[buku] Gaganawati Tauladankan “38 WIB – Wanita Indonesia Bisa”

Oleh Ngesti Setyo Moerni

38 WIB - Wanita Indonesia Bisa karya Gaganawati Stegmann.
38 WIB – Wanita Indonesia Bisa karya Gaganawati Stegmann.

KOMPASIANA – Buku “38 WIB – Wanita Indonesia Bisa” merupakan penyampaian pengalaman perempuan sukses melalui perjuangannya yang tidak mudah dan berliku hingga membuat pembaca semakin penasaran bahkan ingin membolak-balik buku tersebut karena terjadi persamaan pengalaman perjalanan hidup dengan pembaca, mungkin hanya beda-beda keberuntungan, situasi dan terkadang pengalaman keberhasilan yang dihadapi secara langsung diperoleh dari perjalanan hidupnya yang panjang berakhir dengan happy ending.

Ada manusia yang sukses karena faktor luck tanpa melalui proses ujian terlebih dahulu, ada yang diperolehnya juga secara kebetulan tetapi yang sangat nikmat adalah melalui proses ujian. Menapakinya memang terkadang sakit tetapi puas pada akhirnya, ada rasa lega yang amat. Memulai segala sesuatu dari nol merambat secara perlahan dengan goncangan hebat maupun dengan kerikil-kerikil kecil namun tajam yang dilaluinya. Hal inilah yang di sampaikan oleh Gaganawati untuk buku yang dibuatnya.

Tigapuluh delapan perempuan dari negeri ini memiliki kisah masing-masing, ketika ada kemiripan kisah dengan pembaca, maka pembaca merasa tegar dalam menghadapi hal-hal yang terasa memberatkan, hingga ketika membaca kisah-kisah yang mirip sama, keluar ungkapan, ternyata di luar sana ada juga yang melakoni kehidupan seperti halnya dirinya hingga berujung pada kesuksesan atau minimal masalahnya dapat terurai.

Pengalaman Petani Sri Sulastri

Membaca 38 WIB semua pengalaman yang ada sangat bagus bisa dijadikan contoh dan penguat rasa, ada satu perjalanan hidup seorang perempuan yang saya garisbawahi adalah kisah seorang ibu, seorang nenek [gennie] dari beberapa cucu dari empat putra-putrinya dan isteri seorang pilot. Ibu Sri Sulastri biasa disapa Mbak Ncul ini mengapa memilih menjadi petani di desa terpencil Pasir Datar di pucuk gunung Sukabumi dalam sepi jauh dari hingar bingar Ibukota? Ada apa? Apa yang kau cari? Jawabnya, cinta!

Srikandi petani Sri Sulastri (baju kotak-kotak) diapit penggemar di bedah buku 38 WIB, 31 Juli 2015.
Srikandi petani Sri Sulastri (baju kotak-kotak) diapit penggemar di bedah buku 38 WIB, 31 Juli 2015.

Mencintai sesuatu, yaitu tanaman, sampai ke ubun-ubun, utamanya lagi prihatin atas perlakuan kepada petani-petani gurem yang berada di sekitar tanah miliknya yang awalnya hanya 3.000 meter. Petani yang tidak di uwongke oleh pemborong hasil tani, mendapat perlakuan tidak manusiawi oleh juragan-juragan tengkulak di desa, ketika panen tiba. Sri Sulastri sangat amat prihatin dengan keadaan yang ada. Harga panenan petani jika sedang jatuh tidak dapat untuk balik modal kerja. Akhirnya Sri Sulastri membawa hasil panennya ke Pasar Kramat Jati Jakarta dengan kendaraan bak terbuka yang dikemudikan sendiri. Bukan main! Ini kiprah seorang Srikandi Petani.

Hal-hal semacam ini tidak terekspose oleh masyarakat, untung Gaganawati mengangkat dalam buku 38 perempuan Indonnesiia Bisa, jadi kita semua bisa mengetahui kiprah sebagian perempuan Indonesia yang menjadi Srikandi-srikandi di bidangnya, maaf penulis sampai merinding ketika membaca. Janganlah kita sebagai perempuan hanya bisa bergosip, jalan-jalan/hura-hura menghabiskan uang hasil kerja keras suami.

Makna Suka dan Kemauan

Setelah membaca lebih jauh ternyata suka dan kemauan mengalahkan segala-galanya. Makna suka di sini bisa sesuaatu yang menggetarkan hati secara mendalam ketika, misalnya, melihat tanaman-tanaman berwarna hijau subur, menikmati hasil jahit, masak, mendesain pakaian, mendesain rumah. Apa pun hasil yang menggetarkan itulah suka yang mendalam.

Dengan dibarengi kemauan dan dipoles modal yang tidak membutuhkan dana milyaran maka yang ditekuni dan disukai akan menembus juga ke angka yang disebut di atas. Hal ini dilakoni oleh Sri Sulastri yang awalnya memiliki tiga ribu meter lahan pertanian, sekarang menjadi empat hektar dengan 12 belas pekerja. Ini merupakan kesuksesan yang luar biasa atas ketekunan seorang perempuan yang tak kenal usia.

Setelah mengasuh keluarga ditunaikan, Sulastri muda dapat menyalurkan hobi dan kesukaan yang sangat bermanfaat bagi orang banyak dan lingkungan. Itulah Ibu Sri Sulastri yang memiliki semangat tinggi. Sekarang, di usia yang umum dianggap tidak muda lagi, kegigihannya membuktikan di usia berapa pun jiwa dapat tetap muda.

Semua yang ada di buku 38 WIB sangat menginspirasi. Bukan berarti bahwa tigapuluh tujuh perempuan lainnya yang diangkat oleh buku tersebut tidak menarik perhatian saya. Semua kisah perempuan yang ditampilkan Gaganawati sangat menginspirasi, memiliki perjuangan yang berbeda. Seperti dari Kompasianer Aridha Prassetya yang dosen, Edrida Pulungan, S. Pd. S. S. M. HI. yang sibuk di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Jakarta, Maria H Sumitro, SE. yang sangat konsen pada lingkungan, Christie Damayanti, juga sosok profil lainnya. Termasuk Gaganawati sendiri serta Dwi Suharsini, SPd.

Bedah buku "38 WIB" yang disambut antusias tua-muda, 31 Juli 2015 di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta.
Bedah buku “38 WIB” yang disambut antusias tua-muda, 31 Juli 2015 di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta.

Kata bijak yang diberikan dalam tulisan dari pengalaman hidup Dwi Suharsini adalah: “Tetaplah menjadi manusia yang kuat dan tabah dalam menjalani, ketika ditinggalkan anak-anak yang tinggal di luar negeri. Karena anak hanyalah titipan Tuhan”. Dwi Suharsini, yang dikaruniai anak banyak, mampu dengan indah menjaga karir tetap berjalan. Buku 38 WIB bertutur imbang bahwa dalam setiap perjalanan meraih cita-cita ada senang, ceria dan ngregel-nya. Masing-masing keadaan nyata manusia mengarungi hidup di Bumi tercinta ini.

Gaganawati Stegmann yang Enerjik

Penulis buku Gaganawati, yang menetap di Jerman bersama suami dan tiga orang anaknya, juga tidak pernah bisa diam. Selalu ada saja kegiatan bearti yang dilakukan. Seperti contohnya, ketika datang ke Tanah Air di pertengahan 2015, sengaja tidak membawa anak-anaknya tercinta. Bukan karena ingin bebas hura-hura dan foya-foya, melainkan karena dia punya misi dan rencana kerja yang sudah terencana ketat, antara lain: bedah buku hasil karyanya di Studio Kompasiana Gedung Kompas Gramedia, mengajar di beberapa sekolah, memperdalam seni batik, kembali menjadi penyiar radio dan masih banyak lagi, sampai tiba pada akhir batas waktu liburan dan pulang ke keluarganya di Jerman.

Gaganawati . . . . oh Gaganawati yang energik, idealistik, lincah, ramah dan smart. Selamat atas bedah buku yang berjalan lancar. :: KOMPASIANA/03agu2015

Sumber: http://www.kompasiana.com/kinantisekardjagad/buku-38-wib-perempuan-indonesia-bisa-oleh-gaganawati-menginspirasi- pembaca_55beff7a2423bdf1114e42a6

Leave a Reply