Pejuang Lingkungan Aleta Baun Terima Goldman Environmental Prize 2013

Pembela lingkungan Aleta Baun, yang biasa dipanggil Mama Aleta, berasal dari Desa Naususu, Kecamatan Mollo, Timor Tengah Selatan (TTS), NTT.
Pembela lingkungan Aleta Baun, yang biasa dipanggil Mama Aleta, berasal dari Desa Naususu, Kecamatan Mollo, Timor Tengah Selatan (TTS), NTT.

[UCANEWS] – Seorang perempuan berusia 50 tahun yang menghentikan perusakan lahan hutan sakral oleh sebuah perusahaan pertambangan di Pulau Timor menerima Goldman Environmental Prize 2013 di California, Amerika Serikat.

Penghargaan tahunan itu, yang dianggap paling bergengsi, menyoroti dan memuji perjuangan aktivis lingkungan di tingkat akar rumput, serta mendapat pengakuan dunia atas perjuangan mereka.

Lembaga itu memberikan penghargaan kepada mereka yang tanpa rasa takut melawan semua rintangan demi melindungi lingkungan hidup dan komunitas mereka, dan juga memberikan penghargaan berupa dana sebesar US$ 150.000 untuk membantu mereka melanjutkan tujuan mereka.

Pemenang tahun ini Aleta Baun, yang dikenal sebagai Mama Aleta, berasal dari Desa Naususu, Kecamatan Mollo, Timor Tengah Selatan (TTS), NTT.

Lahir dari keluarga petani, dia kehilangan ibunya saat ia masih di usia muda. Menghormati lingkungan sebagai identitas dan mata pencaharian serta bagian dari pendidikannya yang natural.

Seperti banyak masyarakat adat, Mollo memiliki hubungan yang mendalam dengan habitat mereka yang dapat dianggap sebagai yang sakral. Habitat ini mendukung mereka dengan menyediakan makanan, obat-obatan, lahan yang subur dan sejumlah tumbuhan yang bisa memberikan pewarna sehingga kaum perempuan lokal menggunakannya untuk mewarnai kain tenunan mereka.

Hubungan tradisional dan harmonis mulai terancam tahun 1980-an ketika pemerintah daerah mengeluarkan izin untuk perusahaan pertambangan untuk memotong marmer di daerah Gunung Mutis. Gunung ini adalah daerah yang kaya keanekaragaman hayati yang beberapa warga suku menganggapnya sebagai tempat sakral.

Izin operasi itu, yang dikeluarkan tanpa berkonsultasi dengan warga setempat, menyebabkan deforestasi merajalela yang akhirnya menyebabkan tanah longsor, polusi air dan berbagai masalah ekologis lainnya.

Kondisi tersebut memprovokasi Mama Aleta untuk segera mengambil tindakan. Melihat aktivitas pertambangan sebagai ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat adat setempat, ia dan tiga teman meluncurkan kampanye protes damai.

Dengan berjalan beberapa kilometer dari desa ke desa, dia menyebarkan berita dan mulai mengatur penduduk desa lokal untuk menduduki tempat pertambangan marmer dengan aksi yang disebut “protes sambil menenun”.

Dengan membalikan peran yang luar biasa, ketika kaum perempuan melakukan aksi protes di tambang, para pria tinggal di rumah menjalani pekerjaan rumah tangan seperti, memasak dan menjaga anak-anak.

Kampanye ini menimbulkan kemarahan dari mereka yang memiliki berbagai kepentingan bisnis. Beberapa pengunjuk rasa ditangkap dan dipukuli, Mama Aleta sendiri selamat dari upaya pembunuhan.

Tapi, berkat kegigihan dan keberaniannya, tahun 2007 perusahaan tambang marmer itu  mulai perlahan mengentikan operasi mereka dan tahun 2010 menutup perusahaan tambangnya.

Mama Aleta sekarang menjadi anggota AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara). Dia mewakili wilayah Bali-Nusa Tenggara.

“Mama Aleta layak mendapat hadiah itu,” kata Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal AMAN.

“Dia adalah seorang perempuan pribumi yang telah menjadi pemimpin dan memilih untuk memberdayakan perempuan lainnya di tengah struktur sosial yang didominasi oleh laki-laki,” ujarnya.

Mama Aleta adalah orang ketiga dari Indonesia yang memenangkan Goldman Environmental Prize sejak pertama kali diluncurkan tahun 1980. :: UCANEWS/Katharina R. Lestrai/17apr2013

Perempuan yang menghentikan operasi tambang, raih penghargaan  | UCAN Indonesia.

Leave a Reply