Tunanetra Anik Indrawati Susun Al Qur’an Huruf Braille

Anik Indrawati dan suami.
Anik Indrawati dan suami. | ayogitabisa.com

[SUARAHIDAYATULLAH] – Anik Indrawati tampak serius membuat al-Qur`an Braille. Meski matanya tak bisa melihat, tapi jari-jemarinya piawai menekan tombol mesin ketik Braille. Letak enam tombol huruf Braille telah dihafalnya. Untuk memulai kalimat baru, Anik menekan tombol spasi. Terkadang juga menekan tombol di bagian samping untuk menaikan dan menurunkan kertas. Mirip mengetik di komputer. Setelah beberapa menit, kertas manila hijau muda itu mulai dipenuhi titik huruf Braille surat al-Fatihah dan tiga ayat al-Baqarah. Kertas yang berisi 27 blok itu perlahan-lahan keluar dari bagian belakang mesin ketik. Anik pun mengambil kertas itu sambil meraba-raba, sementara wajahnnya dihadapkan ke atas sambil berkonsentrasi. Tak lama kemudian mulutnya berucap, “Alhamdulillahirabbil ‘alamin. Arrahmanirrahim.”

Anik, demikian kelahiran Surabaya 1976 ini biasa disapa, sedang merampungkan pesanan pembuatan al-Qur`an Braille sebanyak 10 juz dari Kodam Surabaya. Karena dikerjakan sendiri, pesanan itu belum tuntas semuanya. “Baru selesai lima juz. Masih banyak lagi,” tuturnya kepada Suara Hidayatullah pertengahan Juli lalu di kediamannya Simo Pomahan Baru Gang 12 no. 15, Surabaya, Jawa Timur.

Kata Anik, menjelang bulan puasa tahun ini pesanan al-Qur`an Braille cukup ramai. Selain order 10 juz tadi, Anik juga sedang menggarap pesanan dari teman suaminya di Tuban, Jawa Timur. Pesanan itu cukup banyak, seperti buku Yasin, buku tahlil, doa shalat, serta 50 doa sehari-hari. Karena digarap sendirian, pesanan itu masih ngantri. “Belum kelar, Mas. Masih menunggu giliran digarap,” katanya.

Oleh karena itu, agar bisa selesai, Anik hampir setiap hari mengerjakannya. Kadang pagi, siang, bahkan malam. Dari pembuatan al-Qur`an Braille itu, Anik mendapat Rp 1000 perlembarnya. Perhari, ia kadang hanya bisa menggarap sekitar lima lembar. Untung saja, ia dibantu suaminya, Suharto yang juga seorang tunanetra.

Suharto kebagian tugas mengoreksi. “Alhamdulillah, saya bisa baca al-Qur`an Braille juga. Jadi bisa mengoreksi ketikan istri,” ujar Suharto.

Membuat al-Qur`an Braille boleh dibilang cukup sulit. Harus teliti dan sabar. Apalagi dengan kondisi fisik yang tidak sempurna. Bila tak hati-hati, bisa-bisa salah. Ia pun selalu berusaha agar hasil garapannya benar dan memuaskan.

Anik tidak hanya mengandalkan pesanan di rumahnya. Apalagi, masih jarang orang yang memesan pembuatan al-Qur`an Braille. Kadang ramai kadang sepi. Karena itu, bila ada waktu kosong, ia selalu menyempatkan membantu Yayasan Pendidikan Tunanetra Islam Karunia (Yaptunik) Surabaya, tempatnya dulu belajar mengaji dan membuat al-Qur`an Braille. Di Yaptunik, Anik hanya mendapat upah Rp 500 per lembarnya.

Mesin Pinjaman

Menurut Anik, di Surabaya ada banyak penyandang tunanetra yang belum memiliki al-Qur`an Braille. Juga, di antara mereka banyak yang belum bisa membacanya. Hal itu berimbas pada minimnya tunanetra yang bisa mengakses pengetahuan Islam, khususnya al-Qur`an. Padahal, kata Anik, tunanetra juga punya kebutuhan dan hak yang sama. “Penyandang tunanetra juga sama seperti manusia normal, butuh ilmu agama dan al-Qur`an,” katanya.

Umat Islam, kata Anik, masih jarang yang mau peduli dengan kaum tunanetra, khususnya mewakafkan al-Qur`an Braille. Di Indonesia saja, imbuhnya lagi, percetakan Braille hanya ada di Bandung, Jawa Barat. Hal itu membuat distribusi al-Qur`an Braille belum banyak.

Kondisi itulah yang membuat Anik prihatin. Sebagai sesama penyandang tunanetra, ia merasakan betul kebutuhan mereka. Karenanya, Anik dan suaminya berusaha sebisa mungkin membantu mereka. “Mata mereka telah buta. Tapi, saya berharap, hati mereka tidak ikut buta. Hati mereka harus bisa melihat cahaya Islam dengan sangat terangnya,” ujarnya.

Oleh karena itu, Anik ingin sekali membantu mereka. Tapi, apa boleh buat, Anik tidak punya apa-apa. Mesin ketik yang dipakainya saja pinjaman dari Yaptunik. Bentuk mesin itu pun kini sudah usang, sebagian terlihat mulai berkarat. Sebab, ia tidak mampu membeli mesin baru yang harganya jutaan itu.

Ingin Menjadi Guru

Awalnya, Anik dilahirkan dalam keadaan normal. Tapi, takdir berkata lain saat usianya menginjak tiga tahun. Ketika itu, tiba-tiba ia menderita sakit panas dan sesak nafas. Ia pun harus dirawat di rumah sakit cukup lama. Katanya, karena terlalu lama dan akibat oksigen yang overdosis, saraf matanya menjadi rusak hingga mengakibatkan kebutaan.

“Mau bagaimana lagi, Mas, namanya juga takdir. Saya hanya bisa pasrah dan sabar,” tuturnya. Tapi Anik berusaha tetap optimis dan semangat menjalani hidup. Bahkan, ia bercita-cita menjadi guru. “Saya dulu ingin jadi guru. Karena itu, meski begini saya tetap sekolah hingga lulus SMA.”

Saat SD hingga SMP ia lalui di SLB khusus tunanetra. Sedangkan SMA ditempuh di sekolah biasa, bersama siswa normal lainnya. Meski begitu, Anik tidak minder dan tetap semangat. Bahkan bisa lulus di kelas jurusan IPS. Sayang, asa untuk lanjut kuliah harus terganjal gara-gara uang. Ia pun rela melepas cita-cita menjadi guru. “Yang penting saya telah berusaha. Hasil akhirnya di tangan Allah.”

Kendati begitu, Anik tetap tidak menyerah dengan keadaan. Suatu saat, ia mendenger di radio ada sebuah yayasan tunanetra yang mengajarkan al-Qur`an Braille. Dari rumahnya ke yayasan yang dituju cukup jauh, sekitar satu jam dengan kendaraan. Tanpa pikir panjang, dengan naik angkot, ia pun mendatangi yayasan tersebut. “Tongkat wajib saya bawa agar orang tahu bahwa saya tunanetra,” ujarnya.

Alhamdulillah, dalam tempo sekitar tiga bulan, ia bisa membaca al-Qur`an. Ia pun kini telah hafal separuh dari juz ke-30. Tidak hanya itu, ia pun dilatih membuat al-Qur`an Braille. Di tempat ini, Anik bertemu dengan para penyandang tunanetra lainnya, termasuk Suharto, suaminya. Anik mengenang, “Alhamdulillah, saya dipertemukan Allah jodoh saya di situ.”

Suharto yang asal Tuban, Jawa Timur menderita tunanetra sejak lahir. Menurutnya, dari Tuban ia mengembara hingga “terdampar” di Kota Pahlawan dan menikahi perempuan pujaanya itu. “Perjalanan hidup saya panjang sekali. Pernah di Tuban, Malang, hingga ke Surabaya. Tapi, bisa berada di sini dan dapat istri Anik adalah berkah tak terhingga,” ucap Suharto bahagia. Selain membantu istrinya, Suharto juga membuka praktek pijat di rumahnya. Hasilnya bisa membantu biaya makan sehari-hari.

Keduanya berharap agar bisa lebih bermanfaat lagi bagi penyandang tunanetra lainnya. Cita-cita mereka adalah bisa mencetak al-Qur`an Braille sebanyak-banyaknya. Mereka juga mengimpikan rumah mereka menjadi tempat majelis taklim khusus tunanetra. “Saya ingin bisa mengundang mereka dan membiayai mereka. Tapi entah kapan, itu hanya cita-cita,” harap Suharto. ::  Syaiful Anshor/Suara Hidayatullah, SEPTEMBER 2011/foto >> siweh.blospot.com+CentroOne.com+SuaraHidayatullah

Leave a Reply