Perempuan dalam Media Perempuan

Oleh Elly Burhaini Faizal

Film "Kembang Padang Kelabu"diangkat dari novel karya Ike Soepomo. /via Google
Film “Kembang Padang Kelabu”diangkat dari novel karya Ike Soepomo. /via Google

Mereka melawan kekuasaan laki-laki dengan berbicara. Itulah yang dilakukan perempuan pengarang novel populer era 1970-an. Mereka bukan lagi “subjek dari pernyataan”, melainkan menjadi “subjek yang berbicara”. Sebut saja Ike Soepomo, Mira W., Titie Said, La Rose, Marga T., serta sederet nama lainnya. Mereka mencoba bersikap dinamis dan mengembangkan idealisme sebagai perempuan bebas dan mandiri.

Nh. Dini, novelis generasi sebelumnya, pernah mengakui gairah menulis itu menyeruak karena suatu alasan. Bila dulu menulis cuma energi laten, kini mereka menemukan “pelataran aspirasi”, yang tersedia seiring munculnya majalah-majalah wanita, seperti Femina, Kartini, Famili, dan Sarinah. Para pengarang novel pop itu mulai belajar mengarang dalam rubrik cerpen di majalah perempuan yang tengah tumbuh subur.

Tak cuma mengekspresikan gaya hidup, majalah-majalah itu memang telah mencetak para penulis wanita. Disadari atau tidak, mereka mencoba merebut kekuasaan sekaligus menolak untuk dikuasai. Para perempuan novelis itu memecah “kebisuan teks” dengan berbicara dan menulis. Mungkin mereka terinspirasi keampuhan medium epistolaire alias surat-menyurat Kartini.

Agen Gaya Hidup. Mencermati perkembangan majalah perempuan sejak awal era 1970-an, tersirat idealisme perempuan untuk mengembangkan diri sebagai individu. Mandiri, berwawasan luas, dan tidak didominasi kekuasaan laki-laki. Majalah-majalah ini juga mengkonsepsikan citra perempuan ideal. Tak terbelenggu rutinitas rumah tetangga, tetapi juga responsif atas perkembangan masyarakat. Wanita karier atau perempuan kantoran adalah sasaran utama pembaca majalah itu.

Sayang, tuntutan pembebasan perempuan ini bersimpang jalan dengan apa yang disebut “tuntutan pasar”. Mereka mencetak perempuan bebas dan mandiri, tetapi sekaligus menjadikannya sebagai makhluk yang lemah. Alih-alih makhluk berakal, berprestasi, perempuan lebih banyak ditampilkan sex appeal-nya. Berbeda dengan majalah-majalah di awal zaman pergerakan perempuan, yang melulu berjuang bagi kesetaraan hak- hak perempuan dan laki-laki (Baca: Genita Menjemput Kartini). Mereka ingin menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, tidak mau tergantung dan diperintah laki-laki.

Sejak awal majalah perempuan era 1970-an menyimpan kegamangan. Mereka sibuk merumuskan citra perempuan ideal, yang sesuai kriteria perempuan kelas menengah. Femina, yang terbit perdana pada 18 September 1972, misalnya, semula ingin tampil bersahabat dan mampu menangkap aspirasi kaum perempuan. Mereka juga menawarkan sajian yang praktis, bersih, dan tidak rumit.

Mengacu Libelle dan Margriet, terbitan Belanda, Femina cenderung memberi citra perempuan yang bebas dan mandiri, lepas dari belenggu keluarga ataupun masyarakat. Perempuan tampil sebagai subjek, bukan objek. Di sisi lain mereka juga menampilkan “rubrik-rubrik domestik” seperti kecantikan, mode busana, rumah, serta masakan. Tetap menjunjung idealisme, tanpa mengabaikan keuntungan bisnis.

“Munculnya Femina memberikan kesempatan kepada para wanita muda untuk lebih mampu mengaktualisasikan diri,” aku Widarti Gunawan, dalam wawancara dengan sebuah harian. Mereka tumbuh menjadi majalah perempuan kelas menengah atas. “Majalah ini hendak mencapai sasaran luas kalangan menengah sambil menawarkan gaya dan selera yang tadinya dianggap hanya terbatas menjadi prerogatif kalangan tinggi,” kata Toety Heraty Noerhadi, doktor filsafat. Hanya saja, seperti pernah disinggung seorang redaktur pelaksananya, isu-isu perempuan tidak laku, dibandingkan dengan misalnya soal perselingkuhan atau gosip para selebritis.

Ini sedikit berbeda dengan Kartini, sang kompetitor, yang mengeksplorasi kisah nyata masyarakat kelas menengah ke bawah nan mengharukan. Sepintas menawarkan realita kehidupan, namun memperbudak emosi pembaca. Tak urung Kartini berupaya tampil lebih cerdas, dan bukan sekadar “mempertangis” pembaca.

“Kami terus mengubah diri, soalnya pembacanya juga terus berubah. Kalau sepuluh tahun lalu ibu-ibu pembaca Kartini pagi-pagi berdiri di depan rumah dengan mengenakan daster menunggu gerobak tukang sayur, kini mereka memakai mobil keluar rumah belanja di supermall,” kata Motinggo Busye, almarhum, pertengahan 1997 kepada Kompas. Kendati kenyataannya kelas sosial pembaca Kartini, yang terbit 10 November
1974, itu masih berada di bawah segmen pembaca Femina hingga kini.

Selain Femina dan Kartini, bermunculan majalah-majalah perempuan “agen gaya hidup”. Mereka terus mencetak tren-tren baru, sesuai mobilitas dan gaya hidup perempuan kota. Para pelaku media ini terus mereka-reka, apa yang dipikir orang mengenai gaya hidup “kelas menengah”. Sebut saja Swara Kartini Indonesia, Dewi, Mode, Mahkota, Rias, Nova, Wanita Indonesia, Aura, Cita dan Cinta, dan Kosmopolitan.

Taboid Aura, bertiras 250.000 eksemplar, menampilkan kiat-kiat khusus memecahkan problema perempuan, mulai masalah kecantikan, pakaian, hingga keharmonisan keluarga. Kendati berobsesi meningkatkan derajat dan martabat kaum perempuan, Aura justru kurang menyentuh substansi kesadaran gender (gender conciousness). Ia mengaduk-aduk isu domestik, dengan mengutamakan keanggunan dan kesantunan. Citra perempuan ideal dikonstruksikan secara fisik. Tanpa sadar perempuan menjadi budak komersialisme.

Tabloid Wanita Indonesia pun setali tiga uang. Ia menyediakan rubrik khusus bagi peristiwa tragis masyarakat kelas bawah, tapi cuma “mengharu-biru” pembaca. Peristiwa aktual yang seram, seru, kocak, unik, atau sedih, mengecoh emosi tanpa menyentuh substansi. Pembaca teperdaya bayangan-bayangan semu, yang menghalangi terbentuknya citra diri perempuan yang kuat.

Komersial. Tragisnya, majalah atau taloid perempuan justru tak segan menjual seksualitas. Kosmopolitan, misalnya, ingin agar perempuan punya identitas sendiri dan mampu mencapai yang terbaik dalam segala aspek kehidupan. Tapi, Kosmopolitan justru menjual daya tarik seksual perempuan. Alasannya, “Lelaki menyukai perempuan yang menggandrunginya, serta menyukai perempuan yang sangat sadar akan daya tarik tubuhnya dan cenderung menyenangi gaun ketat atau minim!” Jangankan berpikir soal kesadaran gender, bagi mereka, seksualitas adalah alat menaklukkan dunia.

Jarang sebuah media perempuan berani menyuarakan ideologi yang berpihak kepada nasib perempuan, khususnya menengah ke bawah
(grassroot). “Bagaimana kami bisa menyajikan berita untuk kalangan bawah tanpa berada di kalangan itu?” kata Widarti Gunawan mengelak. Nursyahbani Katjasungkana sendiri menyayangkan sikap para pelaku media yang kurang sensitif gender. Untung ia diberi peluang mengasuh rubrik konsultasi hukum di sebuah tabloid ternama.

“Saya leluasa menggunakan kesempatan ini, untuk membahas relasi kekuasaan laki-laki dan perempuan,” kata direktur LBH APIK itu, “kendati buntut-buntutnya sering menerima protes keras para lelaki!” Okelah, ia leluasa memperjuangkan substansi ideologi yang memihak perempuan. Tapi seberapa banyak orang beruntung seperti Nursyahbani?

Dalam cengkeraman ekonomi pasar, niscaya media massa cuma menjadi wahana budaya pop. Ia berwatak komersial, bahkan menjadi budak komersialisme. “It is a mirror of the popular mind,” kata Camille Paglia, seorang feminis. Apa yang menguntungkan dan digemari publik, itulah yang harus diperdagangkan. Tidak heran bila majalah perempuan ogah-ogahan menawarkan wacana kesetaraan gender. “Yah, memang susah menemukan media perempuan yang mampu mempertahankan ideologi gender, tanpa berhitung untung dan rugi,” kata Nursyahbani.

Genita Menjemput Kartini

Nasib kaum perempuan mulai bergeser dari keterpurukan. Mereka bebas dari kesepian dan keterasingan yang menyiksa. Manisnya kebebasan ini boleh dibilang berawal dari pemberontakan kultural Kartini yang cuma bersenjatakan media epistolaire (surat-menyurat).

Surat-surat Kartini yang terangkum dalam Door Duisternis Toot Licht telah memecah kebisuan perempuan pada zaman itu. Kejengkelan yang terasa dalam surat-suratnya bukan sekadar keras dan menyeramkan, melainkan muncul bak algojo yang memotong penindasan kultural terhadap hak-hak perempuan. Tak cuma memupus kerinduan perempuan akan manisnya kebebasan, ia memecah kebungkaman perempuan, yang telah menjadi tempat berteduh bagi kekuasaan.

Setelah istri R. Adipati Djaja Adiningrat, bupati Rembang, itu wafat pada 1904, bermunculan surat kabar, majalah atau buletin yang menuangkan gagasan pembebasan perempuan. Para aktivis organisasi perempuan zaman itu memakai bahasa tulisan untuk menggugah kesadaran bangsanya. Kecuali masalah kerumahtanggaan, pendirian perempuan yang sesuai dengan nilai-nilai baru seperti poligami, perkawinan, dan kesusilaan, mendapat sorotan tajam.

Tak gampang mengungkap keberadaan majalah perempuan pertama di Tanah Air. Myra Sidharta, peneliti sastra Tionghoa, beranggapan bahwa majalah perempuan pertama adalah Tiong Hwa Wi Sien Po, yang terbit pada 1906 dan diasuh seorang perempuan peranakan, Lien Titie Nio. Menyusul terbit adalah majalah perempuan Poeteri Hindia yang dipimpin R. T. A. Tirtokoesoemo, bupati Karanganyar, yang kemudian menjadi ketua Perkumpulan Boedi Oetomo. Satu majalah dwimingguan dengan nama yang sama diterbitkan setahun kemudian oleh Javasche Bookhandel yang berpusat di Buitenzoerg alias Bogor.

Ternyata semangat memecah kebisuan lewat tulisan berkembang hingga keluar Jawa. Soenting Melajoe, surat kabar perempuan tertua di Padang, terbit pertama kali pada 6 Juli 1912. Surat kabar mingguan (beredar delapan hari sekali) ini diterbitkan oleh Snelpersdrukkerij “Orang Alam Minangkabau”, dipimpin Datoe Soetan Maharadja.

Kendati mengupas masalah perempuan, Datoe Soetan Maharadja menggunakan Soenting Melajoe untuk mengeritik pemerintah Belanda serta para bangsawan. Tak melulu bertutur secara lugas, tetapi diselingi syair- syair dan pantun-pantun yang digemari masyarakat Minangkabau. Selain Soenting Melajoe di Padang terbit pula majalah Kaoetaman Isteri Minangkabaoe. Sementara itu terbit pula majalah Eva yang mengklaim diri sebagai majalah bergambar bagi kaum perempuan (geillustrated blaad voor de vrouw).

Warna lokal majalah perempuan juga tampak dalam Wanita Sworo yang terbit di Pacitan, Jawa Timur. Prinsip-prinsip kemajuan perempuan dalam majalah yang dipimpin R. A. Siti Soendari ini disampaikan dalam aksara Jawa. Tak jauh berbeda, Hesti Oetama, majalah perempuan dwimingguan yang terbit di Solo pada 1918 juga menggunakan bahasa dan tulisan Jawa.

Bagi perempuan peranakan Belanda, diterbitkanlah majalah berbahasa Belanda, yakni Maanblaad van de Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht in Nederlandsch Indie dan Maanblaad van de Vereeniging voor Vrouwenrechts in Nederlandsch Indie. Sementara buat perempuan keturunan Arab, terbit majalah bulanan Isteri Worosoesilo, 1918, yang menggunakan aksara dan bahasa Arab serta tidak berilustrasi.

Puncak euforia majalah perempuan era 20-an ditandai munculnya Doenia Isteri, dwimingguan yang mengaku soerat chabar perempoean yang esa di Hindia ini. Dicetak pertama kali dengan teknik handset serta berhias foto hitam putih, pada 1922 Doenia Isteri mendorong kemajuan yang berguna untuk kaum perempuan.

Euforia majalah perempuan mulai surut seiring dengan munculnya zaman pendudukan Jepang. Pelarangan organisasi perempuan, kecuali mereka yang menyokong Jepang, membuat penerbitan majalah perempuan kurang menonjol. Sejumlah majalah perempuan diberangus.

Memecah kevakuman majalah perempuan, Ani Idrus, pemilik surat kabar Waspada, mendirikan Doenia Wanita yang dibiayai dengan uang belanjanya sendiri. Majalah yang berdiri pada 15 Juni 1949 di Medan ini tergolong radikal dan berani meninggalkan pemikiran konservatif dunia perempuan yang tak beranjak dari urusan dapur dan rumah tangga. Sejak awal Doenia Wanita mengecam pelarangan bagi kaum perempuan yang ingin menggeluti dunia publik.

Mengumbar Kemewahan. Memasuki zaman Orde Baru, kecenderungan ideologi majalah perempuan mengalami pergeseran. Gaya dan selera perempuan ideal, yang semula dianggap otoritas perempuan menengah ke atas, mulai dipopulerkan. Mereka mengemas citra perempuan ideal dari penampilan busana hingga keterampilan merawat tubuh.

Kendati sesekali menyuarakan pembebasan perempuan, majalah perempuan era 1970-an ini kurang berani memaparkan ideologi gender secara transparan. Bahkan mereka menggiring pembaca mengumbar nafsu konsumtif alias mengikuti kemewahan yang tak terbendung, seiring melambungnya sistem ekonomi kapitalistis.

Majalah Femina yang terbit pada 18 September 1972, misalnya, mencitrakan perempuan yang bebas, mandiri, dan tidak dilecehkan pria dalam segala artinya. Namun Femina juga menampilkan rubrik kecantikan “super gemerlap”, yang dinilai kurang mendidik rakyat untuk hidup sederhana. “Kita melihat suatu citra ditawarkan pada perempuan kalangan menengah untuk meningkatkan diri menurut selera kalangan tinggi,” kata Toeti Herati Noerhadi, aktivis perempuan.

Payahnya, kecenderungan hedonistis itu nyaris melekati majalah-majalah perempuan yang beredar hingga kini. Kemewahan dan eksploitasi keindahan tubuh perempuan menjadi daya tarik utama setiap edisinya. Kosmopolitan bahkan yakin daya tarik seksual adalah senjata menaklukkan dunia. “Tak sedikit busana yang hadir tanpa perlu menutupi bagian dada secara utuh. Nah, seberapa beranikah Anda memakainya?” tulis redaktur majalah ini.

Para pelaku media sendiri kurang berani menyuarakan kesetaraan gender. Mereka khawatir sajian itu kurang digemari. Boleh dibilang cuma ada satu media garis keras pembela hak perempuan, yakni Jurnal Perempuan. Tapi mereka belum mampu menembus dominasi media perempuan yang profit oriented. “Kami sadar ideologi feminisme belum populer di sini,” kata Adriana Venny, aktifis Jurnal Perempuan.

Namun ada juga yang mencoba bersikap sedikit lentur, seperti Koran Perempuan yang diluncurkan pada 13 April lalu. Maklumlah, koran yang mengklaim dirinya media feminis ini masih menampilkan rubrik mode. Apalagi satu artikel di edisi perdananya justru mengibarkan judul, “Genita ke Arab Jemput Kartini.” Di situ antara lain digambarkan, “Genita, perempuan cantik nan bahenol ini tampak gelisah….” Rupanya feminis tidak selalu memusuhi pasar. :: Majalah Panji/26/04/2000

 

Artikel dimuat di Majalah Panji Edisi 153, 26 April 2000
http://www.panji.co.id/edisi153/rona.htm

Leave a Reply