Kerupuk Kepiting, Akal Perempuan Sangkima Sambung Hidup

[SUDEWI+BIKAL] – Sangkima adalah sebuah desa pesisir Teluk Lombok yang berada di lingkungan Taman Nasional Kutai, suaka alam seluas 198.629 ha di wilayah Kab. Kutai Timur, Kutai Kertanegara dan Kota Bontang, Kalimantan Timur. Seperti halnya dengan masyarakat di daerah pesisir lainnya, masyarakat Sangkima sejak dulu sangat menggantungkan kehidupannya pada hutan bakau dan hasil laut di sekitar Teluk Lombok. Menangkap kepiting, selain udang dan ikan, menjadi sumber mata pencaharian masyarakat Sangkima.

Pada dasawarsa 1990-an, keadaan mulai berubah. Masuknya usaha tambak udang yang dimiliki pihak luar serta pengambilan kayu tanpa terkendali menjadikan hutan bakau mulai terkikis habis. Kehidupan ekonomi masyarakat pun mulai terganggu karena bibit kepiting serta udang dan ikan yang tinggal di sela-sela akar pohon bakau semakin menghilang.

Rusaknya hutan bakau di Sangkima mulai menggerakkan pemerintah maupun pihak swasta melakukan program rehabilitasi pada tahun 2002. Upaya ini gagal. Usaha baru menunjukkan hasil setelah masyarakat setempat, didampingi LSM lokal Bikal, dipercaya mengelola sepenuhnya sumber alam mereka sendiri melalui dibentuknya Kelompok Petani Pangkang Lestari [PARI]. Bibit bakau mulai berkembang hijau dan tumbuh subur, untuk pada gilirannya menghasilkan bibit-bibit bakau yang bisa dijual ke desa-desa tetangga.

Yang Dibuang Justru Jadi Uang

Namun, bibit bakau dan sumber laut yang semakin menipis tidak mencukupi untuk memperbaiki kesejahteraan. Masyarakat tetap harus mencari jalan bagaimana dapur tetap berasap sembari menunggu hutan bakau menghijau kembali.

Kepiting keramba kemudian menjadi alternatif karena diharapkan kepiting kecil bisa cepat digemukkan untuk segera dijual. Bibit kepiting bakau kemudian diperoleh dari Teluk Kaba yang masih memiliki hutan bakau subur, sekitar setengah jam berperahu dari Sangkima. Dalam 20 hari, kepiting sudah bisa dipanen dan dijual antara Rp 8.000 – 10.000 per kg. Namun, mengingat penggemukan kepiting keramba masih terhitung baru bagi kelompok tani ini, terjadi kegagalan-kegagalan yang tidak terduga. Tidak semua kepiting layak dijual di pasar. Jumlah kepiting yang tidak memenuhi syarat cukup banyak. Misalnya, dari satu keramba yang rata-rata berisi 15-20 kepiting, sebanyak 2-3 kg tidak layak dijual.

Kelompok perempuan penghasil krupuk kepiting di Sangkima, Kalimantan Timur.

Melihat banyaknya kepiting yang terbuang percuma, perempuan-perempuan desa Sangkima mencari akal untuk memanfaatkan kepiting buangan tersebut. Secara terpisah, mereka meminta kepada LSM Bikal [Yayasan Binakelola Lingkungan] untuk mendampingi mereka dalam mengolah kepiting buangan itu menjadi kerupuk. Maka terbentuklah Kelompok Kerja Kerupuk Kepiting PARI, dan anggotanya semua perempuan.

Ketika mereka membawa kerupuk kepiting produksi mereka ke pasar, sambutan begitu antusias. Jika kepiting bulat dihargai Rp 8.000 -10.000 per kg, kerupuk kepiting dihargai Rp 40.000 per kg, atau sampai lima kali lipat. Nilai tambah yang tercipta dari penemuan kerupuk kepiting ini membuka peluang baru bagi warga desa Sangkima untuk menimba sumber pendapatan.

Terdaftar Di POM, Tapi Tertantang Disuplai

Kerupuk kepiting Sangkima sudah memperoleh nomor izin dari Badan Pengawasan Obat-obatan dan Makanan [POM] Departemen Kesehatan RI sehingga memberi jaminan kepada konsumen. Namun sisi lain dari sukses adalah tantangan. Sekalipun ada permintaan yang begitu tinggi di pasar, produksi kerupuk kepiting dihadapkan pada kenyataan akan suplai bahan baku yang tidak menentu. Keramba kepiting yang dikelola PARI, meskipun berjalan baik, sangat tidak memadai jumlah panennya untuk mampu mengejar kebutuhan produksi Pokja Kerupuk Kepiting.

Sebagai usaha untuk tetap bertahan hidup, Pokja Kerupuk Kepiting mengisi kebutuhan bahan bakunya dengan membeli kepiting dari sumber-sumber di luar desa mereka. Karena keterbatasan modal, saat ini mereka hanya mampu untuk berproduksi atas dasar pesanan saja.

PARI di desa Samingka kini memiliki empat kelompok kerja, yaitu pokja budidaya kepiting bakau, pokja budidaya rumput laut, pokja produksi kerupuk kepiting dan pokja pengolahan aneka makanan dari rumput laut seperti puding, es rumput laut dan dodol rumpul laut. Meskipun produksinya baru 50 kg per bulan, dengan harga jual Rp 40.000 per kg, kelompok perempuan ini membawa penghasilan yang paling membesarkan hati warga desa.

Sitomorang, seorang karyawan koperasi di Sangkima, mengharapkan agar di masa yang akan datang kerupuk kepiting ada di semua warung dan pasar. “Produk yang dihasilkan kelompok perempuan Teluk Lombok ini sudah terkenal,” katanya.

Sementara itu, Said Romadhan, Kepala Desa Sangkima, sangat bangga karena kegiatan perempuan yang memproduksi kerupuk kepiting mengharumkan nama desa. Walaupun belum mendatangkangkan keuntungan ekonomi yang besar, kegiatan usaha kerupuk kepiting ini telah menambah pengetahuan dan keterampilan perempuan di Teluk Lombok yang sebelumnya sangat tertinggal. Mereka juga merasa sangat bangga karena usaha dan kampung mereka dikenal sampai Jepang.

sumber-sumber >>
http://sudewi.blog.com/315536/ +
http://bikal.info/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=22
Yayasan Binakelola Lingkungan >> http://www.bikal.info

Leave a Reply