Dokurama ‘Perempuan Nias’ Angkat Nikah Dini Sebagai Kekerasan

meretas1Film pendek dokudrama [dokumenter drama] berdurasi 35 menit yang berjudul ‘Perempuan Nias, Meretas Jalan Menuju Kesetaraan’ bercerita tentang praktek perkawinan dini di Kabupaten Nias yang diangkat dari kisah nyata. Pada pemutaran perdana yang diadakan pada bulan Oktober 2008 di Lapangan Merdeka Gunung Sitoli, Kabupaten Nias, ribuan penonton hadir. Menurut reportase, banyak perempuan yang hadir merasa film itu mewakili kepentingan mereka yang selama ini terabaikan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) di Nias, lebih dari 20 persen masyarakat Nias melepaskan anak-anak mereka pada perkawinan usia dini. Usia rata-rata mereka antara 10 dan 18 tahun, terbanyak anak perempuan. Jumlahnya mencapai tiga kali lipat jumlah anak lelaki yang dinikahkan dini. Dari data statistik tahun 2005, tercatat sekitar 1600 anak perempuan menikah pada usia dini, sementara jumlah anak lelaki sekitar 500 orang. Menurut analisa PKPA, temuan ini membuktikan bahwa dampak dan sebab-akibat pernikahan dini masih belum disadari penuh oleh masyarakat setempat. Kemungkinan lain dari tingginya angka anak yang dinikahkan dini adalah informasi mengenai kesehatan reproduksi yang masih sangat kurang disosialisasikan, terutama di pedesaan.

Hasil survai PKPA tersebut diungkapkan oleh Misran Lubis, Area Manager PKPA Nias, didampingi Koordinator Pusat Informasi Kesehatan Reproduksi dan Gender (Pikir), Camelia Nasution, kepada media Analisa di Medan. Kemudian, dari penelitian yang dilakukan PKPA sejak awal tahun 2008 terhadap kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Nias, didapati bahwa pernikahan dini di Nias berkaitan erat dengan adat-istiadat budaya setempat. Sepanjang periode 2005-2007, PKPA mencatat 109 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan dominasi kasus pernikahan dini.

“Ada beberapa permasalahan budaya yang sudah mengakar, sehingga masyarakat Nias mempercepat pernikahan anaknya, walau umur belum mencukupi, namun bagi mereka hal itu bukan persoalan,” sebutnya. Salah satunya contoh, lanjut Misran, adalah orangtua yang mempercepat pernikahan anaknya untuk melepaskan beban ekonomi, umumnya di keluarga besar yang memiliki banyak anak, sehingga perjodohan bahkan sudah dilakukan pada usia balita.

Faktor lain yang didapati sebagai pendorong nikah usia dini adalah alasan menjaga keutuhan rumpun keluarga, dalam mana anak dinikahkan di dalam lingkungan rumpun keluarga demi menjaga kelangsungan silsilah keluarga. “Para orangtua takut silsilah keluarga hilang jika anaknya lama menikah sehingga menikah dengan orang lain,” jelas Misran.

Menurut Misran Lubis, film dokudrama ‘Perempuan Nias, Meretas Jalan Menuju Kesetaraan’ tidak bermaksud mendiskreditkan adat dan budaya Nias. “Hanya saja, ada cara-cara yang salah dalam mengaplikasikannya. Karenanya, kami berharap film ini menjadi titik awal bagi kita untuk menghargai perempuan dan kekerasan terhadap perempuan tidak kita dengar dan jumpai lagi”, katanya.

Onny Kresnawan, yang menyutradarai film ini, mengatakan bahwa masyarakat cukup terkesan atas film tersebut. Salah satu pertanyaan yang muncul dari peserta suatu diskusi kupas film adalah pemilihan kata “meretas” pada judul. “Jujurnya, saya dan tim kreatif membuat judul awal memakai kata “merintis”. Merintis adalah mengawali dan sudah banyak yang melakukannya. Meretas berarti betul-betul menguak. Dan kini saatnya perempuan Nias meretas jalan yang sudah dibuat,” sebutnya.

Onny mengatakan, film tersebut merupakan karya besar anak-anak Nias dan dipersembahkan untuk anak-anak Nias. “Kami berusaha memaksimalkan hasil dengan keterbatasan yang ada,” ujarnya. “Kita tidak berhenti dengan keterbatasan dana, karena ada persoalan masyarakat yang harus segera disampaikan, itu yang lebih penting.”

anankanak_nias Komnas Perempuan Usul Undang-undang Perkawinan Direvisi

Kampanye penolakan pernikahan di usia dini yang dilakukan oleh PKPA melalui berbagai media sosialisasi sering mendapatkan pertanyaan mendasar mengenai batasan minimal usia perkawinan. Bukan hal mudah menjawab pertanyaan sederhana yang disampaikan masyarakat. Meskipun Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan secara tegas,”Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan” (Pasal 1) dan pada pasal 26 ayat 1 poin c disebutkan, keluarga dan orang tua berkewajiban untuk mencegah terjadinya perkawinan di usia anak-anak.

Secara jelas undang-undang ini mengatakan, tidak seharusnya pernikahan dilakukan terhadap mereka yang usianya masih di bawah 18 tahun. Namun tidak semudah itu PKPA dapat menjawabnya, karena UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan memberikan batasan yang berbeda dan tidak konsisten terhadap batas minimal usia perkawinan.

Di tengah kontroversi hukum di Indonesia mengenai batas minimun usia perkawinan, pernikahan di usia dini juga terjadi karena tradisi di suatu komunitas dan penafsiran terhadap ajaran agama yang salah. Pernyataan Syekh Puji di berbagai media massa yang mengatakan bahwa pernikahannya dengan Ulfa seorang anak perempuan 12 tahun, merupakan teladan dari Nabi Muhammad SAW yang menikahi Aisyah ketika itu berusia 9 tahun. Pandangan tersebut dibantah Ali Akbar, MAg seorang Dosen IAIN Sumut yang mengatakan bahwa Pernikahan Nabi sama juga Aisyah usia 9 tahun hanya Mitos, (Waspada Online/Jum’at 31 Oktober 2008). Hal yang sama juga ditulis oleh Azhari Akmal Tarigan tentang Dilema Pelaksanaan Hukum Islam, (Waspada Online/31 Oktober 2008).

Kultur di sebagian besar masyarakat Indonesia juga masih memandang hal yang wajar jika pernikahan dilakukan pada usia anak-anak. Setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkannya berdasarkan hasil kajian dari laporan kasus-kasus KDRT, Kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak, diskursus dan penelitian yang dilakukan oleh PKPA tahun 2008, yaitu:

1. Pandangan tentang “kedewasaan” seseorang yang dilihat dari perspektif ekonomi. Ketika seseorang telah mampu menghasilkan uang atau telah terjun ke sektor pekerjaan produktif telah dipandang dewasa dan dapat melangsungkan perkawinan, meskipun secara usia masih anak-anak.

2. Kedewasaan seseorang yang dilihat dari perubahan-perubahan secara fisik, misalnya menstruasi bagi anak perempuan dan mimpi basah bagi anak laki-laki, diikuti dengan perubahan terhadap organ-organ reproduksi.

3. Terjadinya kehamilan di luar nikah, menikah adalah solusi yang sering diambil oleh keluarga dan masyarakat untuk menutupi aib dan menyelamatkan status anak pasca kelahiran.

4. Korban pernikahan dini lebih banyak anak perempuan karena kemandirian secara ekonomi, status pendidikan dan kapasitas perempuan bukan hal penting bagi keluarga. Karena perempuan sebagai istri segala kebutuhan dan hak-hak individualnya akan menjadi tanggung jawab suami.

5. Tidak adanya sanksi pidana terhadap pelanggaran Undang-undang Perkawinan, menyebabkan pihak-pihak yang memaksa pernikahan di usia dini tidak dapat ditangani secara pidana.

Jika saja semua orang terutama orang tua benar-benar menyadari dan belajar dari berbagai dampak negatif yang ditimbulkan akibat pernikahan di usia dini tentu saja tidak ada orang tua yang ingin merelakan anak- anaknya terutama anak perempuannya akan menjadi korban berikutnya.

Revisi suatu keharusan Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) yang diprogramkan oleh pemerintah dan juga usaha-usaha menolak pernikahan di usia dini yang dilakukan oleh sejumlah organisasi perlindungan anak hanya yang akan menjadi wacana perdebatan tak berujung. Solusi lain harus dilakukan oleh negara yang melindungi anak dari praktek-praktek pernikahan usia dini adalah dengan merevisi UU No. 1 tahun 1974.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama-sama sejumlah organisasi gerakan perempuan pernah mengajukan revisi terhadap UU Perkawinan. Beberapa permasalahan pokok yang usulkan untuk direvisi antara lain;

1. Pendewasaan usia perkawinan di atas 18 tahun, dengan tidak membedakan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan dan laki-laki.

2. Prinsip non diskriminasi dalam pencatatan perkawinan, di unit-unit di bawah naungan Departemen Agama.

3. Prinsip no diskriminasi juga diterapkan terhadap hak dan kewajiban bagi perempuan dan laki-laki.

4. Hak dan status anak yang dilahirkan di luar hubungan pernikahan tetap memiliki hak dan status yang sama dengan anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan secara perdata, sesuai UU No. 23 tahun 2002 pasal 7 ayat (1) menyebutkan Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.

Dukungan dan tuntutan tentang revisi Undang-undang perkawinan merupakan perwujudan dari upaya bersama untuk menyelamatkan masa depan anak-anak Indonesia, karena pada dasarnya anak hanya titipan dan karunia Tuhan. Prinsip mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut anak merupakan kewajiban semua pihak.

Alamat PKPA Nias

Jalan Diponegoro, Gang Setuju No. 04, Kelurahan Ilir, Gunung Sitoli-Nias

Telp/Fax : 0639 – 21833, (0639) 323516, 21215

Mobil: 0812 6064126 (Misran Lubis)

Email : pkpanias_tsunami@yahoo.com,
Website : http://niaschild.multiply.com

 

disarikan dari >> Suara Indonesia Baru + Analisa + Tulisan Ahmad Sofian, MA dan Misran Lubis – Tim PKPA (Pusat Kajian dan Perlindungan Anak)

Leave a Reply