Kearifan Sungai Citarum Ada di Perempuan

“Bahaya lain yang kurang disadari oleh masyarakat adalah tentang konsep perpindahan logam berat. Kadang daerahnya kelihatan bersih, karena banyak logam berat yang terserap oleh ikan dan hewan kecil, lalu hewan kecil dimakan oleh hewan besar dan hewan besar suatu saat dimakan oleh manusia. Resiko perpindahan seperti ini yang belum disadari oleh manusia.”

Kesadaran masyarakat yang belum tergali atau ketiadaan informasi di ruang masyarakat? Abrar berpandangan, peran pemerintah sebagai regulator seharusnya mempunyai program sosialisasi kepada masyarakat terutama tentang bahaya-bahaya dari kualitas air yang menurut beberapa penelitian cenderung menurun. “Termasuk kerja dari semua pihak; pers, peneliti, NGO, industri, masyarakat, bagaimana cara mereduksi logam berat yang jumlahnya sudah sangat signifikan.”

Air dan Perempuan: Satu Saudara

Sebagai perempuan Robiah merasa berkewajiban, turut dan terlibat mengobati derita saudaranya, air sungai Citarum. Sungai Citarum yang tak lagi berdaya menghidupi mereka yang tinggal di setiap aliran, lekuk, dan belokan keberadaannya. Ia membutuhkan uluran tangan saudaranya, setidaknya keputusan bijak saudaranya demi “kesehatannya.” Seperti halnya Robiah yang terus membutuhkan informasi sebagai asupan pengetahuannya demi mengurangi rasa sakit Citarum, diri dan keluarganya, serta masyarakat sekitar.

Perempuan dan anak-anak seperti diakui oleh Abrar adalah kelompok rentan. Meski demikian perempuan juga sanggup menjadi sumber pengetahuan bahkan -karena kerentanannya- perempuan mampu bertugas sebagai penyambung lidah sekitarnya dalam penetapan kebijakan.

“Misalnya pengaturan tentang pengelolaan air bersih. Pengguna dan pengelola dominan adalah perempuan. Jadi justru mereka (perempuan-red) yang seharusnya ditanya lebih detail sebelum pengambilan kebijakan tentang air ditentukan,” jelas Abrar.

Berkaca dari pengalaman Robiah mengingatkan kita betapa perempuan hendak terlibat dalam  perubahan. Dahaga informasi yang terjadi pada diri Robiah menunjukkan, sudah saatnya pintu dan kesempatan pengambilan kebijakan terbuka bagi perempuan. Bukan sebaliknya. “Yang saya lihat dari segi perencanaan atau pembuat kebijakan; baik tentang penataan sungai -terutama sungai citarum- maupun penataan ruang di beberapa wilayah di Indonesia, ada sesuatu yang perlu kita pertanyakan secara kritis. Karena umumnya pengambil keputusan di pemerintah dan level birokrat didominasi oleh laki-laki,” ungkap Abrar. Padahal, Abrar mengimbuhi, yang mereka atur, yang mereka buat peraturan dan tata kelolanya (Citarum-red) itu justru lebih banyak perempuan yang terlibat dominan di dalamnya.”

Tulisan oleh:
Nur Azizah, jurnalis dari Jurnal Perempuan, ikut berpartisipasi dalam kegiatan Ekspedisi Citarum Wanadri di bulan Februari 2010.

Foto oleh:
Asep dan Nur Azizah

Tulisan ini merupakan tulisan dari kegiatan Ekspedisi Citarum Wanadri 2009-2010

 

Leave a Reply