Panyiko’ Bibi’, Para Perempuan Pengikat Rumput Laut Sulsel

Para panyingko' bibi' di desa Bonto Ujung Kabupaten Jeneponton, Sulawesi Selatan.
Para panyingko’ bibi’ di desa Bonto Ujung Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan.

Rumput laut membawa perubahan besar pada peran perempuan di desa-desa nelayan Sulawesi Selatan dalam tiga tahun terakhir. Penulis lepas Luna Vidya yang sehari-hari bergelut dalam pemberdayaan potensi pertanian, membagi hasil pengamatannya di sejumlah desa nelayan di pesisir selatan. Budidaya rumput laut menjadikan tenaga perempuan dihargai secara ekonomi, namun sayang belum dilibatkan sepenuhnya dalam pelatihan teknis budidaya, yang masih didominasi laki-laki.

Di bawah kolong salah satu rumah panggung di Desa Bonto Ujung, Kabupaten Jeneponto, sekitar 60 km arah selatan Makassar, tampak seorang ibu sedang sibuk bekerja sambil memangku balita. Di dekatnya duduk beberapa orang gadis dengan wajah putih berlabur bedak dingin, dan di antara mereka adapula seorang nenek. Semuanya tenggelam dalam kesibukan yang sama. Mereka sibuk mengikat rumput laut. Dalam bahasa lokal, mereka disebut panyiko’ bibi`.

Sejak tiga tahun terakhir, kaum perempuan dari berbagai lapisan usia di desa ini, mulai bekerja sebagai panyiko bibi`, seiring dengan berkembangnya kegiatan budidaya rumput laut di pesisir selatan Sulawesi Selatan.

Tiga tahun lalu, bila para perempuan desa ini ditanya tentang kegiatan sehari-hari, maka sebagian besar menjawab, `Tinggal di rumah ji `. Tapi sekarang, situasinya berbeda. Budidaya rumput laut pun kini membuat mereka memberikan jawaban berbeda: “Kami bekerja mengikat rumput laut.”

Mereka berkumpul dan berceloteh di bawah kolong rumah, tenda, atau gubuk-gubuk kerja bambu beratap rumbia di pantai atau di laut, di antara tumpukan rumput laut segar. Tangan-tangan mereka dengan lincah memilih, memotong dan mengikatkan potongan rumput laut segar ke tali tanam penyangga tumbuhan rumput laut.

Dalam membudidayakan jenis rumput laut cottonii atau spinosum itu, pembagian kerja antara kaum laki-laki dan perempuan terbagi merata ke semua anggota keluarga inti. Ini berarti: anak-anak, dewasa, atau orang tua, laki-laki dan perempuan terlibat di dalam kegiatan usaha ini. Tentu saja dengan peran dan porsi yang berbeda.

Biasanya pekerjaan di laut seperti penyiapan lahan, pemeliharaan dan panen dikerjakan oleh para lelaki. Kaum perempuan lebih banyak berperan pada pekerjaan di darat seperti pembuatan tali, pengikatan bibit dan menjemur rumput laut. Jika lahan yang dimiliki oleh seseorang tidak terlalu besar, pekerjaan-pekerjaan di darat dikerjakan dan di bagi dalam anggota keluarga inti saja. Tapi ketika jumlah bentang, sebutan lokal untuk tali tanam tempat bibit rumput laut dicantolkan, mencapai lebih dari 300-an tali, kerja-kerja di darat seperti membuat bentang dan mengikat rumput laut biasanya membutuhkan tenaga kerja lebih besar yang berasal dari penduduk lainnya.

Tahap pengikatan bibit ke tali tanam, adalah tahap kritis dalam budidaya rumput laut. Pengikatan harus diselesaikan dengan cepat. Jika tidak, stek rumput laut akan terlalu lemah untuk dijadikan bibit. Sehingga dalam tahap ini, kecepatan adalah tuntutan utama.

Semua tugas di laut dikerjakan kaum lelaki, seperti pemasangan bentang dan panen. Foto: Muhammad Ridwan Alimuddin.

Dominasi dan Perubahan Peran Mengapa perempuan yang mendominasi pekerjaan ini? Mengapa jarang ada lelaki di wilayah pesisir selatan yang mengikat bibit? Daeng Lewa, salah seorang petani rumput laut di Desa Bonto Ujung memberi penjelasan, bahwa ketika tanaman rumput laut sudah cukup umur untuk dijadikan stek baru, pekerjaan menjadi lebih berat. Pada saat-saat itu, petani harus mengangkat bentang dan menurunkannya kembali ke laut.

Idealnya bentang diangkat dan diturunkan pada hari yang sama. Untuk mempertahankan daya tumbuh stek tadi, maka kaum perempuan adalah sumber daya yang paling mungkin. Pekerjaan mereka adalah segera memilih dan mengikat rumput laut. Selain bahwa pada saat bibit diikat ke bentang itulah para petani rumput laut yang notabene adalah lelaki, mengambil waktu istirahat.

Alasan lain dituturkan Kasman, seorang penyuluh lapangan budidaya rumput laut. “Tangan perempuan lebih halus, jadi rumput laut jarang yang patah bila dikerjakan perempuan,” katanya.

Secara teknis tidak dibutuhkan waktu lama untuk mempelajari cara mengikat rumput laut. Tetapi mengamati bagaimana para panyikko bibi` memilih, memotong dan membagi-bagi tanaman sumber menjadi bibit, peran mereka lebih dari sekedar ‘buruh ikat’. Di tangan para panyiko’ bibi’ terletak keputusan untuk memilih mana bagian terbaik dari tanaman yang dapat dijadikan bibi’ (rumput laut muda yang akan dibiakkan) – untuk suatu masa tanam.

Mereka juga bertanggung jawab untuk membagi-bagi tanaman utama semaksimal mungkin. Lewat kerja mereka, bahkan dapat terlihat tingkat adopsi penyuluhan teknis di kalangan petani rumput laut.

Misalnya, seperti apa potongan bibit yang baik, atau kalau musim ombak sebaiknya sebesar apa bibit yang digunakan. Singkatnya pekerjaan ini bukan hanya membutuhkan kecepatan. Tapi juga membutuhkan kehalusan, ketelitian dan kecerdasan.

Memang kegiatan pembudidayaan rumput laut, yang dalam bahasa Makassar disebut tanam agara`, secara umum telah memberikan tambahan penghasilan bagi petani rumput laut.

Jika dalam kegiatan penangkapan ikan, perempuan yang membantu memperbaiki jala yang rusak tidak mendapat upah, maka pekerjaan panyiko’ bibi` membuat keadaan ini menjadi berbeda. Sebagai pengikat bibit rumput laut, para perempuan desa nelayan di pesisir selatan, sekarang dapat menjadi kontributor ekonomi bagi keluarga.

Di wilayah selatan, panyiko’ bibi’ diberi upah untuk pekerjaan ini. Meskipun kalau diamati, sebenarnya dari hampir semua bagian kerja di darat, kaum perempuan di Selatan dapat menambah uang belanja harian mereka. Tapi peluang itu tidak hadir, sesering lewat kerja mengikat bibit.

Beli Kalung Emas

Di Tanah Keke, Kabupaten Takalar, panyiko’ bibi’ tidak mendapat upah uang tunai, tapi mereka mendapat bibit sebagai upah jasa mereka. Sementara di daerah lain, upah pengikatan dihargai dengan pembayaran uang tunai. kepada panyiko’ bibi’. Upah ini bergantung dari jumlah bentang yang berhasil diikatnya dalam satu kali memburuh.

Dari mengikat bibit untuk bentang sepanjang 15 depa (kurang lebih 25 meter), mereka mendapatkan penghasilan antara Rp1.200 – 1.500. Terdapat perbedaan upah di berbagai tempat. Daeng Bunga misalnya, seorang panyiko’ bibi’ di Bontobahari Kabupaten Bulukumba, mendapatkan upah Rp. 1.500 per bentang. Tapi di Desa Arung Keke, Kabupaten Jeneponto, panyiko’ bibi’ mendapatkan upah Rp1.200 per bentang, untuk bentang yang sama panjangnya.

Umumnya setiap orang dapat mengikat bibit 5-10 bentang per orang per hari. Meski jumlah bentang yang dapat diikat seseorang sangat bergantung pada jumlah bibit yang harus diikatkan dan banyaknya orang yang memburuh di tempat itu. Jika memakai angka minimal saja, setiap panyiko bibi’ dapat mengumpulkan Rp42.000 per minggu.

Sedangkan kemungkinan untuk mendapatkan penghasilan rutin harian dengan bekerja sebagai buruh pengikat bibit dapat berlangsung selama 2-3 bulan pada musim menanam rumput laut. Musim ini, yang biasa disebut ‘musim baik’.

Di Bontobahari misalnya, musim baik berlangsung sepanjang bulan Juni sampai November dengan puncak pada bulan Agustus sampai Oktober. Pada waktu-waktu yang lain, peluang menjadi panyiko bibi’ tidak lagi terjadi setiap hari.

Bisa dibayangkan bahwa dengan kegiatan budidaya yang intensif ini, setiap hari ada kesempatan untuk memperoleh uang tunai minimal sebesar Rp6.000. Hal yang sangat ‘mewah’ untuk sebuah kegiatan ekonomi yang berorientasi kelautan. Kemewahan yang datang seiring dengan kemampuan menghasilkan uang tunai setiap hari.

Selain tidak lagi perlu kuatir untuk keperluan sehari-hari, kata Daeng Bunga, kini iai sudah bisa menabung uang untuk membeli kalung emas. Atau, seperti kata Nasrah, gadis panyiko bibi’ di Pa’birringa Jeneponto, sekarang dia punya uang untuk membeli alat kosmetik dan untuk makan bakso bersama teman-temannya di Pasar Sentral.

Kemampuan mendapatkan uang setiap hari yang dulunya tidak mungkin terjadi ini mempunyai dua sisi. Sisi yang satu adalah kecukupan pangan, dan kesenangan. Sisi yang lain keberanian mengambil kredit. Dengan mengandalkan penghasilan harian panyiko bibi’ pada ‘musim baik’ ini, para petani mulai mengambil kredit. Terutama kredit motor.

rumput2Sayangnya, karena minimnya pengetahuan mereka mengelola keuangan dan pembayaran cicilan kredit, banyak yang terjerumus ke dalam hutang. Biasanya mereka berhutang kepada para pengumpul rumput laut, yang biasanya disebut “ketua kelompok.”

Menyangkut musim baik ini juga, seringkali terjadi krisis tenaga panyiko’ bibi’ dalam sebuah kampung. Karena pembibitan di sebuah kampung atau bahkan dusun dapat terjadi serentak oleh beberapa petani dan tidak cukup banyak tenaga panyiko bibi’ tersedia untuk melakukan pekerjaan itu.

Arti penting peran panyiko bibi’ sangat terlihat pada masa-masa ini. Mereka dibutuhkan. Persaingan kurang. Mungkin saja hal ini yang ikut mempengaruhi keputusan untuk meminjam dan berhutang tadi.

Belum Dilibatkan Pelatihan

Melihat wilayah mental yang terbuka untuk mengelola pengetahuan lokal dengan informasi teknis dalam komunitas panyiko’ bibi`, serta potensi kontribusi ekonomi individual terhadap ekonomi keluarga, komunitas ini sesungguhnya berhak mendapat porsi yang sama dengan para ‘ketua kelompok’ – (baca: pemodal) terhadap akses kepada pelatihan yang ditujukan kepada petani rumput laut.

Sayangnya, hingga sekarang komunitas ini belum pula mendapat kesempatan yang berarti menyangkut pemberdayaan kualitas sumber daya manusianya, jika tidak bisa disebut terbengkalai. Pelatihan kepada pembudidaya rumput laut, lebih diutamakan untuk para petani yang notabene adalah laki-laki).

Padahal porsi pembagian kerja dalam tingkat keluarga inti dengan jelas menunjukan bahwa peran para perempuan sama penting dan berartinya dengan peran para lelaki dalam pembudidayaan rumput laut.

Pelatihan dengan orientasi pengelolaan ekonomi skala kecil dengan sasaran komunitas panyiko’bibi’, belumlah tersentuh oleh maraknya pendampingan teknis kepada masyarakat pembudidaya rumput laut. Hal ini yang mesti dikritisi, karena meningkatkan kemampuan sumber daya masyarakat pantai, tentu tidak bisa secara sempit diartikan sebagai: pengetahuan teknis menanam rumput laut secara baik dan benar untuk para lelaki, dan cukup memberikan tips praktis cara membuat sirop rumput laut untuk para perempuan.

Para perempuan pengikat bibit di pesisir selatan ini sebenarnya adalah bagian penting dari wacana tentang peningkatan kesejahteraan masyarakat pantai. Masyarakat yang selama ini identik dengan kemiskinan.(p!)

sumber >> www.panyingkul.com | 2007
*Citizen reporter Luna Vidya dapat dihubungi melalui email
foto-01: Para panyiko’ bibi’, bekerja sambil menjaga anak dan bercanda., oleh Saipul Rapi.
foto-02: Penjemuran rumput laut, oleh Muhammad Ridwan Alimuddin.

Leave a Reply