Suzana Murni, Inspirasi Semangat Hidup Kaum Odha Indonesia

Suzana Murni wafat di usia 30 tahun pada bulan Juli 2002. Namanya terukir abadi di hati orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS [Odha] di Indonesia sebagai inspirasi untuk hidup penuh sebagai insan yang layak bahagia seperti insan-insan lainnya. Suzana, dalam hidupnya yang singkat sebagai Odha, berbuat sekuat tenaga dan hatinya untuk membela hak-hak asasi kaum Odha di negeri ini. Kegigihannya berhasil membukakan pintu-pintu yang sebelumnya tertutup bagi kaum Odha di Nusantara.

Lahir pada tanggal 23 Maret 1972, Suzana Murni dinyatakan positif HIV/AIDS pada tahun 1995, ketika karirnya sebagai seorang perancang mode mulai menanjak. Di saat HIV/AIDS di negeri ini masih dianggap tabu dan dirancukan oleh berbagai anggapan keliru yang mengecohkan masyarakat luas, Suzana maju sebagai orang Indonesia pertama yang membuka kepada umum statusnya yang positif HIV/AIDS dan tampil di forum-forum internasional sebagai suara yang mewakili kaum Odha di Indonesia.

Orangtuanya, suami-isteri Fadlan Fadli, menuturkan dalam sebuah surat tertanggal 30.10.2002 yang dimuat majalah Swara Rahima:

“Suzana adalah tipe orang yang tidak mau terlalu cepat mengumbar perasaannya…melalui ucapan atau air mata. Jadi, kami tidak tahu persis apa yang ada di dalam hatinya pada saat ia menyadari apa yang telah ia dan kami alami bersama ketika teman dekatnya meninggal karena AIDS. Demikian juga, ketika ia mengatakan pada kami bahwa di tubuhnya terdapat virus HIV tersebut. Yang kami tahu adalah kami menanggapinya secara biasa-biasa saja. Terpikir oleh kami jauh setelah hari itu bahwa, perlakuan kami yang biasa-biasa itu, mungkin saja merupakan titik awal perjalanan hidupnya sebagai Odha yang amat tegar dan titik awal dari perjalanan karirnya sebagai pegiat AIDS.”

Tidak adanya tempat berobat, mengadu dan mencari kekuatan seperjuangan di tengah sikap masyarakat luas yang cenderung mengucilkan dan menghukum, Suzana membangun jaringan Odha yang ia beri nama Spiritia [kemudian menjadi Yayasan Spiritia]. Dukungan penuh dari orangtua dan para sahabat memberinya spirit untuk selanjutnya menjadi spirit bagi Odha-odha lain di seluruh Nusantara. Lingkaran semangat-menyemangati inilah yang hingga kini menjadi sumber ketegaran banyak Odha di Indonesia menghadapi diskriminasi di dalam kehidupan sehari-hari.

“Saya tidak kehilangan martabat saya sebagai manusia hanya karena saya HIV positif. Saya bangga atas diri saya sendiri, atas usaha saya menghadapi hidup sebaik kemampuan saya. Saya sayang pada diri saya sendiri, dan tidak perlu ada rasa malu atau bersalah yang mengikat langkah saya. Dan bagi saya, jika saya meninggal karena HIV bukan berarti saya lebih hina daripada orang yang meninggal karena sakit jantung atau kanker atau yang lainnya.”

Demikian sekelumit tulisan almarhumah Suzana Murni dalam salah satu dari sekian banyak tulisannya yang disusun dan disunting oleh sahabatnya, penulis terkemuka Putu Oka Sukanta, menjadi sebuah buku bertajuk “Dua Sisi dari Satu Sosok” yang diluncurkan pada bulan Mei 2006 berkat dukungan dari Asia Pacific Leadership Forum (APLF) on AIDS & Development yang disalurkan melalui sekertariat UNAIDS di Indonesia sebagai hibah kepada Yayasan Spiritia.

Adapun peluncuran “Dua Sisi dari Satu Sosok” dilakukan bertepatan dengan peringatan Malam Renungan AIDS yang biasanya jatuh di minggu ketiga bulan Mei, yaitu sebuah tradisi peringatan yang telah dilakukan sejak tahun 1983 di seluruh dunia untuk mengenang mereka yang telah meninggal karena AIDS, memberikan dukungan bagi mereka yang hidup dengan HIV/AIDS, meningkatkan kesadaran dan mengurangi stigma yang terkait dengan HIV/AIDS dan memobilisasi keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan HIV/AIDS.

Bedah buku “Dua Sisi dari Satu Sosok” pada malam peluncuran itu yang dimoderatori oleh Nurul Arifin dan melibatkan pembicara aktivis perempuan Debra Yatim, penulis perempuan Dewi Lestari, serta Kustin Kharbiati, aktivis AIDS yang juga adalah salah satu teman almarhumah.

Di kancah pergerakan AIDS internasional, Suzana Murni pernah menjabat sebagai Koordinator Indonesia untuk Jaringan Orang dengan HIV dan AIDS se-Asia Pasifik (APN ) dan perwakilan Asia Pasifik untuk Jaringan Global Orang dengan HIV dan AIDS (GNP ). Di tahun 2001 dalam pertemuan internasional AIDS se-Asia Pasifik (ICAAP), dengan mengatasi rasa sakit dan meninggalkan kursi roda, Suzana dikenang lewat pidato terakhirnya yang memberikan banyak inspirasi bagi perjuangan AIDS global.

sumber-sumber >> spiritia.or.id + swara rahima + aidsindonesia.or.id

Leave a Reply