Ovy + Novita Olah Plastik Bandel Jadi Konblok Prima

CHANNELNEWSASIA | Sekilas, pabrik batu bata seluas 1.000 meter persegi yang terletak di pinggir jalan yang sibuk di Jakarta Selatan ini terlihat seperti pabrik-pabrik kebanyakan.

Di pelatarannya terdapat tumpukan konblok dalam berbagai warna, ukuran dan bentuk – mulai dari segi enam dan segi delapan sampai persegi panjang – yang siap untuk dipasarkan.

Konblok-konblok juga terpampang di parkiran pabrik itu, diatur sedemikian rupa untuk menunjukkan kepada pelanggan beragam pola pemasangan bata yang tersedia. 

Di dalam pabrik yang dinaungi oleh atap baja yang menjulang setinggi 10m itu terdapat beberapa mesin pengaduk semen dan mesin pencetak bata.

Namun, ada sesuatu yang membuat pabrik Rebricks berbeda dari pabrik kebanyakan. Di satu bagian pabrik itu terdapat limbah rumah tangga yang menggunung dan puluhan karung berisikan plastik yang tercacah halus.

Dalam setahun terakhir, Rebricks telah memproduksi bata beton dari plastik multi-lapis yang kerap digunakan sebagai kemasan bermacam-macam makanan dan kebutuhan sehari-hari, mulai dari kopi instan, kudapan dan kue, sampai deterjen, sampo dan sabun cair sekali pakai.

Kemasan-kemasan ini dikenal sulit untuk didaur ulang karena terbuat dari pelbagai jenis plastik dan kertas aluminium. Biasanya, kemasan-kemasan plastik ini langsung dibakar, dibuang ke tempat pembuangan akhir atau mencemari sungai dan lautan.

foto > Nivell Rayda/CNA

“Enggak ada yang mendaur ulang ‘multi-layered’ plastik semacam ini. Soalnya susah untuk memisahkan plastik dan kertas aluminium supaya bisa didaur ulang dan prosesnya mahal. Makanya pendaur ulang enggak mau berurusan dengan (plastik) semacam ini,” kata salah satu pendiri Rebricks, Ovy Sabrina, kepada CNA.  

“Sebenarnya seram sih. Artinya kan dari semua makanan yang kita konsumsi, kita menciptakan sampah-sampah yang akan langsung ke tempat pembuangan akhir dan mereka enggak akan terurai walau sampai puluhan tahun. Bahkan, setiap ada program pembersihan pantai 50 persen sampah yang terkumpul ya sampah-sampah kemasan kayak begini.”  

Ovy dan mitra bisnisnya, Tan Novita, pun bercita-cita untuk mencari cara mendaur ulang plastik-plastik kemasan seperti ini.

“Kita memilih bahan bangunan karena keluarganya Ovy punya pabrik bata ‘paving’. Jadi kurang lebih kita sudah punya pengalaman dan sumber daya untuk membuat bata daur ulang. Jadi nggak benar-benar dari nol,” kata Novita yang juga teman lama Ovy kepada CNA.

Ovy Sabrina | foto > Nivell Rayda/CNA

Eksperimen Panjang

Meskipun keluarga Ovy sudah mempunyai pengalaman dan peralatan yang dibutuhkan untuk menghasilkan bata konvensional, memproduksi bahan bangunan dari plastik multi-lapis ternyata tak segampang yang diduga mereka.

“Kayaknya kita sudah coba 100 metode dan formula yang berbeda. Proses ‘trial’ dan ‘error’-nya satu tahun setengah. Ada saat-saat kita sudah kayak mau menyerah,” tambah Novita.

Pada awalnya, Rebricks bereksperimen dengan melelehkan plastik multi-lapis dan mencetaknya menjadi batu bata.

“Tetapi prosesnya itu ngehasilin asap yang berbahaya. Prosesnya juga rumit sampai-sampai kita cuma bisa memproduksi 2 meter persegi bata per hari,” kata wanita berusia 35 tahun yang dulunya pernah bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat ini.

Tan Novita | foto > Nivell Rayda/CNA

Novita dan Ovy lalu mencoba memproduksi bata dengan mencampurkan plastik yang sudah dicacah dengan semen, tetapi produk yang dihasilkan mudah hancur dan menghasilkan ceceran plastik yang dapat mencemari tanah.

Akhirnya, mereka mencoba membuat konblok berlapis dua. Lapisan atas yang kerap berhubungan dengan kendaraan, pejalan kaki dan unsur-unsur cuaca dibuat sepenuhnya dari beton, sedangkan lapisan bawah dibuat dari campuran semen dan sampah plastik.

Namun, mereka masih harus menemukan komposisi sampah plastik dan semen yang tepat agar bata-bata yang dihasilkan kuat, tahan lama, tahan api dan ramah lingkungan. Bata-bata mereka juga harus mampu menahan beban 250kg per sentimeter persegi, sesuai dengan standar Indonesia untuk konblok yang dapat digunakan di parkiran, trotoar, taman serta jalur ‘jogging’.

Untuk memenuhi kriteria-kriteria ini, keduanya pun membuat puluhan prototipe yang kemudian diuji di laboratorium.

“Kita sering banget ke lab sampai teknisinya kayak sudah bosan ketemu kita,” kata Novita. Rebricks, tambahnya lagi, telah menghabiskan puluhan juta rupiah untuk menguji coba pelbagai purwarupa yang dihasilkan mereka.

Pada bulan November 2019, setelah satu setengah tahun bereksperimen, Rebricks akhirnya meluncurkan rangkaian produk konblok mereka.

Rebricks akhirnya harus berkompromi dengan mengurangi jumlah sampah yang bisa diserap dalam produksi bata-bata mereka agar mutu dan daya tahan produk itu dapat terjaga serta dengan harga yang bersaing.

“Sekarang, ‘paving block’ kita isinya 20 persen sampah. Penginnya sih bisa lebih banyak (sampah), tetapi kita harus mikirin kualitas dan ongkos produksi. Tetapi kita akan tetap berinovasi dan meningkatkan persentase (sampah yang terserap),” kata Ovy.

Novita menambahkan meskipun dengan persentase yang masih terbilang kecil itu, Rebricks telah mampu mendaur ulang 88,000 potong sampah kemasan setiap harinya.

Sambutan Antusias Masyarakat

Setelah Rebricks resmi meluncurkan produk mereka, kedua pendiri perusahaan ini langsung mencari-cari orang yang mau mengirimkan sampah-sampah mereka sebagai bahan baku produksi.

Mereka pun mendirikan tiga titik pengumpulan sampah, dua di antaranya di Jakarta dan satunya lagi di Serpong, Banten.

“Responnya luar biasa. Banyak banget yang mengirim sampahnya ke kita. Kita sebenarnya ‘amazed’ sih orang mau repot-repot memilah sampah dan mengirim sampahnya ke kita. Ongkos kirimnya kan enggak murah lho,” kata Novita.

“Kita jadi sadar kalau orang sebetulnya ‘care’ soal ini. Mereka cuma enggak tahu saja mereka harus mengirim sampahnya ke mana.”

Novita mengatakan bahkan sebelum keduanya sampai di pabrik saat pagi hari, sudah banyak kiriman sampah yang sudah menunggu.

“Kalau sudah sore ini kantor bisa penuh sampah,” katanya.

“Tetapi kita enggak bisa terima banyak-banyak. Kita kan baru, jadi ‘demand’-nya juga masih sedikit. Karena pandemi ini konstruksi juga lagi lesu, sedangkan konsumsi orang meningkat dan otomatis sampahnya juga meningkat karena orang lebih banyak di rumah.”

Konblok produksi Redbricks | foto > Nivell Rayda/CNA

Ovy menambahkan bahwa pandemi COVID-19 ini juga membuat Rebricks kesulitan memasarkan produk mereka.

“Bahkan selama ‘lockdown’, pabrik kita tutup. Kita juga enggak bisa keliling dan ketemu calon klien, tetapi syukurnya demand kita semakin meningkat meskipun kondisinya kayak begini sekarang,” katanya.

Ovy mengatakan di bulan-bulan awal berdirinya Rebricks, mereka hanya mampu menjual batu bata sebanyak 12 meter persegi kepada pembeli perorangan yang ingin menata ulang taman dan pekarangan mereka, tetapi lambat laun penjualan mereka meningkat melalui percakapan mulut ke mulut dan media sosial.

“Sekarang kita bisa menjual 100 sampai 200 meter persegi sebulan. Itu masih jauh dari kapasitas produksi kita yang 100 meter persegi setiap hari, tetapi kita bersyukur setiap bulan permintaan kita lebih besar dari bulan sebelumnya,” katanya.

Rebricks juga sudah mulai mendapat perhatian dari perusahaan dan pengembang besar.

“Kita sudah kerja sama dengan perusahaan produsen makanan. Mereka mengirimkan sampahnya ke kita, kita daur ulang jadi ‘paving block’ dan hasilnya mereka beli lagi buat dipakai program CSR (‘corporate social responsibility’ atau tanggung jawab sosial perusahaan) mereka,” tambah Ovy.

“Kita lagi ‘explore’ kolaborasi-kolaborasi kayak begini, supaya kita bisa menjual dan mendaur ulang sampah lebih banyak lagi.”

Inovasi Jalan Terus

Ovy mengatakan Rebricks sedang mengembangkan lebih banyak pilihan produk bahan bangunan. Salah satunya adalah batako yang biasa dipakai sebagai dinding luar maupun interior bangunan.

“Untuk batako kita bisa mendaur ulang lebih banyak sampah karena standar kekuatannya lebih rendah dari ‘paving block’. Kita juga enggak perlu takut batakonya hancur dan sampahnya jadi tercecer karena batako itu biasanya diplester lagi dengan semen,” katanya.

“Kita sudah tes sampel (batako) dan hasilnya bagus. Sekarang kita tinggal tes produk akhirnya, tetapi sekarang labnya tutup semua karena COVID-19. Mudah-mudahan tahun depan kita sudah bisa ‘launching’ produk batako kita.”

Ovy mengatakan Rebricks juga sedang mencari cara meningkatkan mutu konblok mereka agar dapat menyerap lebih banyak sampah.

“Kita pengin Rebricks bisa menjadi solusi bagi permasalahan sampah kita sekaligus solusi bagi orang-orang yang mencari cara membangun bangunan mereka secara ‘green’ dan ‘sustainable’,” katanya. | CNA/okt2020

https://www.channelnewsasia.com/news/asia/daur-ulang-sampah-limbah-plastik-paving-block-rebricks-13381882

Leave a Reply