[unduh buklet] :: Perubahan Iklim Bawa Ketidakadilan Berganda Bagi Perempuan

 

Keadilan Gender dalam Keadilan Iklim (2011)

Penyusun
Khalisah Khalid I Siti Maemunah (CSF/JATAM) | Puspa Dewi (Soliper)

Kontributor
Mida Novawanty Saragih (KIARA) |  Elisha Kartini (SPI) I Betty Nababan (DTE) | Ulfa Hidayati (Kapal Perempuan) | Ade Herlina Haris (Soliper) | Ina Nisrina (Sekretariat CSF)

 

Pengantar

Di berbagai struktur masyarakat adat, perempuan adat ditempatkan sebagai aktor terdepan dalam melindungi sumber-sumber kehidupan masyarakat adat seperti air, obat-obatan, sayur-sayuran, sumber mata air. Seperti halnya antara komunitas adat dengan ekosistemnya, relasi antara perempuan adat dengan sumber-sumber kehidupan pokok masyarakat adat pun demikian. Mereka saling membutuhkan. Lebih dari itu, perempuan adat membuat nilai-nilai kearifan masyarakat adat bekerja lebih efektif. Ketika sumber-sumber pokok tersebut berkurang, perempuan adat harus mencari ke tempat yang lebih jauh dan membutuhkan waktu dan tenaga yang lebih banyak. Karena itu, banyak perempuan adat mulai membuat budi daya sendiri dengan menanam obat-obatan dari hutan di kebun atau pekarangan sendiri. Tetapi tradisi ini tidak dikerjakan di semua tempat. Banyak perempuan adat masih merasa bahwa alam tidak pernah pelit sehingga perilaku mereka pun masih bergantung pada alam.

Namun, di banyak tempat perubahan iklim telah membuat sumber-sumber kebutuhan dasar masyarakat adat dari hutan makin langka. Apalagi banyak wilayah masyarakat adat telah dikepung konsesi perkebunan, tambang dan berbagai perizinan eksploitatif lainnya. Kehadiran konsesi-konsesi tersebut sejak era 1970an telah mengubah bentang alam dan memusnahkan beberapa jenis tumbuhan maupun binatang liar yang dijadikan obat-obatan, sayur dan kebutuhan lain yang diperlukan masyarakat adat. Saat ini, di tengah ancaman perubahan iklim adaptasi perempuan adat melalui budi daya tumbuhan hutan justru terancam oleh pengambilalihan tanah-tanah adat untuk kepentingan konsesi atau perluasan konservasi atas nama kepentingan negara. Eksistensi perempuan adat terancam baik oleh dampak perubahan iklim maupun ekspansi model pembangunan yang buas dan rakus terhadap sumber daya alam. Perempuan adat terancam kehilangan peran sosial dan ekologis yang vital jika pakem pembangunan saat ini tidak berubah.

 

Kutipan Bab 1 

 

FAKTA-01: “Perempuan mengalami ketidakadilan berganda 
karena penyebab, dampak dan penanganan perubahan iklim.”

 

Kehidupan perempuan makin sulit, seperti yang dialami perempuan nelayan di pesisir Indramayu Jawa Barat. Ketika banjir terjadi, tidak pernah ada bantuan yang diberikan oleh negara kepada warga. Tak hanyaIndramayu, dalam10tahunterakhir, berbagai krisis dan bencana terus terjadi di Indonesia. Sebagian besar disebabkan kegagalan global pembangunan yang menggerus kekayaan alam dan mengabaikan daya dukung lingkungan. Akibatnya, krisis bertambah dalam, termasuk meningkatnya ancaman bencana, seperti kekeringan, banjir, perubahan cuaca ekstrim, gagal panen, meningkatnya hama tanaman, penyakit, datang silih berganti di berbagai wilayah.

Dampak perubahan iklim yang begitu cepat terjadi. Di hadapi warga tanpa Informasi yang mencukupi, kemampuan bertahan hidup yang lemah, khususnya perempuan, serta lemahnya prioritas penanganan oleh negara. Celakanya, di tengah krisis yang terus menghimpit, ancaman lain justru datang dari sistem dan praktek politik saat ini. Otonomi daerah yang bercita-cita mendekatkan akses dan kontrol rakyat terhadap sumber daya alamnya, justru mempersempit ruang hidup perempuan. Pemerintah Daerah berlomba mengeluarkan kebijakan obral kekayaan alamnya dalam bentuk ijin usaha dan Peraturan Daerah (Perda).

Di Kalimantan Timur saja, hingga 2010, pemerintah mengeluarka 1212 ijin konsesi tambang. Belum lagi perkebunan besar kelapa sawit. Hingga 2009, dikeluarkan 303 ijin, mencapai luasan 3,65 juta hektar. Semangat mengobral sumber daya alam di daerah, ternyata sejalan dengan Pusat. Departemen Pertanian mengeluarkan izin kepemilikan areal perkebunan kelapa sawit swasta dalam satu kabupaten atau provinsi hingga 100 ribu hektare (ha). Perda-Perda tersebut tak hanya membatasi perempuan mengakses dan mengontrol sumber daya alamnya. Juga diskriminatif terhadap perempuan, seperti Perda-Perda Syariat dan kebijakan yang membatasi ruang gerak perempuan dalam ranah publik, termasuk menjadi pemimpin. Seorang camat perempuan di Bireun Nanggroe Aceh Darussalam terancam diberhentikan karena desakan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten, yang menafsirkan perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Otonomi daerah dan pembangunan demokratisasi yang berjalan saat ini, belum menyentuh agenda keselamatan dan kesejahteraan khususnya perempuan. Sayangnya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) sebagai bagian dari pemerintah yang berkewajiban memberikan perlindungan dan jaminan keselamatan bagi perempuan dan anak di Indonesia, justru tak memiliki kekuatan politik signifikan untuk campur tangan.

[button link=”http://www.langitperempuan.com/wp-content/uploads/2012/04/Keadilan-Gender-Dalam-Keadilan-Iklim.pdf” type=”icon” newwindow=”yes”] unduh buklet PDF[/button] Keadilan Gender Dalam Keadilan IklimMereka mengakui belum memiliki agenda keselamatan dan kesejahteraan perempuan, khususnya yang terancam dampak perubahan iklim. Di instansi pemerintah lainnya, isu perubahan iklim dan keadilan gender juga belum secara serius ditangani oleh instansi pemerintah melalui kebijakannya. Banyak kebijakan tidak sinkron. satu instansi pemerintah dengan instansi pemerintah lainnya. Padahal perubahan iklim dan keadilan gender sudah menjadi isu besar dan cross-cutting isu yang harusnya sudah menjadi perhatian berbagai instansi pemerintah untuk menangani dampak perubahan iklim, berkait dengan perempuan, anak-anak dan kelompok rentan lainnya. 7 Padahal, perubahan iklim kini bukan lagi wacana. Ia telah berdampak terhadap hilangnya sumber-sumber kehidupan perempuan, seperti akses terhadap air bersih yang semakin berkurang, akses terhadap lingkungan yang sehat, semakin berkurang akibat pencemaran udara maupun air. Itulah sebabnya, kondisi kegentingan yang dihadapi perempuan akibat dari kegagalan model global pembangunan dan perubahan iklim bukan persoalan biasa saja.

sumber >> rumahiklim.org

Leave a Reply