Perempuan-perempuan Nasi Pecel

Oleh Kustiah

jualan_pecelPEREMPUAN paruh baya itu berjalan terseok-seok. Di kepalanya ada rantang berisi sambal. Tangan kirinya menenteng tampah yang berisi pecel dan peyek, sedangkan tangan kanan menjinjing teko. Seakan tak ingin ada ruang yang kosong, punggungnya pun menggendong bakul besar berisi nasi. Toh ia terus berusaha merangsek, menembus penumpang yang berimpit di gerbong kereta api kelas ekonomi jurusan Semarang-Cepu. Kain kebaya yang dikenakan seakan tak pernah menghalanginya bergerak maju. “Pecel Mbak, pecel. Mas pecel, Mas,” teriaknya yang terdengar timbul tenggelam karena harus beradu riuh dengan suara kereta api yang menderu-deru.

Tidak semua orang sanggup membawa begitu banyak beban dan berjalan di antara penumpang yang berdesak-desakan. Tapi perempuan itu terlihat mahir melakukannya.

“Saya sudah 15 tahun berjualan pecel di dalam kereta, Mbak,” tutur Bu Yati, nama penjual pecel gendong itu. “Gaji suami tidak cukup untuk membiayai sekolah anak-anak. Jadi, saya harus mencari akal dan ikut kerja keras untuk mencukupi kebutuhan,” kata perempuan yang ternyata merupakan istri dari salah satu petugas bagian perawatan sarana di PT Kereta Api Indonesia. Semua kesulitan itu ia lewati hingga tak terasa anaknya telah lulus dari perguruan tinggi.

Jerih payahnya sungguh tidak sia-sia. Anak sulungnya saat ini telah menjadi akuntan di sebuah perusahaan swasta di Semarang. “Saya tidak mau menyerah dengan kemiskinan yang saya hadapi, karena anak-anak harus tetap sekolah,” katanya, bersemangat.

Meskipun usianya mendekati kepala enam, semangatnya untuk mengadu nasib di tengah jejalan penumpang belum surut. Sebab, masih ada anaknya yang harus dibiayai untuk menamatkan SMA, syukur-syukur bisa menjadi sarjana seperti kakaknya.

“Sekarang anak saya yang pertama bisa membantu membiayai sekolah adiknya. Jadi saya tidak terlalu ngoyo seperti dulu. Lima tahunan yang lalu saya sanggup menjual nasi pecel dalam sekali jalan. Sekarang nasi pecel baru habis kalau bolak-balik jalan,” ujarnya sembari menghapus keringat di dahi dengan ujung selendang gendongnya. Yang dimaksud sekali jalan adalah perjalanan kereta ekonomi dari Semarang menuju Cepu.

Dalam perjalanan itu, ia akan menyusur dari gerbong satu menuju gerbong lainnya. Perjuangannya menjadi tambah berat, karena pedagang pecel bukan hanya ia seorang. Ada belasan pedagang lainnya yang rata-rata perempuan kategori paruh baya. “Teman saya banyak. Jadi, untung-untungan, Mbak. Tapi ada beberapa penumpang yang sudah menjadi langganan.” Di sela-sela penumpang yang berjejal itu, menurut Bu Yati, nasib baik akan berpihak kepada para pedagang, termasuk kepada penjual nasi pecel.

Memang, semakin banyak penumpang, semakin banyak calon pembeli. Pecel yang dijual Bu Yati itu dinamai sego pecel gambringan. Pecel ini sudah tidak asing lagi bagi penumpang kereta di jalur tersebut. Bukan saja karena rasanya yang enak, tetapi juga karena harganya yang murah. Harga tiap pincuk nasi pecel adalah Rp2.000,- sudah termasuk peyek. Dalam sehari, Bu Yati rata-rata bisa menjual sampai 50 pincuk.

“Biasanya tidak ada nasi yang saya bawa pulang, paling yang tersisa hanya peyek,” katanya.

Tidak semua pecel pincuk itu terjual di kereta api. Begitu sampai di Cepu, kalau masih ada sisa, Bu Yati dan kawan-kawannya akan menjajakan dagangannya di sekitar Rumah Sakit Cepu, pasar, ataupun menyusuri jalanan protokol. Sosok seperti Bu Yati di Tanah Air kita ini, dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, selalu hadir untuk menyelamatkan rumah tangga dari keruntuhan akibat himpitan ekonomi.

Rasa hormat patut disematkan pada mereka. Bisa jadi, satu di antara mereka itu adalah ibu Anda. ~ (foto bersifat ilustrasi bukan foto aktual tokoh dalam naskah)

Sumber >> http://tunu.wordpress.com/2008/05/29/perempuan-kereta/

Leave a Reply