat mendiang bapak dan ibu,” Febri beranjak dari kursi dan berganti baju. Sebentar kemudian ia membantu mengeringkan rambut Septi sementara adiknya itu mengatur ulang isi tas cangklongnya.

“Jangan mau terbelenggu di masa lalu, Mbak. Mereka sudah bahagia di surga. Kita punya dunia sendiri. Saat ini.” Kata Septi. “Dunia ada di genggaman kita kan?” Lanjut Septi ceria sambil memasukkan blackberry ke dalam saku luar tasnya. “Dan di pangkuan kita.” Tambahnya sambil menjejalkan laptop ke dalam tas. Senyum Septi terkembang manis sekali.     Febri terharu melihat senyum yang akan dirindukannya itu. Diletakkannya pengering rambut dan dipeluknya tubuh adiknya. “Aku khawatir, Septi.” Bisik Febri dengan suara hampir menangis.

“Jangan. Jangan khawatir.” Septi menatap kedua mata kakaknya yang memancarkan rasa khawatir. Kakaknya yang menikmati hidupnya dan sukses sebagai ibu rumah tangga itu.

“Mbak tahu kan, semua sudah aku pikirkan sejak dua tahun lalu. Sejak ibu meninggal. Tabunganku juga sudah banyak. Ditambah uang warisan bapak dan ibu dan hasil penjualan rumah. Aku bisa hidup di sana selama setahun tanpa kerja. Teman-temanku banyak. Aku juga akan cari visa kerja.” Kata Septi.     “Tapi California itu jauh sekali, Septi. Kalau aku kangen bagaimana?” Febri mencoba melucu. Dia tahu adiknya punya banyak teman di sana. Ia juga tahu, Septi akan bisa mencari pekerjaan dengan kemahirannya berbicara dan menulis dalam empat bahasa dan pengalaman kerjanya di dunia internasional selama ini. Suami Febri, Mas Anung, juga meyakinkannya bahwa perempuan sepintar, sekuat dan semandiri Septi bisa hidup dimana saja.

Tapi Febri khawatir akan masa depan Septi dan anaknya yang akan lahir tanpa bapak. Ia tidak bisa membayangkan bila keponakannya kelak tahu bahwa ia lahir karena donor sperma. Selama dua tahun berkali-kali Febri meminta Septi untuk berpikir ulang. Untuk menikah saja dan bila perlu setelah hamil Septi minta cerai. Atau menjadi istri kedua asal bisa hamil dan punya anak.

Namun Septi menolak mentah-mentah permintaan Febri. Katanya semua itu membawa dampak yang lebih buruk dan lebih panjang bagi banyak orang. Sedangkan langkah yang dipilihnya itu menurut Septi hanya akan melibatkan dirinya dan anaknya. Dan Septi yakin dirinya akan mampu mendidik anaknya dengan cara yang tepat.

Febri juga khawatir akan ada tekanan dan cemoohan dari keluarga besarnya bila mereka nanti tahu keputusan yang telah dipilih adiknya. Mereka pasti akan menuduh Septi telah melanggar aturan agama. Namun Septi berkeras. Ia yakin bahwa iman seharusnya membebaskan dan bukannya membelenggu. Septi juga sudah bertekad untuk tidak tinggal di Indonesia bila situasi memaksanya begitu.

“Nanti kamu nengok kesana kalau aku melahirkan ya. Aku kirimi tiket. Atau minta Mas Anung.” Septi mencubit pipi kakaknya.

“Anakmu kira-kira akan kayak siapa ya? Kamu atau bapaknya? Kamu sudah punya pilihan calon donor kan?”

“Aku sudah mantap dengan tiga calon donor. Tapi nanti saja aku milih setelah di sana. Campuran Vietnam dan Perancis, campuran Turki dan Irlandia, dan campuran Jepang dan Italia.” Septi membuka tas cangklongnya. Mengambil beberapa lembar kertas dari kumpulan dokumen yang dibendel rapi.     Febri membaca sekilas profil tiga laki-laki pendonor sperma yang akan dipilih Septi sesampainya di California, tempat adiknya akan membeli sperma di salah satu bank sperma terbesar dan tertua.

Walaupun Septi telah menjelaskan pada Febri tentang semua hal-hal teknis, ia masih saja ternganga mendapati kenyataan adiknya akan mengijinkan rahimnya dibuahi oleh laki-laki yang hanya disebut dengan kode dan angka.

“Aku memilih calon yang mengikuti program yang mengijinkan aku dan anakku menghubunginya, suatu saat, khususnya setelah anakku berusia
18 tahun. Jadi anakku akan tahu siapa bapaknya. Anakku juga akan tahu siapa saja saudara seayahnya kalau-kalau calon donor yang aku pilih juga dipilih oleh perempuan lain.”

Febri takjub memandang adiknya yang tampak telah siap dengan semua kemungkinan yang akan ia hadapi di masa depan.

Selama dua tahun Septi melakukan riset dan memantapkan hati untuk menjalankan niatnya itu. Sebenarnya bisa saja Septi melakukannya di Singapore yang tidak jauh dan mungkin relatif lebih murah, tapi di negeri itu ia tidak punya teman.     Dibantu teman-temannya di Amerika dan setelah berkonsultasi dengan sebuah bank sperma yang berkualitas yang dilengkapi dengan klinik dan layanan konsultasi awal jarak jauh, Septi memutuskan untuk menanam benih di rahimnya.

“Pasti aku akan kasih kabar terus, Mbak.”

“Janji ya. Kita skype tiap hari ya!” kata Febri sambil menyisiri rambut adiknya.

Septi meraih tangan Febri. Di genggamnya tangan kakaknya kuat-kuat. Ia sadar telah memilih cara yang tidak biasa. Cara yang dianggap menyimpang oleh sebagian besar orang. Namun ia juga telah mengalami kegagalan dan merasakan pahitnya cara biasa yang dulu ia lakoni ketika bersuami. Septi tidak akan menoleh ke belakang. Ia menatap mantap ke depan. Ia ingin memiliki dan membesarkan anak yang merupakan buah dari rahimnya sendiri.

Febri dan Septi saling bertatapan dalam diam. Bahkan sebelum keduanya benar-benar berpisah di bandara, kakak beradik itu lama berpelukan.

Kemudian bunyi klakson taksi yang berhenti di depan rumah mengagetkan mereka.

***

Leave a Reply