Institut Perempuan: RUU Pornografi Menyalahi Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Pernyataan Pers Institut Perempuan tentang Pembahasan RUU Pornografi:
RUU Pornografi Menyalahi Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Mendekati pembahasan RUU Pornografi, gelombang penolakan semakin marak. Menanggapi penolakan masyarakat, Rapat Badan Musyawarah (Bamus) Dewan Perwakilan Rakyat meminta Rancangan Undang- Undang Pornografi lebih didalami lagi (16/10). Dalam pandangan kami, RUU Pornografi semestinya tidak disahkan karena tidak sesuai dengan asas-asas yang seharusnya terkandung dalam materi peraturan perundang-undangan sesuai amanat UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Pertama, RUU Pornografi melanggar asas kemanusiaan yaitu bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan HAM serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. Faktanya, RUU Pornografi mengkriminalisasi perempuan dan anak dan cenderung membatasi hak atas ekspresi. Hal ini dapat dilihat dari adanya sejumlah ketentuan seperti Pasal 8 yang melarang setiap orang yang ”dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi obyek atau model yang mengandung muatan pornografi” dan Pasal 10 yang melarang setiap orang “mempertontonkan diri atau dipertontonkan dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya”. Melalui pasal ini, RUU Pornografi mengabaikan fakta adanya eksploitasi dan komoditisasi perempuan dalam pornografi.

Kedua, RUU Pornografi melanggar asas Bhinneka Tunggal Ika yaitu adalah bahwa materi peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya, khususnya yang menyangkut masalah- masalah sensitif dalam kehidupan. Definisi pornografi adalah “materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat” (Pasal 1). Definisi Pornografi semacam ini berpotensi mengabaikan keragaman penduduk, agama, suku, dan budaya melalui penyeragaman nilai-nilai kesusilaan masyarakat.

Ketiga, RUU Pornografi melanggar asas kenusantaraan yaitu bahwa setiap materi peraturan perundang-undangan harus memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia. Tercatat penolakan berasal dari delapan provinsi yang menolak tegas yang disuarakan melalui DPD, kepala pemerintahan daerah, dan DPRD. Penolakan ini menggambarkan RUU ini bukan merupakan kepentingan seluruh wilayah Indonesia. Melihat kondisi ini, kami, INSTITUT PEREMPUAN, menyerukan DPR dan Pemerintah untuk: Tidak mengesahkan RUU Pornografi sebelum substansi RUU ini sejalan dengan UUD 1945, tidak diskriminatif, tidak mengkriminalisasi, mencerminkan keragaman kultur masyarakat Indonesia, dan proses pembahasannya diselenggarakan transparan, terbuka, melibatkan perempuan, anak, masyarakat adat dan kelompok marjinal lain.

Bandung, 20 Okober 2008
Demi Keadilan, Kesetaraan, dan Kemanusiaan,

INSTITUT PEREMPUAN

R. Valentina Sagala, SE., SH., MH. Chairperson of Executive Board
email >>

Leave a Reply