Indonesia Di Mata Jernih Linda Christanty

Oleh Astrid Septaviani + Leila S. Chudori

[MEDIAINDONESIA] – Ketika usianya baru 19 tahun, cerpen pertamanya telah memenangkan penghargaan dari surat kabar Kompas. Selain sebagai penulis atau cerpenis, ia juga berprofesi sebagai jurnalis. Bahkan Ia telah mengeluarkan sebuah buku yang berisi kumpulan laporan jurnalistiknya. Pasca tsunami, tepatnya sejak 2005 hingga 2010, ia bertugas dan menetap di Banda Aceh serta memimpin Kantor Sindikasi Aceh Feature Service yang khusus menyajikan liputan seputar Aceh, baik pasca tsunami maupun pasca konflik. Tema peliputannya pun beragam mulai dari  gender,  anak–anak,  agama,  budaya,  dan banyak lagi. Setiap tulisan atau laporannya dapat diikuti di www.acehfeature.org. Ia adalah Linda Christanty.

Sebagian dari kita lebih mengenalnya sebagai cerpenis. Karya terbarunya dalam bentuk kumpulan cerpen yang berjudul “Rahasia Selma” telah terbit sekitar April 2010. Rahasia Selma lebih banyak mengangkat permasalahan sosial yang sering terjadi dalam keseharian masyarakat kita. Seperti cerita “Pohon Karsen” yang menceritakan perempuan kecil yang menerima pelecehan seksual dari kerabatnya yang tinggal dalam satu atap, ironisnya gadis kecil ini diceritakan hanya dirayu dengan sejumlah komik. Berikutnya adalah ‘Kesedihan’, saya pribadi ketika pertama kali membaca cerpen ini menilai bahwa cerpen ini menceritakan poligami. Namun, ternyata cerita ini menceritakan 2 orang yang sudah berpisah namun tetap tinggal dalam satu atap, dan si pria juga membawa serta pacar barunya untuk tinggal bersama (bertiga). Saya paling suka cerita ini, rasanya cerita ini nyata – nyata terjadi.

Cerita lainnya mengangkat tentang LGBT, dalam hal ini menceritakan pasangan lesbian yang diceritakan dalam cerpen “Mercusuar”, hingga hubungan yang hanya terjadi dalam dunia maya dalam cerita “Babe”, serta banyak lagi permasalahan dasar yang diangkat oleh Linda Christanty ke dalam karya cerpennya. Hampir semuanya menyedihkan, namun juga menggambarkan bagaimana setiap tokoh punya cara masing – masing dalam menyelesaikan masalahnya, mulai dari cara yang lemah seperti dalam “Pohon Karsen” hingga keras seperti dalam “Kupu – Kupu Merah Jambu”.

Sebagai jurnalis, Linda Christanty juga membukukan laporan–laporan jurnalistiknya dalam buku “Dari Jawa Menuju Atjeh” yang terbit pada 2009. Mulai dari peliputan tentang preman yang dibakar hidup – hidup di daerah belakang Mall Taman Anggrek, Widji Tukul, Laporan Konflik di Aceh, Aceh Pasca Tsunami, dan kembali lagi pada tema LGBT, namun kali ini mengenai pasangan gay di Surabaya.

Setiap tulisannya, juga bisa kita simak melalui blog pribadinya www.lindachristanty.com.

Linda Christanty sendiri lahir di Bangka, dan bangga mengaku asli orang Bangka. Kumpulan cerpennya yang berjudul “Kuda Terbang Mario Pinto” mendapat pengharagaan Khatulistiwa Literary Award 2004. Baru baru ini, Linda Christanty juga mendapatkan Penghargaan Suara Perempuan Award tahun 2010 pada 27 Juni 2010. Penghargaan ini diberikan oleh Radio Komunitas Suara Perempuan Aceh sebagai bentuk apreasiasi atas kontribusi, dedikasi dan inspirasi yang dipersembahkan Linda Christanty dalam bentuk karya jurnalistik untuk pemberdayaan perempuan di Aceh.

Hingga kini, Linda Christanty masih tetap aktif baik sebagai jurnalis maupun cerpenis, dan masih tetap dengan sigap dan aktif menangkap setiap peristiwa dan menginformasikannya kembali pada masyarakat dalam bentuk tulisan, baik dalam bentuk laporan jurnalistik maupun cerpen. Tidak hanya sekadar tulisan biasa, tetapi tulisan yang menggugah para pembacanya untuk berfikir, mau mengerti dan mengakui tentang apa saja yang terjadi dalam kehidupan ini. :: http://astridseptaviani.wordpress.com/


Dari Jawa Menuju Atjeh

Kumpulan Tulisan tentang Politik, Islam dan Gay
Penulis: Linda Christanty
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009 (200 hlm)

[TEMPO] – Demikian Linda Christanty memberikan pengantar dalam bukunya berjudul Dari Jawa Menuju Atjeh, sebuah kumpulan perjalanan jurnalistik yang baru saja terbit (Red: ketika artikel ini ditulis April  2009). Ternyata buku berisi 17 judul tulisan itu bukan rekaman kepedulian tentang ”orang-orang biasa”, karena sebagian subyek yang ditulis Linda adalah orang luar biasa dalam sejarah: Pramoedya Ananta Toer, Wiji Thukul, dan Dede Oetomo. Dan penulisnya sendiri pun bukan seorang penulis biasa. Dia adalah aktivis SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) yang bergerak dengan gesit di bawah ancaman pemerintah Orde Baru; untuk kemudian bergabung dengan majalah Pantau (1999) dengan alasan ”saya dapat berpihak pada orang-orang biasa dan bersikap kritis terhadap kekuasaan”. Di antara kesibukannya meliput itu, Linda kemudian dikenal sebagai sastrawan yang melahirkan kumpulan cerita pendek Kuda Terbang Maria Pinto, yang memenangi Khatulistiwa Literary Award (2004).

Kumpulan tulisannya dimulai dengan sebuah perjalanan Linda ke Aceh, tempat untuk pertama kalinya dia membangun dan memimpin kantor berita Aceh Features Service. Linda membukanya dengan kalimat yang menggoda, yang membuat pembaca segera saja memutuskan untuk setia pada tulisannya: ”Dia hampir menendang laptop saya yang tersandar di kaki kursi.”

Lead seperti ini merebut perhatian. Linda, 39 tahun, seorang aktivis, sastrawan, dan wartawan yang memahami bagaimana menarik minat tanpa harus ”menjerit” atau berpretensi menggunakan kata-kata puitis. Kisah hari pertamanya bertemu dengan pengusaha Agam Patra adalah sikap khas seperti seorang yang sudah lama di Pulau Jawa, yang tak mengenali pemuka daerah. Ketika kawannya menyatakan bahwa Linda barusan diantar Agam Patra yang terkenal, Linda hanya memberikan reaksi: ”Oh….”

Hampir di semua tulisannya, ”Jurnalisme dalam Sepotong Amplop” (tentang saat pertama Linda bertemu dengan dunia ”jurnalisme bodrek” yang menghalalkan amplop), ”Arus Balik dalam Hidup Pramoedya Ananta Toer”, ”Wiji Thukul dan Orang Hilang” (tentu saja tentang Wiji Thukul), ”Gaya Nusantara” (tentang homoseksual di Indonesia), ”Adakah Pelangi dalam Islam”, Linda tidak menghakimi. Apa yang dia ceritakan adalah sebuah kisah yang penting dalam sejarah dan posisi subyek itu dalam sejarah. Ia menceritakan dengan kalimat yang jernih, pas, dan sesekali lucu. Ini adalah faktor penting dalam sebuah penulisan artikel features dengan gaya literary journalism yang tampaknya menjadi acuan dalam gaya penulisan Linda.

Dalam penulisan literary journalism yang selalu menggunakan sang wartawan sebagai ”kamera”, sebagai pencerita, sangat sulit rupanya (bagi wartawan Indonesia, paling tidak) untuk melupakan bahwa yang diceritakan bukanlah dirinya sendiri, teta: subyek berita. Beberapa tulisan gaya literary journalism yang sesekali dianut juga oleh majalah ini—sang wartawan malah sibuk dengan pemikirannya sendiri dan menjadikan subyeknya sebagai topik periferal. Dalam hal ini, Linda tahu, dia adalah sebuah ”kamera”; seorang pendongeng dan seorang wartawan. Dia tetap meletakkan Pramoedya, Wiji Thukul, Dede Oetomo di panggung cerita, tanpa melupakan reaksi dan pemikirannya sebagai bagian dari jalinan cerita.

Dalam artikel ”Gaya Nusantara”, kita mengenal Dede Oetomo, seorang gay yang berani keluar secara publik menyatakan orientasi seksualnya pada 1979, ketika soal homoseksualitas masih menjadi topik bisik-bisik. Linda bukan sekadar menyajikan Dede sebagai seonggok data biodata, tetapi dia meniupkan roh ke dalam tulisannya. Dede Oetomo seolah tampil seperti film dokumenter dalam bayangan kita; seseorang yang tidak mau kalah dan sangat nyaman dengan posisinya di masyarakat Indonesia yang masih memandang homoseksualitas sebagai ”sesuatu yang tidak normal”. Tetapi, lebih penting lagi, Linda selalu memberikan konteks, memberikan latar belakang sejarah dan situasi pada setiap gerakan subyeknya. Dalam kisah Dede, dia akan mengingatkan pembaca pada situasi politik dan sosial ketika Dede mulai mengumumkan keadaan dirinya, sampai soal homoseksualitas dalam tradisi dan Serat Centhini. Linda juga memperkaya tulisannya dengan informasi guru besar Soetandyo Wignyosoebroto bahwa baru pada 1985 Departemen Kesehatan menghapus homoseksual dari daftar penyimpangan jiwa.

Dalam tulisan ”Adakah Pelangi dalam Islam”, Linda menekankan suatu pertanyaan penting yang sedang mengguncang negeri ini: apakah kebenaran itu tunggal? Apakah pemahaman Islam itu hanya satu? Lagi-lagi Linda tak berusaha menghakimi, meski jelas dia sangat memberikan empati kepada Ulil Abshar Abdalla, yang dikenai sanksi fatwa akibat tulisan-tulisannya.

Tulisan ”Batalion Terakhir” adalah penyajian Linda yang memperlihatkan betapa Linda sosok yang lucu (kelebihan yang harus dipelihara, karena penulis Indonesia biasanya terlalu serius dengan dirinya sendiri). Linda berkisah bagaimana tentara batalion terakhir di Aceh bergaya pada hari-hari terakhir sebelum mereka pulang ke Jawa. Dengan potongan rambut cepak, dan gaya kepingin difoto-foto dengan Linda, kita membayangkan sebuah hubungan yang menarik antara wartawan dan tentara. Dalam tulisan, kita mempersoalkan kekerasan mereka. Tetapi sehari-hari, tentara adalah manusia biasa yang sederhana dan rindu pada keluarga. Kemampuan Linda menggambarkan tingkah mereka dengan humor inilah yang sangat kurang dimiliki jurnalis Indonesia.

Buku ini bukan hanya melengkapi dan memperkaya pengetahuan kita tentang orang Indonesia (yang dikenal ataupun yang tak dikenal) yang luar biasa kompleks; tetapi memberikan perenungan: tak mudah untuk segera menghakimi dan bersikap moralistis pada kasus-kasus yang terjadi. Linda menarik pembaca untuk berpikir lebih jauh melalui penyajian yang asyik. Buku ini wajib dibaca bukan oleh wartawan saja, tetapi oleh seluruh warga Indonesia yang peduli untuk memperbaiki negeri ini.

Leila S. Chudori
Majalah Tempo edisi 07/XXXVIII 06 April 2009

Leave a Reply