Herawati Diah: Generasi Saya Bangun Koran Berbekal Idealisme

Herawati Diah, jurnalis perintis koran Merdeka pada Oktober 1945.

[KOMPAS.COM] – Senyum ramah Herawati Diah mengembang di antara garis-garis usia di wajahnya, kemudian dia menyilakan “Kompas” masuk kediamannya, sebuah apartemen di bilangan Jakarta Selatan, pada awal April 2012. Langkahnya kecil dan mantap meski ditopang sebuah tongkat.

Herawati, yang kini berusia 95 tahun, merupakan bagian dari sejarah pers Indonesia. Ia berada dalam satu masa dengan para tokoh jurnalistik, seperti Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, dan suaminya, almarhum Burhanuddin Mohammad Diah.

Herawati yang tumbuh di era jurnalistik bernapaskan perjuangan kemerdekaan melihat dunia pers Indonesia sudah begitu berubah. “Generasi saya mendirikan koran dengan idealisme kuat. Koran diterbitkan sebagai koran perjuangan. Pemodalnya tidak ada. Pendirinya mengorbankan apa yang dimiliki. Sekarang media menjadi industri. Untuk memulai koran perlu miliaran rupiah,” ujar perempuan dengan 3 anak, 12 cucu, dan 13 cicit itu.

“Saat itu kerja jurnalistik sama halnya dengan kepemimpinan, arahnya mewujudkan cita-cita kemerdekaan,” kata Herawati.

Ia merasa banyak cita-cita pendiri bangsa belum tercapai. Bangsa ini masih jauh dari sejahtera, pendidikan rakyat belum merata, dan masyarakat di pedalaman sering dilupakan.

Keresahan itu mendorong dia menulis dalam bukunya, An Endless Journey: Reflections of an Indonesian Journalist: “Peran generasi 1945 itu menyalakan semangat dan roh kepada generasi sekarang karena ketidakadilan yang dulu dihadapi dan masa kini yang tengah dirayakan, masih segar dalam ingatan generasi itu”.

Perjalanan panjang

Lahir dari pasangan Raden Latip, seorang dokter yang bekerja di Billiton Maatschappij, dan Siti Alimah, Herawati berkesempatan mengecap pendidikan tinggi. Lepas dari Europeesche Lagere School (ELS) di Salemba, Jakarta, Herawati bersekolah ke Jepang di American High School di Tokyo. Setelah itu, atas dorongan ibunya, Herawati berangkat ke Amerika untuk belajar sosiologi di Universitas Columbia, New York.

“Ayah saya tidak mau menyekolahkan ke Belanda karena dianggap sebagai negeri penjajah. Saya berangkat ke Amerika sendiri, menumpang kapal laut selama 20 hari,” kata perempuan Indonesia pertama yang mendapatkan gelar dari universitas di Amerika. Herawati yang tertarik dunia tulis-menulis mengambil kuliah musim panas jurnalistik di Universitas Stanford, California.

Garis hidup Herawati seakan tak jauh dari media. Ibunya yang mendapat didikan pesantren mendirikan majalah perempuan Doenia Kita. Pamannya, Subardjo, sempat menjadi wartawan sebelum menjabat sebagai menteri luar negeri (pertama) Indonesia. “Saat sekolah di Amerika, saya sering mengirim tulisan untuk Doenia Kita,” kata perempuan yang menguasai bahasa Inggris, Belanda, dan Jepang itu.

Pulang ke Indonesia tahun 1942, Herawati bekerja sebagai wartawan lepas kantor berita United Press International (UPI). Lalu ia bergabung sebagai penyiar di radio Hosokyoku.

Buku “An Endless Journey” ditulis Herawati Diah sebagai kumpulan renungan akan pengalaman dirinya menjadi wartawan.

Herawati menikmati dunia jurnalistik. Saat itu hanya sedikit perempuan yang menggeluti bidang tersebut. “Sekarang sudah banyak perempuan menjadi jurnalis dan berpendidikan tinggi. Bahkan, ada yang ke medan perang. Saya kagum dengan keberanian mereka,” ujarnya.

Profesi kewartawanan memberinya kesempatan bertemu dengan pemimpin besar, seperti Mahatma Gandhi, ketika menjadi bagian dari delegasi Indonesia untuk menghadiri All-India Women’s Congress tahun 1948. Herawati semakin dekat dengan dunia pers begitu menikah dengan BM Diah, yang waktu itu bekerja di koran Asia Raya.

BM Diah mendirikan koran Merdeka pada 1 Oktober 1945 guna mengisi ruang intelektual setelah Proklamasi.

Tak hanya terlibat dalam pengembangan koran Merdeka, Herawati juga mendirikan dan memimpin The Indonesian Observer, koran berbahasa Inggris pertama di Indonesia. Koran itu diterbitkan dan dibagikan pertama kali dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung, Jawa Barat, tahun 1955. The Indonesian Observer bertahan hingga tahun 2001, sedangkan koran Merdeka berganti tangan pada akhir tahun 1999.

Saat BM Diah diangkat sebagai duta besar Cekoslowakia, Inggris, serta Thailand, kemudian menjabat sebagai Menteri Penerangan Kabinet Ampera (1968), kegiatan jurnalistik Herawati digantikan dengan tugas-tugas negara dalam peran sebagai istri pejabat.

Perintis sejati

Kiprah Herawati Diah sebagai perintis tak redup hingga usia senjanya. Nama Herawati tercatat sebagai salah satu pendiri dari sederet organisasi yang memberikan dinamika dalam kehidupan sosial dan budaya Indonesia, seperti Komnas Perempuan, Lingkar Budaya Indonesia, dan Gerakan Perempuan Sadar Pemilu. Lantaran prihatin dengan tak meratanya pendidikan, Herawati membuka taman kanak-kanak bagi anak miskin di bawah naungan Yayasan Bina Carita Indonesia.

Usia tak pernah menjadi penghalang untuk berkarya bagi perempuan yang ikut mendirikan Hasta Dasa Guna, organisasi yang beranggotakan sekitar 100 perempuan berusia di atas 80 tahun itu.

Untuk menjaga ketajaman pikiran, ia bermain bridge dua kali seminggu bersama teman-temannya di Women’s International Club. “Bermain bridge mengajarkan saya mengingat kartu dan langkah teman bermain. Memori terasah terus,” katanya sambil menunjukkan piala juara pertama turnamen Bridge Women’s International Club baru-baru ini. Herawati menghayati benar “mantra hidupnya”: “Keep Your Brain Alive“. :: KOMPAS.COM/Indira Permanasari/foto Jaya Photography

Leave a Reply