Ummi Kalsum, Pejuang Pangan di Aceh Besar

ummi_kalsum_videoHABADAILY+MONGABAY – Ummi Kalsum, perempuan asal Aceh Besar menjadi salah satu dari sembilan orang perempuan yang mendapat anugerah pejuang pangan. Pengukuhan perempuan pejuang pangan bertepatan dengan Hari Pangan Dunia jatuh pada Minggu, 16 Oktober 2016.

Ummi Kalsum terpilih karena telah membuktikan mampu menginspirasi komunitasnya dalam bidang pertanian. Ia adalah perempuan yang selama 5 tahun sampai 2016 didampingi oleh Aceh Women for Peace Foundation (AWPF), yayasan perempuan Aceh untuk perdamaian sebagai organisasi masyarakat sipil yang memiliki perhatian terhadap hak asasi perempuan dan perdamaian.

Direktur program keadilan ekonomi Oxfam, suatu konfederasi badan-badan amal dunia yang menekuni pengentasan kemiskinan, pada acara penganugerahan Perempuan Pejuang Pangan versi Oxfam 2016 di Bakoel Koffie Menteng Jakarta Pusat mengatakan, kesembilan perempuan yang terpilih telah mampu menjadi penggerak bidang pangan di tingkat dasar. Perempuan-perempuan itu terlibat langsung dalam mempertahankan lahan pertaniannya, seperti penerapan pertanian dengan varietas lokal yang lebih adaptif terhadap iklim dan lingkungan setempat serta membudidayakan pertanian hidrofonik untuk mengatasi sempitnya lahan.

Sembilan perempuan itu mewakili Indonesia timur hingga wilayah Indonesia Barat, di antaranya Giyem (Pati), Ummi Kalsum (Aceh Besar), Seliwati (Luwu Utara), Daeng Karra (Makasar), Nurlina (Pangep), Sri Rohani (Kebumen), Catur Rini (Bogor), Beatrix Rika (Sikka) dan Erna Leka (Tulang Bawang).

Kesembilan pejuang pangan dipilih melalui kompetisi video anak muda. Pencarian tokoh perempuan pejuang pangan Oxfam di Indonesia ini dimulai sejak 27 Juli sampai 06 Oktober 2016. Juri kompetisi video Female Food Hero (FFH) terdiri dari Dini Widiastuti dari Oxfam Indonesia, Prisia Nasution artis perempuan yang memiliki ketertarikan pada isu-isu sosial dan Dandhy Laksono videografer sekaligus pengkampanye ketahanan pangan.

Dari 34 video yang masuk dari seluruh provinsi Indonesia, Aceh masuk menjadi pemenang dari kompetisi pejuang pangan, mereka Ummi Kalsum dan Rita Juniasari (kompetisi video) yang merupakan perwakilan dan dampingan Aceh Women for Peace Foundation (AWPF).

Direktur Eksekutif AWPF Irma Sari mengatakan, perjuangan Ummi Kalsum sebagai perempuan petani yang menjadi ketua pertanian bukan hal yang mudah. Banyak cobaan yang diterima Ummi Kalsum, termasuk tidak mendapatkan insentif sama sekali. Irma juga berharap, keterlibatan Ummi Kalsum dalam bidang pertanian dapat diakui oleh pemerintah daerah Aceh Besar.

“Beliau bekerja untuk pertanian gampongnya dengan ikhlas,” terang Irma. 

Ajakan dari Pintu ke Pintu, Demi Perempuan Tani Pantee

Setiap dua minggu sekali, ia memutar kampung sekitar satu, dua kilometer untuk mengabarkan informasi kepada satu per satu anggota tani.”Permisi, nanti datang ya acara abis dzuhur,” katanya terus berulang, kepada sekitar 71 anggota.

Itulah yang dilakukan Ummi Kalsum, Ketua Kelompok Tani di Dusun Ahmad Pantee, Desa Pantee, Aceh Besar.

Kalsum, terpilih sebagai salah satu Perempuan Pejuang Pangan pada program yang diselenggarakan bersama oleh Oxfam Indonesia dan Rimbawan Muda Indonesia.

Dari lorong ke lorong, dia mengetuk pintu agar warga desa mendapatkan informasi soal pertanian. Baik itu mengenai bantuan penyuluhan, bibit, pupuk sampai pelatihan penyemaian sawah.

”(Saya) tak bisa naik honda (sepeda motor-red), jadi jalan kaki dari jam 8.00 sampai 1.00 atau 2.00 siang,” katanya.

Pada 2009, perempuan dua anak ini aktif sebagai sekretaris kelompok tani. Saat itu, kondisi kelompok tani tidaklah semaju sekarang. Ketua tani tak aktif memajukan bidang pertanian di sana.

Kalsum bercerita, pernah menolak membuat proposal bantuan pertanian. ”Kita jadi ketua tani, apa pun (fasilitas) tak dikasih, ngapain kita buat itu, gaji tak ada.”

Yang mereka perlukan benih padi, pupuk, penyuluhan dan lain-lain. Mereka sempat ada bantuan kepada 25 hektar benih padi sawah sebanyak 625 kilogram dan penyuluh. Bantuan diterima begitu saja, ketua tak mau mengurus.

Padahal, syarat mendapatkan bantuan hanya membubuhkan tanda tangan dan membuat buku bank kelompok tani, dana tersalur. Itu saja sulit, katanya.

Akhirnya, dia membuat sendiri. ”Kalau mau bantu masyarakat, kita tak perlu lihat gaji, perlu kerja ikhlas,” katanya.

Pada 2012, perempuan berusia 47 tahun ini terpilih menjadi ketua. Cibiran orang di belakang dia ada. Pasalnya, kini ada perempuan yang menjadi kepala di dalam kelompok tani, suatu peran yang sebelumnya biasa dipegang laki-laki.

Dia tak ambil pusing. Kalsum meminta restu dari keluarga untuk pengabdian itu. Dia juga mendapat dukungan dari lurah dan organisasi perempuan, Aceh Woman For Peace Foundation (AWPF).

Dukungan AWPF ini menguatkan Kalsum melangkah. Selama empat tahun, dia membimbing melakukan perubahan berkaitan perubahan iklim dan gender.

Video tentang Ummi Kalsum karya Rita Juniasari, 2016.

Menjadi ketua tani jelas membuat dia sibuk. Pengaturan waktu lebih disiplin dengan bangun lebih awal setiap hari untuk menyiapkan keperluan rumah ataupun rapat penyuluhan.

Tak semata-mata eksistensi, dia mau menyuarakan dan membantu perempuan tani agar tak bergantung pada suami dan turut menghasilkan hasil tani lebih maksimal. Kini, bantuan pertanian seringkali datang. Mulai dari pompa air untuk irigasi, mesin menanam padi dan hand tractor. Alat-alat ini biasa menjadi kebutuhan yang berat bebannya bagi kegiatan pertanian.

Sejak 2014, hasil produksi tani bisa kali lipat. ”Misal punya empat lahan. Biasa dihitung pakai kaleng cat, kalau dulu hanya 80 kaleng, sekarang 150 kaleng per petak,” katanya. Satu kaleng 30 kg.

Dia menyebutkan,  ruang gerak perempuan di Aceh terbilang tak mudah. Ia juga dibenarkan Rita Juniasari, pembuat video tentang Kalsum.

”Geram, gerak perempuan sangat sulit,” kata sineas muda yang membuat video perjuangan ini.

Tak pelak, arus informasi terbatas, kadangkali mereka mengeluhkan ketinggalan informasi. Rapat pembangunan kampung, perempuan jarang diikutsertakan.

Walau kini tak seekstrim dulu.”Saya dulu tak boleh keluar malam, suami bilang untuk apa keluar malam? Kini, ya sudah tak apa, demi kepentingan masyarakat banyak,” ucap Kalsum.

Perubahan ini terjadi bukan hanya karena ada pembelajaran dan sosialisasi AWPF, juga pendekatan dengan aparatur desa.

“Sekarang kecamatan juga sering manggil kami,” ucap Kalsum mengakhiri wawancara. :: habadaily.com/17OKT2016 + mongabay.co.id/05nov2016

 

Source: Perempuan Aceh Besar Dinobatkan Sebagai Perempuan Pejuang Pangan :: Habadaily.com + Ummi Kalsum, Ajakan dari Pintu Ke Pintu, Demi Perempuan Tani Pantee

Leave a Reply