Ade Pujiati Buka SMP Gratis Dengan Pengajar Relawan

[SUARA PEMBARUAN] Sejatinya, pendidikan merupakan sebuah proses humanisasi. Pembelajaran dalam ranah pendidikan pun sebenarnya tidak bisa diartikan sempit, yakni hanya dalam sebuah bangunan bernama sekolah. Pembelajaran bisa dilakukan di mana saja, entah itu di teras rumah, di kolong jembatan, di gudang tak terpakai, di gerbong kereta api, bahkan di pematang sawah.

Sinar matahari seperti memanggang kulit. Namun, seperti tidak dirasakan sekelompok anak berseragam putih biru itu. Senyum merekah tampak di bibir mereka.

Di seragam mereka, tidak ada nama sekolah seperti lazimnya sebuah SMP. Satu-persatu anak-anak itu masuk ke sebuah rumah di Jalan Pancoran Timur VIII No 4B, Jakarta Selatan.

Dengan tertib, mereka membuka sepatu dan dijejerkan sepatu itu dengan rapih di pinggir teras rumah itu. Tak lupa mereka mengucap juga salam kepada sekelompok anak lainnya yang sudah lebih dulu tiba.

Rumah itu adalah tempat mereka selama ini menuntut ilmu. Di pagar rumah itu bertuliskan SMP Gratis Ibu Pertiwi. Apa Iya benar-benar gratis?

Salah satu siswa itu, Desi Ariska (13), menuturkan, dia dan ke 13 temannya menuntut ilmu di SMP Ibu Pertiwi. “Meski belajar di teras rumah, suasana amat menyenangkan,” katanya, saat berbincang dengan SP, di penghujung Mei 2008.

Apakah SMP ini benar-benar gratis tanpa sepeser pun pungutan? Desi mengangguk. Teman-temannya pun mengamini. “Saya bersyukur bisa belajar di sini,” kata siswa lainnya, Heriyanto, yang mengaku sehari-harinya adalah pemulung. “Sebelum sekolah, kadang saya membantu Bapak memulung di sekitar wilayah ini,” katanya.

ade_pujiati-400x299
Ade Pujiati

Dikatakan, jam belajar di sini siang hari. Mulai pukul 13.00 hingga 17.00. “Saya juga tidak minder dengan mereka yang belajar di sekolah. Meski di teras, suasananya menyenangkan,” katanya.

Selang beberapa saat, sang guru pun tiba. Anak-anak itu terdiam. Heri, yang ditunjuk sebagai ketua kelas, mengajak teman-temannya mengucap salam kemudian berdoa bersama. Selang 30 menit belajar teori. Mereka pun berdiskusi, membahas pelajaran yang telah diterangkan. Suasana pembelajaran itu tidak kaku dan menyenangkan.

Sudah sekitar sembilan bulan ini anak-anak itu belajar di teras. Kursi dijejer satu-satu menghadap ke sebuah papan tulis yang diletakkan di dekat pintu masuk. Kain spanduk dibentangkan di bagian luar teras sebagai pembatas pandangan dari jalanan. Di spanduk itulah tertera tulisan yang menunjukkan identitas lembaga pendidikan ini: SMP Gratis Ibu Pertiwi.

Seperti namanya, tak sepeser pun pungutan yang dibebankan kepada peserta didik. Pun tak ada kewajiban berpakaian seragam. Bahkan, buku pelajaran dipinjamkan yang boleh dibawa pulang ke rumah.

Anak-anak itu memang berasal dari keluarga strata marjinal. “Awalnya ada 27 anak. Tapi, seleksi alam, ada yang malas, tak ada motivasi. Sekarang tinggal 14 anak,” kata pendiri dan pengelola sekolah gratis tersebut, Ade Pujiati.

Lembaga pendidikan di bilangan Perdatam, Jakarta Selatan, ini memang sebuah SMP reguler yang menginduk ke SMPN 67 Jakarta. SMPN inilah yang akan mengeluarkan rapor dan ijazah untuk mereka.

Seperti umumnya sekolah, di lembaga pendidikan ini belajar mengajar diselenggarakan setiap hari, dari pukul 13.00 – 17.00. Lalu apakah pengajarnya juga tidak dibayar?

Ade menegaskan, para pengajarnya juga tidak memperoleh honor. “Mereka adalah orang-orang qualified yang berkomitmen terhadap kemajuan pendidikan, khususnya bagi siswa di sini,” katanya.

Benih Kekecewaan

Seandainya Ade Pujiati tak kecewa terhadap sekolah yang dikelola pemerintah, mungkin saja 15 anak-anak dari keluarga kurang mampu itu tetaplah putus sekolah.

Benih-benih kekecewaan itu mulai berkembang ketika dia menyekolahkan anak asuhnya di sebuah sekolah dasar negeri di tahun 2005.

Waktu itu, katanya, pemerintah selalu menyatakan sekolah gratis. Kenyataan yang ditemuinya, muncul pungutan-pungutan. Ada sedekah mingguan yang wajib.

Bukan tak mau sedekah, tapi tak senang karena diwajibkan. Tidak sampai di situ, kekecewaannya pun kian mengental.

Dia merasa tidak puas dengan cara sekolah yang mewajibkan siswa membeli buku pelajaran di sekolah. “Saya bilang, saya mau beli buku di luar (sekolah), tapi dijawab, itu tidak dijual di luar,” katanya.

Belakangan dia menyadari, mungkin karena sering protes, anak asuhnya mendapat perlakuan diskriminatif dari pihak sekolah. “Anak disebelin sampai nangis. Saya pikir, ya sudah, saya buat sekolah gratis,” ujarnya.

Kekecewaan terhadap perlakuan sekolah pemerintah terhadap anak asuhnya itu akhirnya mengkristal. Ade memutuskan ingin menampung anak-anak yang kurang beruntung dan tidak diterima di sekolah negeri. “Jadi memang bermula karena marah sama sekolah negeri,'” ujarnya.

Upaya merealisasikan niatnya membuat sekolah gratis bagi anak-anak yang terpinggirkan itu pun dimulai. Informasi yang peroleh, peluang yang ada dengan membuka SMP terbuka. Gayung bersambut, niat itu didukung teman-temannya.

Banyak yang ingin menjadi pengajar, tanpa minta bayaran. Mereka berasal dari beragam latar belakang seperti dosen, arsitek, atau psikolog. Beberapa mahasiswa psikologi Universitas Indonesia pun terlibat di sini.

Ade menyediakan teras rumahnya menjadi ruang kelas, tempat belajar. Proses belajar mengajar pun dimulai September 2007.

Lantas bagaimana menjaring siswa? Ade mengaku, awalnya ia mencari sendiri. Pengajar piano ini terjun langsung ke daerah-daerah kumuh. Calon siswa pun berdatangan. Tapi, sebelum diterima, dia kembali mendatangi kediaman calon siswanya. Ia ingin mengetahui kondisi keluarga anak, sekaligus berkonsultasi kepada orangtuanya. “Kami hanya mau menerima anak-anak yang tidak diterima di sekolah negeri atau putus sekolah,” tuturnya.

Ade menyediakan perlengkapan untuk proses belajar mengajar, seperti alat tulis dan buku-buku pelajaran. Buku-buku paket itu dipinjamkan kepada setiap siswa untuk dipelajari di rumah. Ini agar buku yang sama dapat dimanfaatkan oleh siswa yang lain, tahun berikutnya.

Semua kebutuhan belajar ia penuhi dari kocek sendiri. Tak ada bantuan dari pemerintah. Ia memang mengaku tidak minta. Tidak jarang, ada saja temannya mengulurkan tangan, rela membantu.

Sejatinya, pendidikan merupakan sebuah proses humanisasi. Pembelajaran dalam ranah pendidikan pun sebenarnya tidak bisa diartikan sempit, yakni hanya dalam sebuah bangunan bernama sekolah. Pembelajaran bisa dilakukan di mana saja, entah itu di teras rumah, di kolong jembatan, di gudang tak terpakai, di gerbong kereta api, bahkan di pematang sawah.

Keceriaan yang menghiasi wajah anak-anak marjinal itu untuk terus menuntut ilmu di SMP Ibu Pertiwi dan lembaga pendidikan masyarakat lainnya telah membuktikannya. Lembaga-lembaga semacam ini berhasil “menjangkau yang tak terjangkau”. [SP/Willy Masaharu/Suara Pembaruan/Mei 2008]

sumber foto >> album terbuka Ade Pujiati di Friendster

Leave a Reply