Saat Bertani Dilupakan, Perempuan Desa Rendang Momong Tomat Cherry

tomat cherry[CYBERTOKOH] ~ Di kesejukan Desa Rendang, Kecamatan Rendang, Karangasem, Bali, beberapa bangunan beratap plastik transparan tegak berdiri di antara perkebunan penduduk. Di suatu hari di tahun 2005 itu, I Luh Seri, Wayah Rauh, Ketut Murti, dan beberapa perempuan lain tampak tekun bekerja di dalam bangunan yang disebut green house. Mereka secara rutin menyiram, membersihkan daun, dan sesekali membuang batang atau daun yang layu. “Tanaman ini memang manja. Harus diperlakukan seperti merawat bayi,” komentar Luh Seri.

Tanaman manja itu adalah tomat cherry. Ia ditanam secara hidroponik di dalam green house yang dibangun khusus dengan biaya sekitar Rp 35 juta per unit. Uniknya, semua pengelola perkebunan “modern” ini adalah perempuan. “Mungkin karena terbiasa mengerjakan hal-hal yang rumit dan perlu ketelitian khusus, maka yang paling cocok mengelola perkebunan semacam ini adalah perempuan,” ujar Dra Ida Ayu Martini, pimpinan Bali Fresh, perusahaan supplier sayur-mayur yang “menggerakkan” perempuan-perempuan petani di Rendang itu.

Tomat cherry yang ditekuni perempuan-perempuan petani Rendang tadi memang bukan tanaman asli Bali. Bibitnya pun harus didatangkan secara khusus dari Belanda. Maklum sajalah, tomat kecil-kecil yang bisa langsung dikunyah per biji itu sebagian besar diperuntukkan hotel dan restoran.

“Sangat mungkin nantinya menjadi komoditas ekspor kalau kita mampu mengembangkannya secara besar-besaran. Tapi untuk itu kita membutuhkan dana besar dan keterlibatan banyak pihak,” ungkap Dayu Martini sambil mengimbau pemda untuk memperhatikan bentuk-bentuk pertanian alternatif seperti ini. Bali memiliki potensi besar untuk mengembangkannya. “Di kawasan seperti Rendang, Kintamani, Bedugul, dan kawasan lain yang memiliki suhu dan kelembaban serupa, jenis-jenis tanaman sejenis ini sangat mungkin dikembangkan,” tutur Suratna, staf Bali Fresh yang tekun mendampingi perempuan-perempuan petani tomat cherry di Rendang.

“Harus saya akui, kami sendiri surprise dengan hasil yang diperoleh perempuan-perempuan ini. Tomat cherry dari Rendang benar-benar the best,” tambah Suratna sambil menambahkan, ke depan pihaknya ingin juga mengembangkan perkebunan mentimun baby — untuk konsumsi hotel dan restoran juga— dengan sistem yang sama seperti tomat cherry. Bisa jadi, inilah “langkah kecil” yang akan menjadi pola pertanian Bali di masa depan. Maklum, lahan pertanian di Bali kian sempit dan generasi muda pun cenderung memilih jadi buruh di kawasan pariwisata katimbang menggarap lahan pertanian.

Dalam catatan Suprio Guntoro, peneliti pada Balai Penelitian Pertanian Bali, dalam sepuluh tahun terakhir ini lahan sawah susut rata-rata 300 hektar per tahun, sehingga pada saat kini luas sawah di Bali tinggal 83.000 hektar. Sedangkan luas areal perkebunan susut rata-rata 400 hektar per tahun dan kini tinggal 166.000 hektar. Di atas lahan yang kian sempit dan mahal itu diperlukan pengembangan pola pertanian khusus yang bisa mendatangkan nilai tambah yang lebih besar.

Lihatlah perkebunan tomat cherry di Rendang ini. Masing-masing petani “hanya” menyediakan 2 are lahan untuk menanam sekitar 400 batang tomat. Saban dua hari mereka panen. “Selama enam bulan, kebun ini sudah menghasilkan lebih dari 1 ton,” ungkap Wayan Armadia, istri seorang guru SD, yang memiliki catatan rapi jumlah panenannya. Bisa dibayangkan hasil yang diperoleh bila harga tomat itu berkisar antara 5 – 6 ribu rupiah di tingkat petani.

“Tapi sekarang kami masih harus mengembalikan modal dulu. Untuk sementara ini petani mendapatkan upah Rp 700 ribu per bulan. Modal, bibit, maintenance, dan pelatihan kami tanggung semua,” tutur Dayu Martini. “Belum untung. Tapi namanya investasi, ya tidak bisa langsung untung. Dalam dua tahun kami yakin BEP,” tambah Dayu yang di kantornya biasa dipanggil Ida.

Perhatian Khusus Bagi si Manja

Jangan pernah memasuki green house, tempat para perempuan di Rendang bertanam tomat cherry, tanpa mencuci kaki dengan disinfektan. Di depan pintu masuk telah tersedia sebuah kolam kecil berisi larutan disinfektan tempat sandal atau sepatu dicelupkan sebelum melangkah melewati pintu. Begitu manja jenis tanaman ini hingga setiap perempuan petani yang mengelolanya harus menyediakan waktu 7-8 jam sehari untuk sekitar 400 pohon di atas lahan 2 are.

“Tapi kami senang. Kami kan petani,” sergah I Luh Seri yang sempat bekerja sebagai penjahit untuk sebuah perusahaan garmen di Kuta. Sekali “berani” menanam tomat cherry, maka jangan harap berpikir setengah-setengah. “Bahkan kondisi tubuh dan jiwa kita sangat berpengaruh terhadap pohon,” kata Ida Ayu Martini.

Pernah, misalnya, karena persoalan omongan kiri-kanan, semangat I Luh Seri jatuh, perasaannya tersakiti. “Dalam beberapa saat saja seluruh tanaman layu dan harus diganti dengan yang baru,” imbuh Dayu ditimpali anggukan Luh Seri sambil tersenyum. Karena harus suntuk seperti itulah tiap petani tidak berani menggarap lebih dari 2 are.

Wayan Rauh dan Wayan Sri malah menggarap satu lahan bersama-sama. Begitu juga dengan Ketut Murti dan Ketut Jati. Sedangkan Luh Seri sanggup menggarap sendiri kebunnya karena ia tinggal sendiri di rumah keluarga yang besar tanpa suami. Sementara itu, Wayan Armadia juga sanggup menggarap sendiri lahannya karena anak-anaknya telah besar, sedangkan suaminya sebentar lagi pensiun dari kegiatannya mengajar di SD. “Yang repot, kalau saya sudah tidak kuat lagi, apakah anak-anak saya mau melanjutkan menggarap kebun ini?” tanya Armadia. Anak-anaknya kini telah pindah ke kota, mengadu peruntungan sebagai pekerja. “Kalau perlu mereka saya minta pulang saja melanjutkan menggarap kebun ini,” lanjut Armadia.

Model pertanian tomat cherry yang dilakukan dengan sistem hidroponik sama sekali tidak bergantung pada musim. Meskipun tiap setahun hingga satu setengah tahun sekali tanaman tomat cherry harus diganti, namun masa tanam antar petani bisa diatur hingga penggantian pohon tidak serentak dilakukan. Dengan demikian tidak ada masa “paceklik” dan masa kelebihan panen.

“Sebelum berangkat, sekitar jam 8 pagi, saya sudah masak terlebih dahulu. Nanti jam 12 sampai jam 2 istirahat menemani suami makan siang. Baru kembali lagi ke kebun sampai jam 4 sore.” Begitu cerita Wayan Rauh. Kini, secara rutin mereka mendapatkan “upah” Rp 700.000 tiap bulan. “Nanti, bila pinjaman modal sudah lunas, saya yakin kami bisa memberi mereka di atas satu juta per petani,” harap Dayu Martini. Tapi, tampaknya, dengan upah yang didapatkan kini pun mereka gembira. Ada, malah, yang mengaku penghasilannya lebih besar katimbang suaminya.

Lebih dari itu, “Kami petani. Kami bahagia bisa berkebun seperti ini,” tutur Armadia.

Menimbang Sempitnya Lahan Pertanian

Sebagai peneliti pertanian yang tak pernah bosan menjelajahi tiap jengkal tanah Bali, Ir. Suprio Guntoro pantas didengar. Ia tampak selalu gelisah setiap kali membicarakan masa depan pertanian yang kian terkalahkan oleh gemerincing pariwisata itu. Pasalnya, kendati setiap orang di pulau ini gemar bicara tentang lingkungan, tetap saja 300 hektar sawah musnah saban tahun.

“Kini lahan sawah tinggal 83.000 hektar. Dalam beberapa tahun mendatang, kita akan sulit bicara tentang kecukupan produksi beras di Bali,” ungkap Guntoro. Sementara itu, dari 166.000 hektar perkebunan yang masih ada di Bali, saban tahun berkurang 400 hektar. “Bila tidak ada pola pertanian baru yang hemat lahan, kita akan sulit menyediakan bahan baku industri ekspor,” kata peneliti pada Balai Penelitian Pertanian Bali yang tekun mengembangkan berbagai teknologi pertanian dan peternakan itu. “Berkurangnya lahan perkebunan juga merupakan ancaman bagi kelestarian kawasan sumber-sumber air tawar yang sangat diperlukan bagi seluruh penduduk,” sambung Guntoro yang telah berhasil mengembangkan teknologi penggemukan sapi yang disebutnya Bio-Cas.

Selain faktor penyempitan lahan pertanian, ancaman juga datang dari keengganan generasi muda terjun ke pertanian. “Hal ini antara lain terlihat dengan telah ditutupnya seluruh Sekolah Menengah Pertanian di Bali karena tidak mendapat siswa. Jika ini dibiarkan terus, daya saing produk pertanian Bali akan terus merosot,” ungkap Guntoro. Untuk mengatasinya, Guntoro menyarankan pemerintah menggarap sektor sekunder dikaitkan dengan daya dukung sektor primer yang sangat beragam.

Agro industri perlu didorong, tidak terbatas pada industri pangan, tetapi juga perlu diarahkan untuk mewujudkan pertumbuhan baru, seperti agro farma, agro busana, agro kriya dan agro kosmetika. Program ini sekaligus merupakan upaya untuk menumbuhkan minat generasi muda pada kegiatan usaha tani dan industri. Di sisi lain, pertanian organik sudah saatnya digalakkan, agar petani tidak hanya bergantung pada pupuk buatan pabrik yang harganya terus meningkat dan kurang ramah lingkungan.

Di samping itu pola pertanian ini akan dapat membantu memperbaiki struktur tanah dan mengurangi abrasi pantai. Usaha ini sekaligus bisa dikaitkan dengan penanganan sampah khususnya sampah organik sebagai bahan baku kompos. Begitulah. Tapi, tampaknya kita lebih asyik membicarakan pariwisata dan jarang hirau pada usaha-usaha seperti yang dilakukan Guntoro dan kawan-kawan dengan usaha tani kambing yang terintegrasi dengan perkebunan kopi di Desa Bongan Cina, Buleleng, dan usaha perempuan-perempuan di Rendang dengan tanaman hidroponiknya. ~ [swa/cybertokoh.com/2005]

sumber naskah asli >> http://www.cybertokoh.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=201

Leave a Reply