Ir. Sri Widowati Di Jajaran Depan Ketahanan Pangan Indonesia

Atas sumbangsihnya dalam penelitian pemanfaatan sifat fungsional beras untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan ketahanan pangan, ia menjadi salah satu penerima Penghargaan Ketahanan Pangan Nasional pada peringatan Hari Pangan Sedunia 2007 di Istana Negara. Ir. Sri Widowati, M.App.Sc. melakukan serangkaian penelitian untuk mengkarakterisasi sifat fisikokimia dan mutu gizi yang berkaitan dengan nilai Indeks Glikemik (IG) beras sebanyak 21 varietas.  Selain itu, ia juga dilakukan teknik-teknik penurunan IG melalui cara pengolahan, antara lain dengan cara pratanak dan instanisasi dengan penggunaan ekstrak teh hijau.

Ir. Sri Widowati, MAppSc mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian (Jurusan Teknologi Hasil Pertanian) pada tahun 1983 dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pendidikan S2 ditempuh di University of New South Wales, Sidney, Australia dan mendapatkan gelar Master of Applied Science (MAppSc) pada tahun 1990. Pada September 2003 ia mengikuti pendidikan S3, Program Studi Ilmu Pangan di Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat.

Ia adalah anggota Kelti Proses Biologi, pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian [BB-Pascapanen] setelah sebelumnya, dari 1993 hingga 2002, ia menjadi peneliti pada Balittan Bogor (yang kemudian menjadi Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan). Karirnya sebagai staf peneliti diawali di Balittan Sukamandi dan berjalan dari tahun 1984 hingga 1993. Jenjang fungsional Ahli Peneliti Madya diperoleh pada 1 Oktober 2003 di bidang Teknologi Pangan. Sepanjang karirnya, Ir. Sri Widowati telah mempublikasikan lebih dari 100 karya tulis (ilmiah maupun semi populer), dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Inggris, sebagai penulis tunggal, utama maupun co-author, yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah, majalah, buletin maupun prosiding. Di samping itu, ia pun aktif sebagai anggota redaksi, antara lain pada Buletin AgroBio dan Jurnal Teknologi & Industri PANGAN. Di komunitasnya, ia terlibat aktif sebagai anggota atau pengurus pada beberapa organisasi profesi, antara lain: Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia (PERMI), Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PAPTI) dan Perhimpunan Biologi Indonesia (PBI).

Pada upacara penyerahan Penghargaan Ketahanan Pangan 2007 kepada 156 penerima, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkata: “Saya ingin mendengar apa yang telah dilakukan oleh mereka yang berprestasi, supaya kami semua bisa belajar, ikut mendengarkan bahwa cara-cara seperti ini menyelamatkan kita, menyelamatkan kebutuhan pangan di Indonesia, dengan harapan kita dorong lagi untuk mencetak prestasi lebih besar lagi.”

Mendesakkan Penganekaragaman Pangan

Jauh-jauh hari sebelum masalah ketahanan pangan dicuatkan, yaitu pada tahun 2000, Ir. Sri Widowati menulis sebuah makalah berjudul “Identifikasi Bahan Makanan Alternatif dan Teknologi Pengolahannya untuk Ketahanan Pangan Nasional” di Buletin AgroBio:

Masalah krisis pangan dan gisi di Indonesia seharusnya dapat ditanggulangi secara mendasar dan berkesinambungan melalui program pengembangan produksi dalam pemanfaatan sumber daya hasil pertanian pangan lokal, dengan cara meningkatkan pemberdayaan industri pangan dan masyarakat petani.

Selama ini pola pangan masyarakat Indonesia diarahkan pada komoditas tertentu saja, yaitu padi sebagai makanan pokok dan kedelai sebagai sumber protein nabati utama. Bahkan masyarakat di wilayah yang dahulu dikenal dengan makanan pokoknya selain beras (misalnya jagung, ubikayu, ubi jalar) seolah-olah digiring untuk beralih ke beras. Sengaja ataupun tidak, sifat superior beras yang selalu dipromosikan merupakan salah satu pemicu beralihnya konsumen nonberas ke beras.

Lebih parah lagi promosi besar-besaran pemanfaatan terigu dan produk-produknya berdampak pada program diversifikasi pangan tidak dapat menyentuh masyarakat luas, meskipun telah banyak penelitian yang dihasilkan. Dampak Iain penggunaan terigu ialah berbagai jenis makanan tradisional yang semula dibuat dengan bahan baku dari tepung bahan pangan lokal (garut, ganyong, ubi jalar, ketan, dll.) semua disubstitusi dengan terigu, yang merupakan bahan pangan impor.

Akhir-akhir ini ketahanan pangan cenderung goyah akibat penurunan kemampuan pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan beras dalam negeri karena berbagai hal. Jumlah penduduk Indonesia saat ini 206,5 juta jiwa dengan laju pertumbuhan 1,66% per tahun (BPS, 2000) dan tingkat konsumsi beras per kapita sebesar 130,1 kg merupakan tantangan yang tidak ringan. Tahun 1997-1998 pemerintah telah mengimpor beras sebanyak 5,8 juta t (Hasanudin et ai, 1999). Kekurangan beras ini diperkirakan akan terus membesar.

Hal serupa terjadi pada kebutuhan kedelai. Induk Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (INKOPTI), melaporkan bahwa sampai saat ini, dengan berbagai alasan teknis produksi, pasokan kedelai lokal hanya mampu memenuhi sekitar 10% dari total kebutuhan industri tempe/tahu Indonesia, sedangkan sisanya harus diimpor (Sutarto, 2000). Memang sangat ironis, bahwa tempe/tahu yang merupakan makanan utama sebagian besar masyarakat Indonesia, bahan bakunya tergantung dari luar negeri.

Di pasar internasional, Indonesia menduduki peringkat ketujuh negara pengimpor kedelai terbesar. Kedelai yang diimpor terutama dari Amerika, sehingga Indonesia dijuluki sebagai the biggest US No. 1 soybean importer in the world. Berdasarkan data yang dihimpun oleh American Soybean Association (ASA) jumlah impor kedelai Indonesia meningkat tajam, yaitu dari 718.000 t (1995) menjadi 810.000 t (1997) dan 1.156.000 t (1999). Ketergantungan industri tempe/tahu terhadap bahan baku impor membuat basis industri produk tersebut dalam posisi yang lemah.

Oleh sebab itu, perlu diupayakan suatu kebijakan yang secara bertahap dan konsisten mengurangi ketergantungan impor tersebut. Sesungguhnya untuk memenuhi kebutuhan makanan bagi penduduk Indonesia yang hidup dalam lingkungan masyarakat majemuk dan mempunyai aneka ragam kebudayaan, akan lebih mudah kalau kebijaksanaan pengadaan beras sebagai makanan pokok diganti dengan penganekaragaman makanan.

Selain itu, sesuai dengan tradisi yang berkembang di kalangan masyarakat majemuk, sesungguhnya dapat menghindarkan dominasi suku bangsa dan kebudayaan tertentu terhadap suku bangsa dan kebudayaan lainnya dalam masyarakat Indonesia yang sedang berkembang (Budhisantosa, 2000).

Dengan kata lain, penganekaragaman pangan merupakan solusi yang sangat sesuai untuk mengatasi kebutuhan pangan, khususnya karbohidrat dan protein. Melalui pengaturan kembali pola menu yang tidak tergantung pada komoditas tertentu saja dan ketersediaan jenis bahan pangan yang cukup, memungkinkan masyarakat dapat menentukan sendiri pangan yang dikonsumsi.

Dalam upaya penganekaragaman pangan untuk mengatasi kerawanan pangan tersebut perlu dilakukan identifikasi bahan makanan lokal yang berpotensi untuk dikembangkan. Berdasarkan sifat fisiko kimia bahan yang beragam maka perlu dilakukan modifikasi pengolahan. Penelitian mengenai penganekaragaman bahan baku dan teknologi pengolahannya telah banyak dilakukan, namun upaya pemasyarakatannya masih sangat kurang. Oleh sebab itu, kendala adopsi teknologi perlu segera diatasi oleh komponen terkait.

sumber >> http://pascapanen.litbang.deptan.go.id

Leave a Reply