Yang Tak Dikenal, 7 Pahlawan Pangan Lokal

Tujuh perempuan pejuang lingkungan yang mangangkat harkat martabat pangan lokal.
Tujuh perempuan pejuang lingkungan yang mangangkat harkat martabat pangan lokal.

[STOSFEST.COM] – Tujuh perempuan pejuang pangan hadir pada pada program diskusi South to South Film Festival sesi kedua hari ketiga, 16 Maret 2014. Selama hampir dua jam, tujuh perempuan perkasa ini memaparkan kisah perjuangan pangan mereka. Perjuangan yang mereka lakukan merupakan upaya yang selaras dengan dengan alam untuk memberikan penghidupan bukan hanya bagi keluarga mereka, tetapi juga komunitas dan lingkungannya. Perjuangan tujuh perempuan ini sekaligus merupakan upaya mengangkat harkat dan martabat pangan lokal agar dapat menjadi tuan di negeri sendiri.

Dalam diskusi yang dimoderatori oleh Said Abdullah dari Advokasi dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) ini terungkap bahwa keberhasilan yang mereka capai sekarang tidak serta merta. Butuh komitmen, keyakinan, serta kerja keras berkepanjangan untuk menghadapi beragam tantangan dan hambatan sampai mereka bisa tegak berdiri menopang penghidupan keluarga bahkan komunitasnya dengan pangan lokal.

Tujuh perempuan ini membuktikan bahwa bahwa pangan lokal yang selama ini seringkali diremehkan dan kalah gengsi dengan pangan-pangan impor, memiliki nilai gizi yang tak kalah tinggi serta nilai ekonomisnya pun bisa untuk mendukung dapur keluarga agar tetap mengebul.

Perjuangan tujuh perempuan ini adalah awal untuk mengangkat derajat pangan lokal di Indonesia. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan, bukan hanya oleh tujuh perempuan ini, tapi oleh kita bersama, agar pangan lokal tidak tersisih di negeri sendiri.

Berikut tujuh perempuan pejuang pangan lengkap dengan cerita mereka:

Habibah, Marunda Kepu, Cilincing

Usaha terasi andalan keluarga Habibahberhenti, sejak udang rebon tidak ada lagi seiring dengan hilangnya mangrove di pesisir Jakarta. Habibah mengajak perempuan nelayan untuk mengkreasikan sampah-sampah yang melimpah menjadi kerajinan sederhana.

Siti Rofi’ah Lewoleba, Lembata

Sukses mempromosikan pangan lokal di Lembor, Manggarai Barat, siti Ro’fiah kembali kembali melakukan perjuangan tersebut di Lembata. Perjuangan ini diawali dari kegelisahan Siti Ro’fiah melihat 90% kebutuhan pangan di Lembata berasal dari luar wilayah padahal lahan pertaniannya Subur. Lewat kebun bersama tanaman lokal: padi lokal, jemawut, jelai, kacang-kacang, dan umbi kembali dapat dinikmati. Kini Siti Ro’fiah menggagas perdagangan antar pulau di sekitar Flores hingga Lembata, untuk memperkuat perekonomian lokal dan keyakinan perempuan tegar ini menjadi penggeraknya.

Mama Rebecca, Samabusa, Nabire

Berwal untuk penuhi kebutuhan pangan keluarga saat suaminya meninggal, lalu menggerakkan komunitas untuk mandiri pangan dan tidak tergantung lagi dengan beras. Kini ada 21 perempuan bergabung untuk mengupayaan pangan dari kebun sendiri, sebagian besar janda. Kebun kelompok yang mereka rawat membuktikan pangan lokal menghidupkan.

Sitti Rahmah, Pittusunggu, Sulsel

Mengaktivasi lahan tidur yang tercemar air asin menjadi kebun sayur organik sehingga dapat dijadikan sumber penghasilan keluarga. Sitti Rahmah mematahkan anggapan bahwa perempuan cuma bisa merumpi, tapi perempuan juga bisa ter;ibat dalam musyawarah perencanaan pembangunan

Jumiyati, Sei Nagalawan, Deli Serdang

Bersama kelompok perempuan nelayan Muara Tanjung, Jumiyati membangun “benteng” mangrove seluas 12Ha di desanya sejak 2005. Lebatnya hutan mangrove kemudian diolah menjadi aneka makanan seperti kerupuk, sirup, dodol, teh, dan tepung kue. Selain itu, dengan koperasi simpan pinjam yang mereka bentuk bersama untuk membantu perekonomian komunitas nelayan, kini sebagian besar nelayan di desanya tidak tergantung lagi pada tauke pemilik perahu.

Parjiyem, Wareng, Gunung Kidul

Dua puluh empat tahun sudah Warjiyem mengorganisir perempuan petani di daerahnya untuk memperkuat sistem pangan komunitas. Warjiyem bersama dengan komunitasnya setia menanam dan mengolah beragam umbi menjadi aneka tepung lokal. Warjiyem masih berjuang untuk mengupayakan lahan percontohan agar makin banyak yang percaya bahwa pangan lokal bisa menggerakkan ekonomi lokal.

Marlina Rambu Meha, Mbatakapitu, Sumba Timur

Empat perempuan dipimpin oleh Marlina Rambu Meha menggulirkan perubahan sejak Tahun 2000. Lewat kain tenun bepewarna alam, anak-anak di kampungnya dapat bersekolah. Dimulai dari pekarangan, kini lumbung-lumbung keluarga tak lagi kekurangan, terus mendukung gizi anak untuk belajar di sekolah.

7_pahlawan_pangan_lokal_2
Temu-muka dilangsungkan saat digelarnya South to South Film Festival 14-18 Maret 2014.

Ketujuh perempuan di atas meraih penghargaan “Female Food Heroes Indonesia” tahun 2013 bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret 2013. Penghargaan tersebut diberikan atas dedikasi mereka untuk menghadirkan pangan dan menghindari bencana kelaparan masyarakat sekitar. Meski dengan cara yang bermacam-macam, ketujuh perempuan ini sama-sama berani dan menginspirasi perempuan di daerahnya untuk memperjuangkan pangan. :: STOSFEST.COM/17mar2014

Source: Cerita 7 Srikandi Pejuang Pangan Dalam Mengangkat Harkat dan Martabat Pangan Lokal