Tragedi Dorong Bidan Ros Rintis Tabungan Ibu Hamil

bidan-rosmiati
 
[BENGKULUEKSPRESS] – Mungkin ia terlihat sederhana dan apa adanya, namun di balik kesahajaan itu ia sosok kreatif luar biasa. Namanya Rosmiati, atau akrab dipanggil Bidan Ros. Bidan desa yang bertugas di desa yang berinfrasutruktur minim ini mampu mengalahkan 1.088 bidan desa lainnya dan menjadi satu dari lima orang yang menerima SATU Indonesia Awards 2012, penghargaan yang diberikan kepada generasi muda yang memiliki prestasi di bidang pendidikan, lingkungan, kesehatan, teknologi, dan kewirausahaan.
 
Bidan Ros, yang bertugas di Puskesmas Pembantu Desa Tunggal Rahayu Jaya, Kecamatan Teluk Belengkong, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Riau, itu berhasil menelurkan gagasan cemerlang di tengah kondisi infrastruktur kesehatan yang jauh dari kata layak.
 
“Tempat saya benar-benar terpencil, jauh sekali dari kota. Aliran listrik tidak menyala 24 jam setiap hari,” ungkap perempuan kelahiran Riau, 27 Oktober 1984, itu.
 
Alumnus D-3 Akademi Kebidanan Padang 2007 tersebut menjadi bidan PTT (Pegawai Tidak Tetap) mulai 2008 di Pemkab Indragiri Hilir. Dia lalu ditempatkan di desa terpencil di tengah hutan itu.
 
Baru bertugas, dia sudah dihadapkan pada kondisi kesehatan masyarakat setempat yang memprihatinkan. Yakni, angka kematian ibu dan bayi baru lahir yang cukup tinggi. “Untuk ukuran desa kecil, angka kematian satu jiwa saja sudah besar,” katanya. Di desa itu ada sekitar 1.030 jiwa penduduk.
 
Bidan Ros berterus-terang, gaji pokok sebagai bidan PTT di Indragiri Hilir Rp 1,2 juta per bulan. Sebagai bidan yang bekerja di daerah khusus, Rosmiati mendapat tunjangan khusus Rp 2 juta per bulan. Dia mengaku penghasilan tersebut sudah cukup untuk hidup bersama suami dan anaknya.
 

rosmiatiMedan yang Penuh Tantangan Berat

 
Rosmiati menuturkan, pada awal-awal bertugas sebagai bidan desa, dirinya sering dihadapkan pada kasus-kasus kehamilan dan kelahiran yang ekstrim. Misalnya, dia pernah diminta menolong menangani kasus kelahiran di pedalaman kebun sawit.
 
“Kasus itu terjadi di kecamatan tetangga. Tapi, karena bidan desanya kosong, saya diminta menolong kelahiran perempuan itu,” ujar Bidan Ros, yang juga seorang ibu dari putera bernama Rizqi Astra Nugraha .
 
Padahal, untuk sampai ke lokasi pasien, dirinya harus naik motor dengan jalan tanah yang bergelombang. Karena belum hafal jalan, Rosmiati dan si pengantar berkali-kali tersesat di tengah hutan. Setelah sampai di lokasi, ternyata sudah enam jam ari-ari si bayi tidak keluar dari rahim ibunya.
 
“Pendarahannya lumayan hebat. Tetapi, bayinya berhasil dikeluarkan dengan selamat berkat bantuan dukun,” tegasnya.
 
Tanpa pikir panjang, Rosmiati langsung merujuk ibu yang kritis itu ke RSUD Pemkab Indragiri Hilir. Namun, evakuasinya sungguh berat. Sebab, di desa tersebut tidak ada ambulans yang siaga. Karena itu, evakuasi terpaksa dilakukan dengan cara manual. Pasien dibawa ke rumah sakit dengan ditandu warga.
 
Agar tidak kepanasan, pasien dipayungi dengan dedaunan seadanya. Selama hampir dua jam perjalanan, rombongan pasien akhirnya sampai di bibir sungai. Mereka harus menyeberangi sungai yang dalam dan deras untuk bisa menuju RSUD Pemkab Indragiri Hilir.
 
Penyeberangan itu butuh waktu sangat lama. Lebih dari empat jam. Nahas bagi si ibu. Dia kehabisan darah dan meninggal di atas perahu.
 

Tragedi Mendorong Lahirnya Tabungan

 
Kasus tersebut menjadi pelajaran berharga buat Rosmiati. Mulai saat itu, dia memperhatikan kondisi pasiennya secara lebih saksama. “Risiko penyulit persalinan sekecil apa pun harus diantisipasi,” tegasnya.
 
Rosmiati juga menyiagakan sebuah “ambulans” perahu untuk mengangkut pasien yang perlu menyeberangi sungai menuju RSUD di kabupaten. Hanya, untuk sampai ke “ambulans” tersebut, pasien tetap harus ditandu berjam-jam naik turun perbukitan.
 
Rosmiati menambahkan, persoalan tidak berhenti di situ. Biaya “ambulans” perahu yang mahal juga menjadi ganjalan bagi warga desanya yang kebanyakan kalangan ekonomi rendah. Tarif perahu itu Rp 2 juta-Rp 6 juta per pasien, bergantung jarak yang ditempuh.
 
Rosmiati pun berpikir keras untuk mengatasi masalah tersebut. Dia akhirnya mendapat ide dengan menggalang dana kesehatan. Yakni, penarikan iuran wajib Rp 2 ribu per kepala keluarga setiap bulan. Dana yang terkumpul diberikan kepada warga yang bersalin. Besarnya sekitar Rp 500 ribu. Tapi, jika warga tersebut harus dirujuk ke RSUD, dana yang diterima juga semakin besar. Yakni, sekitar Rp 1 juta.
 
Rosmiati juga menggagas Tabungan Ibu Bersalin. Bedanya, nominal tabungan tersebut tidak dipatok. “Kalau tabungan ini, nominalnya terserah warga dan khusus bagi yang hamil saja,” terang dia.
 
Karena nominalnya tidak ditentukan, jumlah tabungan yang dikumpulkan masyarakat bervariasi. Dia mencatat, rekor tabungan persalinan paling banyak mencapai Rp 2 juta. Jika ditambah santunan dana kesehatan yang dia terima, nominal itu sudah cukup untuk ongkos bersalin ke RSUD setempat. “Tetapi, ada juga yang tabungan persalinannya hanya Rp 30 ribu hingga menjelang kelahiran,” katanya lantas tersenyum.
 
Yang jelas, berapa pun tabungan yang terkumpul akan dikembalikan secara utuh kepada pasien. Rosmiati tidak menarik potongan sepeser pun dari tabungan tersebut.
 

Bidan Rosmiati Pemenang SATU Indonesia 2012Bercita-cita Menghadirkan Perahu Ambulans

 
Semangatnya saat ini adalah berkampanye agar semakin banyak warga yang bersedia menabung untuk mempersiapkan persalinan. Sebab, tidak ada yang bisa memperkirakan persalinan akan berlangsung lancar. Dana tabungan pasti akan sangat bermanfaat bagi warga yang bersangkutan.
 
Rosmiati, yang kemudian menjadi koordinator bidan tingkat kecamatan itu, sangat bersyukur karena peralatan medis di tempatnya bekerja kini lebih komplet berkat prestasinya meraih penghargaan SATU Indonesia 2012 untuk kategori bidang kesehatan. Hadiah yang diterima berupa uang Rp 55 juta. Penghargaan itu diprakarsai Astra Internasional. “Sebagian uangnya saya belikan peralatan medis untuk kelengkapan Puskesmas kami,” tuturnya.
 
Sebagai satu-satunya tenaga medis di desa terpencil dengan tingkat kehamilan warganya yang rapat serta ancaman berbagai penyakit, Rosmiati berharap bisa diangkat menjadi PNS (pegawai negeri sipil). “Supaya saya bisa bekerja dengan tenang,” ungkapnya.
 
Selain itu, dia berharap ada penambahan jam singgah perahu atau speedboat ambulans. Selama ini, ambulans terapung masih langka karena harus melayani desa-desa lain di kecamatan itu. Jika di setiap desa ada satu ambulans terapung yang siaga 24 jam, pasien yang dirujuk ke RSUD pun akan cepat tertangani. “Kalau perahu umum, selain harus menyewa, antrenya lama. Kita juga harus carter (sewa),” ujarnya. ::