Perempuan Tandha Madura Mampu Jinakkan Patriarki

[DESANTARA] ~ Selain tandha (lihat video di bawah), bisa dikatakan tak ada kesenian tradisional lain di Madura di mana perempuan menjadi unsur dominan. Tayub atau tandha satu-satunya seni tari di mana perempuan menjadi penentu dan pencirinya dari awal hingga akhir. Bahkan, penyebutan tandha untuk nama kesenian mengindikasikan hal ini. Istilah tandha lebih merujuk pada penari perempuan. Tapi karena ia menjadi unsur terpenting, kesenian itu sendiri pada akhirnya sering disebut dengan tandha. Orang menganggap tandha tak lebih dari perempuan penghibur berfungsi sekadar menemani lelaki dalam pesta. Pandangan sekilas terhadap pesta tayub mungkin segera akan membenarkan klaim di atas. Sekelompok laki-laki berjoget di atas panggung mengelilingi seorang tandha atau lebih. Atas jasanya, si tandha menerima lembaran-lembaran uang dari laki-laki yang berjoget.

Seni tayub sendiri adalah genre seni tari yang mengutamakan penari perempuan dan laki-laki sebagai fragmen pertemuan dua jenis kelamin. Paralel dengan konsep harmonisasi seni pertunjukan tayub dengan meletakkan perempuan tandha dan penari laki-laki dalam satu ruang.

Masyarakat Madura bisa jadi sangat mudah melihat posisi penari tandha dalam dimensi seksual. Pertunjukan tandha sering diasosiasikan sebagai kesenian yang dekat dengan prostitusi terselubung dan perilaku amoral. Konon, keberadaan tandha dalam pentas sengaja diundang untuk meramaikan hajatan. Konsep sosial ini dipahami sebagai atolong oleh warga Madura. Saat ini tandha lebih menyerupai pekerjaan profesional, orang Madura mengistilahkannya alako’.

Dalam konteks relasi laki-perempuan, warga Sumenep dan Madura secara umum, adalah masyarakat patriarki. Kepemimpinan berada di tangan laki-laki, sedang perempuan berada pada posisi terlindungi. Kekhasan patriarki Madura tertuang pada tata kekerabatan, politik ruang, dan budaya kekerasan, yang berputar pada topik penguasaan dan pemilikan laki-laki atas perempuan. Misalnya, model bangunan hunian di Madura, tanean lanjhang, terbukti tak berfungsi tunggal sebagai rumah tinggal saja. Dengan posisi bangunan terpusat, tanean lanjhang juga berfungsi sebagai pusat kegiatan laki-laki (suami) sekaligus pusat pengontrolan aktivitas perempuan.

Kekakuan patriarki masyarakat Madura dalam memandang perempuan sebagai milik laki-laki tercermin pada cara penyelesaian konflik dengan jalan kekerasan, carok, terutama konflik yang berdimensi seksual (perselingkuhan), di samping permasalahan tanah dan ternak.

 

elasi Laki-laki dan Perempuan

Pada puncak titik kekakuan patriarki itu, tandha muncul sebagai perempuan seni, menciptakan kelonggaran relasi gender dan menjungkirbalikkan kekuasaan laki-laki. Awalnya, seni pertunjukan tayub, dengan tandha sebagai pemain perempuannya, menjadi sekadar seni hiburan rakyat biasa. Tetapi ketika peran perempuan tandha bergeser dari panggung ke ruang keluarga, laki-laki (suami) tampaknya, bisa jadi, tak lagi disebut kepala keluarga.

Penghasilan tandha yang di atas rata-rata, membuat mereka mampu mengambil alih peran kepemimpinan dan pengambil keputusan keluarga. Ini dialami Suhadiyah, tandha dari Dasuk, Sumenep, yang mampu mencukupi semua kebutuhan keluarga lantaran bekerja sebagai tandha. “Saya tak minta uang ke suami dari hasil ngorkesnya, biar dipakai sendiri sehingga dia tak minta uang terus ke saya,” ungkap Suhadiyah. Ia memiliki honor rata-rata Rp 500 ribu – Rp 750 ribu sekali pentas. Tetapi dalam sekali pentas ia bisa mendapat uang Rp 1 juta – Rp 3 juta rupiah dari saweran.

Suka atau tidak, suami harus mengakui dia tak sepenuhnya bisa meminta istrinya berhenti menjadi tandha. Juga, ia tidak bisa menggenggam norma lama di mana suami mengatur istri dan istri wajib menaati suami. Alasannya, persis berada pada titik ekonomi keluarga yang saat ini berada di genggaman istri.

Pengakuan suami seorang tandha asal Saronggi memapar fenomena terjungkirnya kuasa laki-laki. “Saya pernah cemburu, karena istri saya ada di panggung dan banyak orang. Kalau saya mulai cemburu, akan cepat saya buang. Kalau di atas panggung, orang kan tak berani macam-macam. Sempat terpikir meminta istri berhenti sebagai tandha, ternyata saya harus memikirkannya lagi karena penghasilannya memang besar.”

Seiring pembalikan nilai, norma, dan kepekatan patriarki Madura, pada level kelas menengah, profesi tandha masih diragukan bisa memenuhi standar moral yang ada. Perempuan dalam posisi sosial tersebut masih diharap sebagai perempuan ideal budaya setempat, tetap tidak lepas dari kodrat perannya, bertanggungjawab pada keluarga dan masyarakat. Agaknya profesi tandha bagi sebagian perempuan terdidik, berada di luar kualifikasi perempuan ideal tersebut.

“Faktor yang membuat tandha dinilai negatif karena ia tak lebih hanya obyek laki-laki, pemuas birahi laki-laki. Tandha yang membuat laki-laki berpikir perempuan mudah dipegang dan bisa dijawil hanya dengan modal uang,” tutur Ida, rektor perempuan sebuah universitas swasta di Sumenep.

Mungkin jarang diketahui, tahun 1970-an tandha sudah tak memakai rape’ (semacam kemben) dan praktik nyompeng (memberi uang di dada tandha) praktis hilang. Tandha Madura lebih menonjolkan aspek olah vokal dari pada gerak tari, lebih sering mengenakan kebaya layaknya ibu-ibu PKK.

Saat ini seni karawitan di Sumenep didominasi kelompok pengrawit perempuan. Masihkah tandha diverifikasi untuk mendapat tempat di masyarakat, sementara kontribusi dan peran tandha secara sosial domestik sudah menjelaskan strategi pembebasan perempuan?

Suhadiyah: Membalik Arus

Menjadi penari tandha bukan hal mudah. Meski seni tayub Madura tak terlalu menonjolkan aspek gerak tari, namun kemampuan ngejhung (nembang) mutlak harus dikuasai. Suhadiyah, penari tandha Banyuwangi, mengaku baru menjiwai profesinya sejak lima tahun lalu.

Pertama bergelut di dunia tayub, saat bergabung di kelompok karawitan milik kakaknya, Sri Budoyo di Sumenep (1989). Waktu itu ia masih menjadi pengrawit. Banyak penari laki-laki menginginkannya ron-toron atau berperan laiknya tandha profesional. Kelak, praktik ron-toron menjadi mekanisme verifikasi sosial perempuan pengrawit menjadi tandha seutuhnya.

Sejak SD, Suhadiyah gemar berkesenian. Ia pernah ikut samroh, rebana, dan sewaktu SMP ikut bermain di kelompok dangdut. Butuh waktu lama memutuskan menjadi tandha. Tandha senior yang mendorongnya adalah Mahwani, perempuan asal Saronggi, basis tandha di Sumenep, Madura. Sebelumnya basis tandha di Sumenep adalah Dasuk.

Saat ini alasan perempuan memilih profesi tandha tak lepas karena latar ekonomi cekak, meski pada dasarnya juga karena panggilan jiwa seniman. Suhadiyah mengakui rata-rata saweran yang diterimanya, Rp 1 juta per hari. Kalau ramai mencapai Rp 3 juta. Itu belum termasuk honor. Pendapatan tertingginya selama semusim (tiga bulan) tembus Rp 50 juta, pernah mencapai Rp 100 juta.

Meski penghasilannya besar, ia tetap menganggap profesi tandha rendah lantaran tak berpendidikan tinggi. Itu sebabnya, ia berharap anak perempuannya menjadi bidan, tak seperti dirinya. Bagi Suhadiyah, keluarga tetap utama. Meski, orangtuanya setuju ia menjadi tandha. Tetapi suaminya jengah, meski lambat laun memahami profesinya. Seperti rumah tangga pada umumnya, pertengkaran juga mewarnai rumah tangganya. Ia memperingatkan laki-laki yang tak kuat mental untuk tak menyunting tandha.

Seperti suami Suhadiyah yang menggugat cerai dirinya. Suhadiyah hanya mengiyakan. Entah mengapa, suaminya mengurungkan niat. Bahkan, ketika talak telah jatuh, si suami berkeras tinggal serumah. Hampir semua suami tandha memang tak bekerja atau tak memiliki pekerjaan tetap.

Suami Suhadiyah selama ini bergabung dengan orkes dangdut, dan adu burung merpati adalah hobinya. Praktis, Suhadiyah menjadi penopang utama roda rumah tangga. Rumah dan pendidikan anaknya juga buah profesi tandha. Kepala rumah tangga menempel pada sosok tandha Suhadiyah. Ia berwenang menentukan segala kebutuhan rumah tangga, termasuk memberi uang pada suami. “Kalau suami mendapat penghasilan dari ngorkes, saya suruh dia simpan untuk kebutuhannya sendiri, biar dia tak selalu minta uang pada saya,” ujarnya.

Dalam lingkungan kerja, Suhadiyah berupaya menjaga hubungan baik, terutama sesama tandha. Sering terjadi persaingan tak sehat antar tandha. Jika ada teman sendiri yang memiliki hajat, Suhadiyah bersikap cair dan tak pelit.

Di Sumenep, nama Suhadiyah dikenal akrab karena sering mengadakan pertunjukan. Karena dapat dinikmati dalam bentuk rekaman compact disc (CD), tandha bisa didapat di mana saja. Banyak CD tandha beredar, tapi tak ada pengaruhnya pada kemakmuran hidup tandha. Honor diterimanya dari tuan rumah penyelenggara tayub saja, bukan dari produser kaset atau CD. Malah, sering aparat pemerintah dan pengayom yang mengadakan acara meminta sumbangan pada tandha. Permintaan sumbangan juga datang dari masjid, pondok pesantren atau madrasah. [Desantara]

Leave a Reply