Kekuatan Perempuan Aceh Muncul Di Kegiatan Perikanan

Tari Senja di Pantai Lampuuk, Aceh Besar / photo: Aris

(MANDAT ACEH) – Apa yang pertama kita pikirkan ketika membayangkan sektor perikanan? Nelayan dengan boatnya yang mengarungi ombak? Petani tambak? Yang semuanya adalah para lelaki? Sampai di sini, sementara benar, jika dunia perikanan dianggap dunia lelaki. Tetapi…

Siapa yang menyulam jala untuk menangkap ikan? Siapa yang mengumpulkan dan memilah ikan ketika sampai di pantai? Siapa yang membelah dan mengeringkan ikan? Siapa yang berkeliling menjual ikan? Siapa yang mengolah ikan tongkol menjadi ikan kayu? Siapa yang membersihkan lumpur tambak? Siapa yang memilah ikan, ketika panen di tambak?

Pada kenyataannya peran-peran tersebut dijalankan oleh perempuan maupun laki-laki. Pada sektor budidaya, pemeliharaan ekosistem, peran perempuan semakin nampak. Para perempuan menjadi pengumpul tirom dan pengumpul kepiting, dua mata-pencarian yang diremehkan karena hasil uangnya dianggap kecil dibandingkan dengan pendapatan nelayan-tangkap atau petani-tambak. Namun fakta menunjukkan perempuan pengumpul tirom justru yang paling bertahan sebagai penyangga kebutuhan sehari-hari keluarga di tengah krisis ekonomi. Jika penghasilan nelayan-tangkap dipengaruhi kondisi musim dan kenaikan harga BBM, pendapatan para perempuan pencari tirom tidak. Stabilnya pemasukan para pencari tirom menjamin penghasilan yang relatif tetap.

Andil perempuan yang seringkali terabaikan dalam peri-kehidupan masyarakat perikanan telah memberi gambaran seakan perikanan adalah dunia pria. Cerita-cerita dari negeri Aceh berikut ini diharapkan dapat memberi gambaran yang lebih luas, lebih nyata, akan peran perempuan dalam ketahanan hidup masyarakat perikanan setempat.

foto > KKN Unsyiah
foto > KKN Unsyiah

Perempuan Mon Ikeun, Pengolah Ikan Kayu yang Handal Mengelola Penghasilan

Desa Mon Ikeun terletak di pantai barat Aceh, Kabupaten Aceh Besar. Karena letaknya tidak jauh dari pantai, tsunami telah mengakibatkan banyak korban jiwa dan hilangnya sebagian sumber penghidupan di desa ini. Tetapi tantangan untuk mempertahankan mata pencaharian telah dijalankan perempuan setempat sejak konflik bersenjata. Secara politis Desa Mon Ikeun bertetangga dengan desa yang diidentifikasi basis GAM, sehingga sering menjadi media tempur antar pihak yang berkonflik. Akibatnya, Desa Mon Ikeun dikendalikan pos keamanan, yang berdampak pada pembatasan mobilitas penduduk. Ketika situasi itu berlangsung, kegiatan pencarian nafkah ke luar kampung, lebih banyak dilakukan perempuan dibanding laki-laki, karena perempuan dianggap tidak terlibat konflik seperti laki-laki.

Memasuki masa pemulihan paska tsunami dan perjanjian damai antara RI dan GAM, bantuan kemanusiaan mulai datang ke Mon Ikeun, termasuk bantuan untuk kelompok perempuan. Beberapa NGO memberikan bantuan modal dan peningkatan keterampilan untuk membuat tirai, bodir dan membuat kue. ETESP–Bina Swadaya memberikan bantuan modal, alat untuk pengolahan ikan kayu dan keterampilan berorganisasi. Saat ini, 8 perempuan tergabung dalam kelompok pengolahan ikan kayu. Mereka mempraktekan pengetahuan dan keterampilan terkait pengolahan ikan kayu, dan belajar bersama cara berorganisasi. Dalam usahanya untuk mendapatkan keuntungan maksimal, mereka tak segan mencari bahan baku sampai ke pasar ikan di Banda Aceh. Demikian juga untuk menjual produknya. Untuk keberlangsungan modal kelompok, mereka mulai mengumpulkan tabungan kelompok. Mereka mengelola bantuan untuk menjahit dan pengolahan ikan kayu, sehingga dua pekerjaan dapat dijalankan, dan hasilnya saling memguatkan.

foto > tribunnews
foto > tribunnews

Perempuan Pencari Tirom yang Tak Lekang Diterjang Musim Angin dan Kenaikan BBM

Di beberapa area dampingan ETESP–Bina Swadaya yang memiliki aliran sungai, ditemukan kebiasaan perempuan mengumpulkan tirom. Tirom ini sejenis kerang yang hidup di sungai dan di bawah pohon bakau. Sebagian dari mereka mendapatkan bantuan modal dan asistensi kelembagaan dari ETESP-Bina Swadaya, antara lain kelompok pencari tirom di Desa Lamnga, Kabupaten Aceh Besar, Desa Masjid Gigieng dan Desa Pulau Tukok, Kabupaten Pidie.

Dua hal yang menarik dari sektor ini: Pertama ketelatenan perempuan untuk mengumpulkan tirom, kemudian memecahkan cangkangnya, walaupun harga jualnya tidak tinggi. Kedua, ketersediaan tirom yang tidak dipengaruhi musim angin laut sebagaimana sektor nelayan tangkap. Secara alat, mereka juga dapat mengumpulkan tirom tanpa peralatan yang memerlukan BBM. Karakter ini membuat peran perempuan pencari tirom lebih bertahan untuk menghidupi keluarga di sepanjang musim. Peran mereka sebagai tulang punggung ekonomi keluarga dan tentu komunitasnya, sangat vital terutama bagi komunitas yang sepenuhnya menggantungkan sumber penghidupan pada sektor perikanan. Sebagaimana kelompok perempuan lainnya, kelompok tirom juga telah membentuk kepengurusan dan mulai mempraktekan pembukuan dan pecatatan untuk kegiatan kelompok.

foto > makanajib.com
foto > makanajib.com

Perempuan Pembuat Kerupuk Udang: ”Kami membutuhkan strategi dan jaringan pemasaran.”

Di Desa Mesjid Gigieng, Kabupaten Pidie, sekelompok perempuan yang tergabung dalam kelompok Udeep Sare, sedang bergiat memproduksi kerupuk udang. Usaha ini dikembangkan oleh 2 perempuan yang mendapatkan pelatihan pembuatan kerupuk udang. Dua ibu ini yang kemudian, mengajak beberapa perempuan untuk membuat kelompok dan memproduksi kerupuk udang dengan dukungan dari ETESP-Bina Swadaya. Menurut anggota, penghasilan dari kerupuk udang cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Itu sebabnya, kelompok ini dapat mengumpulkan uang simpanan yang cukup tinggi dibanding kelompok lain, yaitu Rp 25.000/anggota setiap bulan. Mereka berencana akan menggunakan uang tersebut untuk keberlanjutan modal, setelah tidak mendapatkan bantuan dari ETESP – Bina Swadaya. Secara kelembagaan, mereka juga sudah memiliki dan menggunakan buku tamu, buku kas dan buku laporan yang mencatat kegiatan kelompok.

Secara produksi kerupuk dan kelembagaan relatif berhasil, tetapi mereka masih menghadapi tantangan terkait strategi pemasaran. Saat ini, masing-masing anggota sudah menemukan cara pemasaran: Ada yang rutin didatangi pembeli dalam jumlah besar, ada juga yang dijajakan ke beberapa kedai di desa mereka. Tetapi semua produk yang mereka jual dalam bentuk kerupuk yang sudah digoreng –siap santap. Mereka masih membutuhkan strategi dan jaringan untuk memasarkan kerupuk mentah, sehingga biaya produksi menurun dan penjualan meningkat. Mereka tidak tertarik untuk memasarkan kerupuk ebi mentah ke pasar tradisional setempat, karena, pembayaran baru akan mereka terima setelah produk laku. Hal itu, yang menurut mereka dapat mengancam keberlangsungan usaha, karena modal rentan mengalami macet.

Tiga kisah tersebut, merupakan potret kecil peran perempuan dalam sektor perikanan. Masih banyak peran kelompok perempuan yang lainnya. Misalnya kelompok pengolah ikan kering yang mulai meretas di Kabupaten Calang. Kekuatan dari kelompok-kelompok ini, mereka sudah mewarisi pengetahuan dan keterampilan bidang usaha terkait secara turun-temurun, sehingga peran ETESP – Bina Swadaya selanjutnya memperkuat di aspek peningkatan keahlian, modal, kelembagaan dan perspektif gender.

Nenek Sakdan penjaja ikan di Aceh. foto > tablila.com
Nenek Sakdan penjaja ikan di Aceh. foto > tablila.com

Perempuan yang Berperan Di Ranahnya Kaum Laki-laki

Selain kelompok khusus perempuan tersebut, sebagian perempuan terlibat dalam bidang usaha yang umumnya dianggap bidang laki-laki -laki. Di Kabupaten Pidie, perempuan terlibat dalam kelompok muge (pedagang keliling) ikan. Tiga perempuan bahkan menjadi pengurus yang anggotanya terdiri dari muge perempuan dan laki-laki. Di beberapa wilayah, perempuan pemilik tambak juga terlibat dalam kelompok petani tambak. Bahkan perempuan terlibat dalam pembersihan lumpur tambak, yang umumnya dianggap pekerjaan laki-laki. Di banyak tempat, perempuan terlibat dalam kegiatan budi daya kerapu dan kepiting. Demikian juga untuk sektor pemeliharaan ekosistem pantai. Penanaman pohon mangrove dilakukan sebagian besar oleh perempuan, dan tidak terbatas pada perempuan yang menjadi anggota kelompok.

Berdasarkan temuan tersebut, keberagaman peran perempuan teridentifikasi sebagai berikut. Pertama, perempuan yang terlibat dalam peran tradisional dan tergabung dalam kelompok khusus perempuan. Seperti kelompok pencari tirom, pengeringan ikan asin, pengolahan ikan kayu dan pembuatan kerupuk udang. Kedua, peran perempuan dalam sektor yang dianggap bidang laki-laki. Seperti sektor tambak, muge ikan. Pada sektor ini, bahkan sebagian perempuan menunjukan perannya sebagai pengurus kelompok. Ketiga, peran perempuan pada sektor yang pada awalnya dialokasikan untuk laki-laki. Seperti penanaman mangrove untuk ekosistem pantai. Secara kelembagaan, perempuan menunjukan kemampuannya untuk berorganisasi dan mengumpulkan simpanan kelompok untuk keberlanjutan modal usaha. Sebagian bahkan mampu menjadi pengurus pada bidang usaha yang awalnya dianggap bidang usaha laki-laki dan mengorganisir kelompok yang terdiri dari perempuan dan laki-laki.

tari-aceh-featMembaca Potensi dan Kebutuhan Perempuan

Untuk mengidentifikasi potensi pengembangan peran perempuan, dapat dilihat dari partisipasi mereka dalam pelaksanaan program dan pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki. Dalam program ETESP-Bina Sawadaya, perempuan penerima manfaat mencapai 6,9 %. Penerima manfaat tertinggi pada Sub Component (SC) 1, menyusul Sub Component (SC) 3, Sub Component (SC) 2 dan 5. Pada SC 1 terdapat usaha perikanan yang sesuai dengan peran tradisional perempuan: pengering dan pengolahan ikan, pengumpul tirom, pembuat kerupuk ebi. Sedangkan SC 2 sesuai dengan peran pemeliharaan perempuan: Hatchery (penetasan benih), penggemukan kepiting, kerapu. Catatan pentingnya, perempuan juga terlibat sebagai pengurus di kelompok-kelompok usaha tersebut, tidak saja pada bidang usaha dan kelompok khusus perempuan tetapi juga pada kelompok yang anggotanya terdiri dari perempuan dan laki-laki. Fakta ini menunjukan sekaligus potensi perempuan dalam pengembangan usaha dan kelembagaan. Potensi kedua, pengetahuan dan keterampilan perempuan yang telah mereka miliki secara turun-temurun yang mungkin dikembangkan. Berdasarkan diskusi dengan kelompok perempuan, CF dan CMS, potensi perempuan terpetakan sedikitnya dalam 11 bidang usaha yaitu: Pengolahan ikan kayu (tongkol), pengeringan ikan, potensi pengembangan budi daya tiram, pencari tirom, pembuat garam, pembuat kerupuk udang/ebi, keramba kerapu, keramba ikan tawar, potensi pengolahan wingfo menjadi terasi, pendederan kepiting dan menganyam jaring pukat.

Berdasarkan temuan tersebut, kebutuhan praktis perempuan adalah peningkatan pengetahuan dan keterampilan terkait bidang usaha, bantuan modal dan pengembangan jaringan dan strategi pemasaran produk mereka. Sedangkan untuk kebutuhan strategis mereka, adalah pendampingan untuk penguatan kemampuan berorganisasi dan strategi keberlanjutan usaha, sehingga pada akhirnya mereka dapat menjadi kekuatan masyarakat yang mandiri. Kebutuhan strategis yang mendasar juga menguatkan perspektif gender pada kelompok perempuan, sehingga melalui pengembangan program tidak hanya kesejahteraan ekonomi yang mereka petik tapi juga relasi kuasa yang lebih adil antara perempuan dan laki-laki. Sehingga upaya kemandirian ekonomi sejalan tumbuh dengan kemandirian politis perempuan untuk mewujudkan masyarakat yang mandiri dan berkeadilan gender. Dengan demikian, pertumbuhan kesejahteraan diharapkan sejalan dengan menyusutnya kebiasaan tindak kekerasan, diskriminasi dan pengabaian terhadap kepentingan perempuan.

Dipublikasikan oleh: Buletin “Mandat Aceh,” Edisi II, Juni 2008 / Foto-foto: Aris di www.timoerjaoeh.net

Leave a Reply