Perajin Gerabah Yu Legi Melihat Dengan Jemarinya

Yu Legi, perajin gerabah desa Sumampir, Bantul.

[BERBAGIGENGGAMAN] – Tangan-tangan setengah berkerut perempuan separuh baya itu nampak begitu terampil memenyet-menyet tanah liat yang telah mulai membentuk lempengan melingkar berdiameter 40 cm. Benda itu dibiarkan berputar di atas sebuah papan yang memang dirancang agar bisa berputar di tempatnya, untuk mempermudah pemenyetan melingkar. Sementara tangannya yang memenyet-menyet secara teratur mengikuti gerakan memutar papan tersebut.

Perempuan itu, Yu Legi (berusia 40 th pada saat ditemui tahun 2007), sedang membuat kuali. Kuali adalah sejenis gerabah yang secara tradisional biasanya dipergunakan untuk memasak oleh masyarakat pedesaan di Jawa. Desa tempat tinggal Yu Legi, Sumampir, Panjangrejo Pundong, Bantul, Yogyakarta sejak lama memang terkenal sebagai produsen gerabah. Produksi gerabah di desa itu telah menjadi industri rumahan yang terkoordinasi melalui sejumlah Usaha Kecil dan Mikro (UKM). Hampir semua keluarga di sana merupakan perajin gerabah.

Yu Legi adalah salah satu perajin gerabah Desa Sumampir.  Ada satu hal yang membuatnya lebih istimewa dibandingkan dengan perajin-perajin gerabah lainnya. Ia tunanetra.

“Saya tidak bisa melihat sejak lahir”, ujarnya kepada koresponden majalah Rumah Lentera Rumah Zakat Indonesia.Yu Legi hidup hanya dengan ibunya yang sudah renta, Jainangun. Ia tidak memiliki saudara dan memilih tidak menikah.

Bantul dan sekitarnya, di mana Yu Legi, tinggal tersohor sebagai pengahsil gerabah.
Bantul dan sekitarnya, di mana Yu Legi, tinggal tersohor sebagai pengahsil gerabah.

Kodisi tunanetra rupanya tidak menghalangi Yu Legi untuk menjadi perajin gerabah. Kemampuannya berproduksi sebanding dengan para perajib gerabah umumnya.Ia bekerja tujuh hari seminggu. Selama sehari dia mampu menyelesaikan 10 buah gerabah. Masing-masing gerabah ia jual Rp. 10.000,- saat itu. Sementara untuk modal tanah liat dia harus membeli Rp. 4.000/bakul. Satu bakul bisa digunakan untuk membuat sebanyak 50 gerabah. Dari sinilah ia memperoleh penghasilan, walau tidak seberapa tetapi selama ini  menghidupi diri dan ibunya.

Memang, kedua tangan Yu Legi seolah memiliki mata. Ditanya bagaimana ia bisa memastikan finishing gerabah-gerabah buatannya, Yu Legi menyatakan bahwa hanya dengan rabaan tangan, ia tahu karyanya selesai. Dan sejauh ini memang tidak ada masalah dengan gerabah buatannya. Kualitas bagus dan tidak berbeda dengan buatan perajin lainnya.

Gempa bumi dasyat 27 Mei 2005 sempat memporak-porandakan Yogyakarta dengan menelan ribuan korban jiwa. Desa Semampir termasuk yang paling parah terkena gempa. Bangunan-bangunan rumah luluh-lantak, berbagai alat produksi kerajinan gerabah dan gerabah siap distribusi hancur berantakan. Kegiatan produksi di desa itu sempat terhenti total.

Dari sinilah Human Concern International (HCI) bersama Rumah Zakat Indonesia turun untuk memberikan dukungan modal dan menghidupkan kembali aktivitas kerajinan gerabah di desa Semampir. Ada sebanyak lima UKM yang memperoleh dukungan dan Yu Legi adalah anggota salah satunya. Kini ia kembali melanjutkan keahliannya menciptakan karya-karya gerabah tradisional, yang kian langka. Mungkin kelihatan sepele, namun pekerjaannya adalah sumber penghidupan andal sekaligus kekuatan budaya lokal karena menghidupkan suatu tradisi asli setempat yang terancam kepunahan. :: [diedit dari tulisan waluyo @ berbagigenggaman-pedulisesama.blogspot/maret2007]

sumber foto >> terimakasihku.com

Leave a Reply