Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)

petani indonesiaFederasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) merupakan organisasi tani yang berdiri pada tahun 1998. Sebagai Federasi, organisasi ini menjadi payung serikat-serikat tani di tingkat nasional. Saat ini FSPI mempunyai anggota serikat tani dari berbagai provinsi, diantaranya yaitu: Perhimpunan Masyarakat Tani Aceh (Permata), erikat Petani Sumatera Utara (SPSU), Serikat Petani Sumatera Barat (SPSB), Persatuan Petani Jambi (Pertajam), Serikat Petani Sumatera Selatan (SPSS), Serikat Petani Lampung (SPL), Serikat Petani Banten (SPB), Serikat Petani Pasundan (SPP), Serikat Petani Jawa Tengah (SPJT), Serikat Tani Nusa Tenggara Barat (Serta NTB), Serikat Petani Kabupaten Sikka-NTT (SPKS-NTT). FSPI merupakan organisasi perjuangan petani dan buruh tani yang fokus utamanya untuk memperjuangkan hak-hak petani, pembaruan agraria, kedaulatan pangan, perdagangan yang adil, keadilan jender dalam bidang pertanian, penguatan organisasi tani, dan pertanian berkelanjutan berbasis keluarga. Dalam kancah internasional, FSPI menjadi anggota gerakan petani dan buruh tani internasional La Via Campesina.

Pandangan dan Sikap Dasar FSPI Terhadap Perjuangan Bagi Keadilan Gender

I. Kondisi Perempuan dan Petani Perempuan Dalam kehidupan sosial pedesaan, khususnya dalam kerja-kerja pertanian, secara turun temurun, perempuan turut berperan aktif dalam mendukung kelangsungan ekonomi dan sumber daya keluarga.

Indonesia yang merupakan negara agraris, dimana 60% dari penduduknya bergantung dan berkerja ari sektor pertanian, ini berarti sebanyak 60% pula perempuan yang berprofesi sebagai petani.

Akan tetapi selama ini pula wacana pertanian tidak menempatkan petani perempuan sebagai subjek dari proses pertanian yang dimulai dari proses pengolahan hasil pertanian. padahal dalam kenyataannya hampir seluruh proses pertanian itu sendiri di kerjakan oleh perempuan, ini berarti perempuan bertanggungjawab penuh terhadap kelangsungan pertanian dan kelangsungan pangan keluarga dan nasional itu sendiri.

Disisi lain, perempuan juga mempunyai kewajiban untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga yang memiliki nilai kerja yang sama beratnya dengan kerja-kerja pertanian. Hampir semua pekerjaan rumah tangga ( memasak, mencuci, membersihkan rumah, merawat anak , Mengangkat air hingga mencari kayu bakar ) dikerjakan oleh perempuan , yang sering disebut dengan kerja-kerja ibu rumah tangga. Dengan demikian, dalam kerja sehari-hari, perempuan bertanggung jawab untuk 2 tugas, yakni tugas-tugas ibu rumah tangga dan tugas – tugas di sektor pertanian, khususnya pertanian pangan. Berdasarkan beberapa pengamatan dan dialog dengan petani perempuan, hampir rata-rata dari mereka bekerja selama 18 jam / hari. Dengan demikian hampir seluruh waktunya hanya digunakan untuk urusan rumah tangga dan kerja-kerja pertanian.

Akan tetapi sumbangan yang begitu besar ini tidak di imbangi dengan hak-hak dan pelayanan yang seharusnya mereka dapatkan.

Budaya bias gender yang selama ini dipegang secara turun menurun ternyata telah meminggirkan dan menghilangkan peran perempuan. Petani perempuan tidak memiliki kedudukan yang mandiri akan tetapi ia merupakan bagian dari petani yang notabene adalah laki-laki, ini terlihat dari KTP petani perempuan yang kebanyakan menyatakan pekerjaan mereka adalah ibu rumah tangga, sehingga dalam setiap kesempatan apakah itu pendidikan, akses informasi, peluang ekonomi tidak pernah diberikan pada ibu rumah tangga yang petanitetapi selalu kepada kepala keluarga karena ia seorang petani.

Kebijakan negarapun tidak beranjak budaya bias gender tersebut. Hampir seluruh peluang/akses kehidupan ditujukan untuk kepala keluarga dan dalam budaya kita kepala keluarga identik dengan laki-laki, ditambah lagi adanya pemahaman bahwa kewajiban utama dari perempuan adalah rumah tangga sementara urusan diluar rumah tangga tanggung jawab laki-laki.

Budaya ini semakin memperparah keterpinggiran perempua khususnya petani perempuan terhadap hak dan peluang mereka dalam peningkatan sumber daya dirinya.

II. Problema Ketidakadilan Bagi Perempuan dan Petani Perempuan Problema ketimpangan yang terjadi dalam stuktur budaya masyarakat tidak terjadi begitu saja, ia merupakan konstruksi sosial yang telah dibangun secara berabad-abad lamanya, sehingga telah menjadi hukum yang tidak tertulis dan dipegang sebagai warisan budaya yang cenderung di pertahankan.

Tidak ada kelompok yang dipersalahkan dalam hal ini, hanya saja konflik yang sering muncul adalah adanya kelompok yang ingin mempertahankan nilai – nilai keistimewaan yang dimilikinya dari budaya ketidakadilan tersebut.

Secara budaya, posisi perempuan di tempatkan diurutan kedua setelah laki-laki. Banyak nilai-nilai dan peraturan dimasyarakat yang mengaturnya demikian. Budaya itu dikenal dengan budaya Patriarkhi, dimana laki-laki dianggap sebagai sentral kehidupan dan perempuan berada dalam subordinasi (bagian) dari laki-laki.

Budaya Patriarkhi tersebut melahirkan konsep Kepala Keluarga, yang berarti segala keputusan yang berhubungan dengan keluarga baik internal maupun eksternal merupakan tanggung jawab laki-laki dalam hal ini suami/ayah/anak/laki-laki.

Budaya Patriarkhi dan konsep kepala keluarga telah menciptakan ketergantungan yang besar bagi perempuan terhadap seluruh sector kehidupan. Ketergantungan social, budaya politik, ekonomi, hukum dan keamanan terhadap dirinya.

Ketergantungan itu menyebabkan perempuan tidak mandiri dalam mengambil keputusan baik terhadap diriya sendiri maupun lingkungan social, politik dsbnya. Karena itu kita bisa melihat bagaimana rendahnya partisipasi perempuan dan pemenuhan hak perempuan dalam seluruh sector kehidupan itu.

Dalam kehidupan sosial budaya pula , posisi perempuan ditempatkan dalam sektor Domestik (rumah Tangga) yang sering dianggap tidak produktif, tidak penting, karena tidak mempunyai nilai ekonomis, sedangkan posisi laki-laki disektor Publik ( luar rumah tangga dan punya nilai ekonomis ).

Coba kita tilik sector-sector yang membuat perempuan tertinggal : Di sektor Ekonomi, sedikit sekali perempuan yang berperan secara signifikan, walaupun sangat banyak perempuan yang bergerak dalam perdagangan tetapi akses mereka sangat kecil, mereka hanya bergerak di sector-sector usaha kecilyang sangat mudah dipermainkan oleh pemodal besar. Dipedesaan , akses perempuan semakin kecil karena minimnya kemampuan, informasi dan akses terhadap lembaga ekonomi. Dalam bursa tenaga kerja, pertumbuhan angkatan kerja perempuan lebih tinggi dari laki-laki, tetapi kondisi mereka sangat memprihatinkan akibat rendahnya pendapatan, dikarenakan tingkat pendidikan yang rendah, sehingga mereka ditempatkan di posisi yang rendah pula.

Setiap tahunnya lebih kurang 2 Juta TKI yang bekerja di luar negeri dan 65 % dari mereka adalah perempuan (TKW) . Hampir sebagian besar TKW bekerja di sektor informal dan tidak ada perlindungan terhadap mereka. Kondisi mereka sangat memprihatinkan , karena minimnya pengetahuan dan ketrampilan , tidak ada perlindungan hukum dan mereka hanya menjadi sapi perahan belaka.

Banyak kasus perlakuan tidak adil yang mereka peroleh seperti kekerasan, pelanggaran HAM , upah yang rendah dsb. Dan tentu saja sebagian besar dari korban itu adalah perempuan pedesaan, yang mana mereka adalah petani perempuan yang terpaksa meninggalkan desanya akibat buruknya system agararia yang dimiliki negeri ini.

Disektor Politik, yaitu keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan baik di tingkat rumah tangga maupun di tingkat publik (lokal-nasional). Selama ini petani perempuan karena hambatan budaya tidak banyak terlibat dalam proses pengambilan keputusan baik ditingkat rumah tangga maupun di tingkat luar rumah tangga. Pengambilan keputusan berada ditangan laki-laki yang dianggap sebagai kepala keluarga.

Bahkan untuk diri perempuan sendiri keputusan berada ditangan laki-laki seperti kebijakan KB. jumlah anak dalam keluarga dan lain-lain. Di lembaga legislatif, jumlah perempuan sangat minim, hanya 8,8 % dari jumlah 500 orang anggota DPR Pusat dan lebih kecil lagi ditingkat daerah, sehingga keputusan-keputusan yang diambil tidak banyak berpihak pada kepentingan perempuan, karena sejak awal mereka sudah mengganggap bahwa persoalan perempuan dan persoalan domestik tidak penting.

Di sektor kesehatan, Kualitas hidup perempuan jauh tertinggal dari kehidupan laki-laki . Angka kematian ibu melahirkan masih sangat tinggi yaitu 350/10.000 kelahiran, menempatkan angka tertinggi di negara – negara ASEAN, Demikian juga angka kematian bayi dan angka pegidap Anemia ( Penyakit kurang darah ) bagi ibu hamil.

Hal ini menunjukan bahwa kualitas kesehatan perempuan sangat rendah, bahkan untuk ibu hamil sekalipun.

Dalam budaya masyarakat, porsi makan seorang ibu /perempuan berada dinomor 3 setelah laki-laki dan anak-anaknya. Faktor ini yang menyebabkan perempuan sering kekurangan gizi.

Jumlah balita dan anak yang menderita busung lapar di Indonesia berkisar 160.000 orang ( Susenas 2000 ), jumlah ini semakin besar untuk wilayah Aceh dan Papua, dimana angka kematian ibu sekitar 700/100.000 kelahiran dan kematian bayi sebesar 3800/60.000 kehamilan dan anak-anak yang menderita gizi buruk sebanyak 200.000 orang.

Angka diatas sangat fantastis jika dilihat dari kondisi Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris dan berlahan subur, karena persoalan diatas lebih dikarenakan persoalan penyediaan pangan yang sangat terbatas.

Untuk tahun-tahun kedepan, dimana Indonesia diperkirakan akan terjadi kerawanan pangan akibat minimnya ketersediaan pangan, tentu saja angka ini akan semakin besar.

Posisi perempuan dalam budaya yang bertanggung jawab penuh terhadap anak-anak dan keluarga, tentu saja merupakan beban berat yang harus ditanggung. Rendahnya kualitas kesehatan pada perempuan dan anak-anak akibat minimnya akses perempuan itu sendiri terhadap pelayanan kesehatan baik sarana maupun proses pengambilan keputusan . Ditingkat negara, persoalan kesehatan terutama untuk perempuan cenderung diabaikan dan dianggap tidak penting, ia hanya di kategorikan sebagai persoalan social saja.

Rendahnya kualitas hidup perempuan menunjukkan pemerintah tidak memiliki keberpihakan kepada perempuan dan kelanjutan generasi.

Di sektor pendidikan dan pelatihan, pendidikan merupakan hak yang terpenting, akan tetapi sering diabaikan pemenuhannya bagi perempuan. Data Susenas tahun 1999 jumlah perempuan yang berusia 10 tahun keatas yang buta huruf 14,1% lebih besar dari usia laki-laki yang sama 6,3% . Bagi rakyat miskin pendidikan lebih diutamakan untuk laki-laki dengan alasan laki-laki adalah penanggung jawab keluarga.

Akibatnya tingkat pendidikan perempuan lebih rendah dari laki-laki dan angka buta huruf lebih banyak dialami oleh perempuan.

Sektor hukum, yaitu perlindungan terhadap perempuan dari perlakuan kekerasan dan tidak adil dari pihak lain baik perorangan maupun institusional.

Selama ini hukum tidak berpihak kepada perempuan, lihatlah bagaimana angka tingginya kekerasan yang dialami oleh perempuan baik karena diperkosa, dilecehkan dsb tetapi tidak ada imbalan hukum yang sesuai dengan pelaku. Rumah tanggapun turut menyumbang kekerasan, bahkan sangat tinggi baik dari segi kuantitas maupun kualitas kekerasannya. Jadi pada dasarnya perempuan tidak terlindungi dan rawan terhadap perlakuan kekerasan baik didalam rumahnya maupun di luar rumahnya.

Contoh paling nyata adalah, rawannya perlakuan kekerasan atas tenaga kerja wanita (TKW), akibat tidak ada perlindungan yang diberika negara kepada mereka. Akses Terhadap sumberdaya agraria, bagi petani perempuan akses terhadap sumber daya agraria bisa dikatakan tidak ada sama sekali, karena dalam budaya perempuan hanya mempunyai hak untuk bekerja dan mengolah sawah sementara kepemilikan berada ditangan suami/kepala keluarga, karena itu segala keputusan yang menyangkut tanah berada ditangan laki-laki.

Dalam perjuangan agraria peran perempuan tidak bisa diabaikan, tidak jarang mereka berada di garis depan dalam menghadapi aparat atau paling tidak mereka menjadi penyelamat logistik perjuangan.

Akan tetapi dalam proses pengambilan keputusan arah perjuangan dan pembagian akses sumber daya mereka menjadi terpinggir kembali.

Persoalan ketimpangan keadilan gender yang dialami oleh petani perempuan semakin nyata terlihat ketika kerja-kerja pengorganisasian petani dilakukan dalam rangka meningkatkan posisi tawar petani untuk berhadapan dengan negara sebagai institusi pengambil kebijakan ternyata hanya melibatkan petani laki-laki saja. Lahirnya organisasi laki-laki hanya didominasi oleh petani laki-laki, sementara petani perempuan hampir tidak memiliki peran yang signifikan.

Budaya ketimpangan gender yang dianut selama ini tidak hanya mematikan potensi serta kesempatan petani perempuan dalam bidang pertanian tetapi juga tidak memiliki kesempatan yang sama dalam organisasi petani. Tidak adanya kader-kader petani perempuan yang tumbuh di pedesaan akibat proses domestifikasi yang terus menerus merupakan salah satu factor dan penyebab tidak adanya peran strategis petani perempuan dalam organisasi petani.

III. Pandangan FSPI Terhadap Ketidakadilan Gender dan Cita-cita yang Diharapkan Munculnya arus gerakan kesadaran terhadap ketidakseimbangan struktur dan pemenuhan terhadap hak-hak perempuan khususnya petani perempuan merupakan gejala yang tidak dapat ditolak. Pemenuhan hak atas orang merupakan kewajiban asasi baik oleh budaya maupun oleh institusi. Karena itu pemenuhan atas hak perempuan berarti pemulihan terhadap hak asasinya.

FSPI memandang bahwa persoalan ketidak adilak gender baik secara budaya maupun keorganisasian harus di carikan jalan keluarnya.

Karena melanggengkan ketidakadilan itu sendiri merupakan pengingkaran terhadap hak asasi seseorang khususnya petani perempuan, yang sebagaimana diyakini mempunyai peran dan konstribusi penting dalam kerja pertanian dan kerja-kerja lainnya.

FSPI memandang bahwa persoalan pertanian bukan persoalan laki-laki dan perempuan tetapi merupakan persoalan bagaimana meningkatkan posisi tawar petani (laki-laki dan perempuan) terhadap negara, pasar dan arus liberalisasi pertanian yang saat ini mengancam keberadaan petani khususnya petani kecil.

Untuk itu FSPI memandang perlu memperjuangkan nilai-nilai keadilan gender berupa:

1. Kesetaraan: Yaitu persamaan kedudukan / posisi diseluruh sector kehidupan.
2. Keadilan: Adil dalam mendapat hak, akses sumber daya dalam seluruh sector kehidupan.
3. Partisipasi: Adanya peluang / keikutsertaan petani perempuan dalam seluruh aktifitas baik social, ekonomi, politik, dll sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan.
4. Solidaritas/Kebersamaan: adanya rasa saling membutuhkan dalam memperjuangkan sesuatu hal.
5. Penghormatan terhadap Hak Asasi petani perempuan.

IV. Agenda Kedepan Untuk Mengatasi Persoalan Ketidakadilan Gender Adapun tawaran strategi kedepan adalah sebagai berikut :

1. Melakukan kerja penyadaran terhadap nilai-nilai ketidakadilan gender baik ditingkat FSPI, serikat maupun ditingkat lokal.
2. Mendorong petani perempuan untuk ikut dalam proses pengambilan keputusan dan perubahan kebijakan.
3. Menyeimbangkan jumlah kepengurusan antara laki-laki dan perempuan dalam proses pengambilan keputusan organisasi.
4. Pembentukan organisasi perempuan ditingkat basis ( sebagai salah satu pilihan strategis ).
5. Mengintegrasikan dan menumbuhkembangkan perspektif gender dalam setiap program organisasi.
6. Meningkatkan program pendidikan dalam semua bidang yang melibatkan lebih banyak petani perempuan.

———————————————
Lampiran : Gender: pemahaman tentang adanya perbedaan ciri, peran, kedudukan antara laki-laki dan perempuan karena konstruksi budaya selama berabad-abad. Dimana perbedaan itu bisa berbeda berdasarkan waktu, tempat, budaya dll. Dari pemahaman tersebut sering melahirkan perlakuan tidak adil yang bisa terkena kepada siapapun baik laki-laki atau perempuan.
———————————————-

Federasi Serikat Tani Indonesia (FSPI)
Jl Mampang Prapatan XIV No. 5
Jakarta
DKI Jakarta 12790
Indonesia
Tel: +62 21 7991890
Fax: +62 21 7993426
www.fspi.or.id

Leave a Reply