Nyi Wiwik, Hawa Segar Tradisi Kaum Adam Pedalangan

Oleh Winarto Herusansono

dalang nyi wiwik[KOMPAS] – Saat menerima tamu di rumahnya, dalang wayang kulit Dwi Tristi Hartini,  yang terkenal dengan nama Nyi Wiwik Sabdo Laras, dengan nada guyon nan tegas mengungkapkan tentang  rumah di antara rimbunan pohon bambu hasil jerih payahnya itu. ”Rumah ini seperti profesi saya,  dalang ’ngisor pring’ (di bawah pohon bambu),” ujarnya. 

Selama sekitar 15 tahun mendalang, rumah  Dwi relatif sederhana. Bangunannya semipermanen seluas 90 meter persegi. Di ruang tamu ada layar (kelir) ukuran kecil dengan tiga tokoh wayang, yaitu Setiyaki, Aswotomo, dan Bambang Prabukusumo.

Seperti ungkapan ngisor pring, bagi dalang seperti Dwi, yang jiwanya lekat dengan hidup berkesenian, menyandang profesi  perempuan dalang tentulah  istilah ngisor pring itu bukan tanpa makna.  Sebagai perempuan dalang, ia merasa  banyak kalangan  yang belum melirik kemampuannya.

Karena itu, ia makin bertekad melakoni hidup sebagai dalang sekaligus mendobrak tradisi pedalangan yang dianggap ranahnya kaum lelaki.  ”Dunia pedalangan masih beranggapan,  perempuan dalang itu seperti timun wungkuk (jelek), hanya sebagai imbuh (tambahan). Perempuan dalang cocoknya main siang, bukan dalang utama pada malam hari. Pandangan itu  harus diakhiri.”

Jadi, ngisor pring  juga menggambarkan kondisi  perempuan dalang yang masih di bawah dominasi lelaki dalang. Bila ada masyarakat meminta dirinya pentas, alasannya hanya dua, yakni ingin tahu kelihaian perempuan mendalang dan karena ia memang pantas menjadi dalang.

Mencari Dwi Tristi Hartini di Dusun Klopo, Desa Bringin, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah—sekitar 20 kilometer arah selatan Kota Semarang—agak sulit. Pasalnya, nama Dwi  di desa itu kurang dikenal. Namun, bila mencari perempuan dalang Nyi Wiwik, pasti semua orang di desa itu tahu.

Sebagai dalang,  Nyi Wiwik berhasil meraih gelar dalang favorit pada Festival Dalang Wanita yang diselenggarakan Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Komisariat Daerah (Komda) Jateng dan Dinas Pendidikan Provinsi Jateng tahun 2008.

Pesan Sang Ayah

Di kalangan pedalangan di Ungaran, Salatiga, Boyolali, Kendal, Kota Semarang, dan sekitarnya, Nyi Wiwik tak hanya dianggap sebagai dalang ”pupuk bawang”.  Kemenangannya  pada festival dalang membuat namanya  naik daun. Setelah itu, ia kerap diundang sebagai  dalang utama, memainkan wayang kulit semalam suntuk.

Nyi Wiwik pun bertekad agar setiap lakon yang dia bawakan  dihargai dan disegani, sebagaimana pesan almarhum ayahnya, Sutrisno Madiyocarito, dalang sesepuh yang banyak mengajar dalang muda di daerah itu.

Kendati namanya relatif dikenal, Nyi Wiwik mengaku tak  mematok harga pentas setinggi  lelaki dalang.  ”Lelaki dalang mematok ongkos pertunjukan sampai Rp 50 juta lebih  semalam. Saya  belum sebesar itu. Honor mendalang saya kelas medium, terjangkaulah. Bahkan, kalau ada yang mau nanggap dengan bayaran Rp 10 juta komplet, kelompok saya siap,” katanya.

Memainkan wayang kulit secara komplet,  ia lebih mengutamakan garapan cerita alternatif atau carangan,  di luar cerita wayang klasik yang sudah pakem. Dalam caranganterdapat formasi lawakan, campursari,  juga organ tunggal.

Seperti dalang lain, Nyi Wiwik menguasai  carangan, seperti  Semar Boyong, yang berkisah tentang penculikan Semar, juga cerita  pakem alias babonan.

Namun sebagai dalang, ia dapat memenuhi permintaan untuk memainkan   cerita klasik dan carangan. Bedanya, dalam cerita klasik wayang tidak ada improvisasi, seperti lawakan atau selingan campursari.

Dari pengalamannya,  Nyi Wiwik berpendapat, mementaskan  wayang kulit dengan garapan cerita alternatif  lebih mudah untuk menyampaikan pesan-pesan, seperti tentang pembangunan. Pesan-pesan itu  mudah mengalir lewat adegan limbukan, goro-goro, atau lawakan. Dengan cara itu, pesan yang disampaikan mudah dipahami  masyarakat penonton.

Nyi Wiwik bercerita, saat belajar di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Solo, ia sebetulnya ingin mengambil  jurusan tari. Namun dilarang  ayahnya. ”Saya diminta mengambil jurusan pedalangan,” ujar Nyi Wiwik yang lulus SMKI Solo tahun 1997.

Permintaan ayahnya itu dibarengi pemberian warisan berupa keprak empat biji kuningan (alat dari kuningan, besi atau perunggu, dipijak kaki kiri untuk mengatur ritme pertunjukan) dan tiga  wayang kulit berupa tokoh Setiyaki, Cakil, dan Buto.

 

https://youtu.be/9F12eJ52uxU

Kain yang Leluasa 

Sebagai perempuan dalang, Nyi Wiwik telah memiliki kelompok pendukung yang jumlahnya sekitar 50 orang. Mereka terdiri dari pesinden, penyanyi, dan pemain organ campursari, pelawak, pengrawit, dan peniti sebanyak 6-8 orang.

Peniti adalah pembantu dalang yang tak hanya menyiapkan wayang kulit untuk dijejer di samping kanan-kiri pakeliran, tetapi juga menyiapkan dan membantu mengatur tokoh-tokoh wayang untuk dimainkan dalang.

Setiap tampil, Nyi Wiwik biasanya mendalang selama delapan jam, mulai pukul  21.00 hingga menjelang subuh.  Pementasan semalam suntuk umumnya terbagi dalam beberapa pengadegan, seperti jejer sepisan, limbukan, paseban jaba, jejer pindho, perang, goro-goro, pertapan, sanga pindho, jejer manyura, dan perang brubuh.  

Ketika sedang mendalang, Nyi Wiwik mengaku tidak leluasa seperti halnya lelaki dalang,  dalam berbusana. Bagi perempuan dalang, busana yang dipakai  nyaris sama dengan pesinden. Perempuan dalang juga memakai kebaya. Bedanya hanya pada bagian depan kain yang   dimodifikasi supaya saat perempuan dalang duduk bersila kain bisa menjadi lebar. Ini diperlukan dalang agar kaki mereka leluasa bergerak, seperti dalam memainkan keprak.

”Biasanya banyak juga penonton  yang berada di belakang kelir, dekat  posisi saya duduk. Mungkin mereka ingin tahu bagaimana dalang beraksi. Padahal,  kain  saya kan terbuka lebar, makanya wajib untuk perempuan dalang memakai celana. Kalau tidak,  bisa bubar wayang kulitnya,” cerita Nyi Wiwik sambil tertawa.

Di tengah pertarungan dunia pedalangan, munculnya banyak lelaki dalang  yang makin agresif dan gemar berimprovisasi, seperti Ki Enthus Susmono (dalang dari Tegal), Ki Warseno ”Slank”  dari Solo, dan Ki Seno Nugroho dari Yogyakarta, menurut Nyi Wiwik, merupakan tantangan sekaligus menumbuhkan inspirasi.

Dia merasa semakin mantap  untuk mengembangkan kepiawaian menyabet wayang kulit dan turut langsung melestarikan tradisi wayang kulit di negeri ini. ::KOMPAS/mar2011

Leave a Reply