buku :: Kubunuh Di Sini karya Soe Tjen Marching

Sinopsis

Sekarang aku pulang.
Ke Indonesia.
Tapi apakah hidupku
hanya untuk ini?
Bertahan dan bertahan
selama mungkin,
dan kemudian aku akan
habis tak bersisa lagi?

Selamat dari serangan kanker tiroid, Soe Tjen Marching kembali menemukan benjolan di antara tulang punggung-gumpalan yang menimbulkan kesakitan luarbiasa dan menjadikan dia seperti bukan manusia. Namun, menolak takluk pada keadaan dan penyakit yang menyerbunya, Soe Tjen memperlihatkan, hidup bukan hanya sebatas untuk bernafas, untuk bertahan lalu habis tak bersisa. Buku ini bercerita tentang pasang surut kehidupan Soe Tjen, pengajar di universitas terkemuka di Australia dan Inggris, dalam bertarung dengan penyelinap ganas di tubuhnya. Dituturkan di dalamnya bagaimana di tengah deraan rasa sakit Soe Tjen tetap menggerakkan kelompok diskusi pluralisme Bhinneka. Dengan rasa humor dan pengamatan yang tajam, Soe Tjen juga menulis pengalaman menerima layanan kesehatan yang berbeda di tiga negara tempat ia tinggal — Indonesia, Australia, dan Inggris — mulai dari sikap para dokternya, perawat, hingga menu di rumah sakit. Interaksi antar pasien, antar warga dan antar manusia baik di dunia kesehatan maupun dunia akademik, semua diceritakan dengan lugas dan jernih. Buku ini bukan hanya mengusik rasa haru, tetapi juga memelihara kesadaran bahwa derita dan ceria senantiasa hadir bersama.

stjenmarchingMelawan Kanker dengan Gelora Kreativitas

Melihat aktivitasnya yang seabreg, tak ada yang menyangka kalau Soe Tjen Marching PhD pernah terserang kanker. Penyakit ganas itu bahkan menyerang perempuan kelahiran Surabaya, 23 April 1971, itu selama empat kali berturut-turut.

Hebatnya, justru setelah mengidap kanker itulah, So Tjen makin produktif menulis buku, menerbitkan majalah, mengelola komunitas Bhinneka, mengelola sekolah, hingga mengisi seminar dan diskusi di berbagai kota di dalam dan luar negeri.

Berikut petikan percakapan LAMBERTUS HUREK dengan Soe Tjen Marching di kediamannya, kawasan Putroagung, Surabaya, Sabtu (21/9/2013).

Anda sekarang sudah benar-benar sehat?

Dibilang sehat ya sehat, karena saya bisa beraktivitas seperti biasa. Saya baru keliling beberapa daerah seperti Malang, besok ke Jogjakarta, kemarin memutar film Jagal dilanjutkan diskusi bareng. Tapi, yang namanya bibit-bibit kanker itu ya masih ada di dalam tubuh saya. Sebab, kanker itu tidak bisa dimatikan sama sekali. Ia hanya bisa ditidurkan.

Lantas, bagaimana menjaga agar si kanker itu tidak bangun?

Yah, saya harus menjaga asupan makanan. Harus banyak makan sayur-sayuran dan buah. Kita harus bersyukur karena Indonesia ini gudangnya makanan sehat. Sayur-sayur di sini sangat murah. Di London, Inggris, harga sayur seperti terong itu sama dengan daging, bahkan lebih mahal. Saya juga harus selalu minum obat-obatan yang diresepkan dokter saya di Inggris sana. Kemudian, saya harus kontrol ke rumah sakit enam bulan sekali.

Bagaimana ceritanya Anda pertama kali terdeteksi mengidap kanker?

Tahun 2002, ketika saya masih tinggal di Australia, dokter mendiagnosis bahwa saya terkena kanker tiroid. Penyakit itu mengganggu saluran pernapasan dan pita suara saya. Saya menjalani operasi dan radioterapi di Melbourne, dan berhasil. Tapi suara saya menjadi serak-serak seperti sekarang. Agak beda dengan suara saya yang dulu. Sampai sekarang pun saya merasa tidak enak kalau berbicara terlalu banyak. Sebagai dosen, saya sempat khawatir jadi bisu total, tidak bisa bicara. Syukurlah tidak terjadi.

Selanjutnya?

Hanya berselang satu tahun, 2013, saya kembali terkena kanker tiroid masih di Australia juga. Syukurlah, di Australia dan Inggris, seperti yang saya alami, masyarakat bisa berobat di rumah sakit secara gratis. Saya pun berobat secara cuma-cuma. Saya hanya membayar obat-obatan dan beberapa macam tes laboratorium. Saya bermimpi, sistem jaminan kesehatan seperti di negara-negara maju ini bisa diterapkan di negara kita. Di Indonesia, orang yang terkena kanker bisa bangkrut atau benar-benar ‘kanker’, kantong kering. Setelah sembuh, saya bersama suami pindah ke London, September 2004.

Kanker tiroid itu sembuh?

Tidak. Tahun 2005 saya terserang lagi di London. Saya ditangani seperti di Australia dulu. Semua pengobatannya gratis. Sistem jaminan sosialnya lebih bagus lagi ketimbang Australia. Hanya saja, kita perlu lebih bersabar menunggu giliran untuk ditangani. Beda dengan orang kaya yang punya asuransi khusus. Mereka membayar mahal sehingga bisa segera ditangani.

Anda bisa beraktivitas biasa setelah beberapa kali terkena kanker tiroid itu?

Ya, biasa saja, cuma perlu menjaga makanan dan banyak istirahat. Sejak itulah saya berpikir saya harus mengisi hidup ini dengan berbuat sesuatu yang bermafaat bagi banyak orang. Sebab, orang yang terkena kanker itu kan sudah divonis kalau hidupnya tidak akan lama lagi. Akhirnya, saya membentuk komunitas Bhinneka, bikin majalah, untuk mengajak orang Indonesia merayakan keberagaman di antara kita. Kebetulan saya dapat bantuan dari Ford Foundation untuk menggarap beberapa proyek saya di Indonesia, termasuk Surabaya. Saya juga tetap membuat komposisi musik karena saya juga seorang komponis.

Nah, ketika menggarap Bhinneka itu, tahun 2011, tiba-tiba saya lumpuh di Surabaya. Saya tidak bisa jalan sama sekali. Dokter spesialis saraf dan tulang yang saya temui mengatakan, ada dua benjolan di tulang belakang saya. Dan, benjolan itu ada kaitan dengan kanker tiroid yang saya idap sebelumnya. Dokter di Surabaya itu meminta agar saya segera ditangani oleh dokter di London yang selama ini menangani saya. Soalnya, biaya operasi di Indonesia bisa habis Rp 200 juta. Dari mana uang sebanyak itu?

Lantas, Anda berangkat berobat ke London?

Apa boleh buat. Saya naik pesawat pakai kursi roda ke London. Saya masih ingat tanggal 14 Februari 2011, tepat Valentine’s Day, saya divonis mengidap kanker ganas. Dokter bilang usiaku paling lama tinggal setahun.

Wow, bagaimana perasaan Anda waktu itu?

Biasa saja, sudah kebal hehehe…. Walaupun dibilang bakal mati tahun depan, saya biasa-biasa saja. Waktu kena kanker pertama dan kedua, saya memang takut, cemas. Ketiga kali sudah biasa, keempat kali biasa aja. Yang paling khawatir justru ibu dan suami saya. Ibu saya bahkasi.

Nah, ternyata diagnosis dokter yang mengatakan kanker ganas itu dibantah oleh dokter yang lain. Katanya, kanker biasa, cuma ada risiko kelumpuhan kaki kanan 30 persen. Saya antre dua minggu untuk operasi sebelum ditangani dokter terbaik kedua di Inggris di bidang ini. Satu bulan kemudian saya baru belajar jalan. Kaki kanan seperti hilang. Saya merasa seperti tidak punya kaki lagi. Setelah menjalani latihan beberapa kali, akhirnya saya bisa berjalan normal seperti biasa.

Lantas, apa kegiatan Anda saat ini?

Diskusi, menulis buku, melakukan penelitian, mengajar, bikin komposisi, mengisi seminar di berbagai kota. Mungkin dalam bulan ini buku terbaru saya akan terbit. Judulnya, Kubunuh di Sini. Buku itu tentang pengalaman saya menderita penyakit kanker hingga empat kali. Saya ingin membunuh kanker itu dengan menulis buku serta berbagai aktivitas yang bermanfaat. Saya juga sudah menyiapkan buku untuk kalangan mahasiswa berjudul Logika. Ini penting karena saya melihat sering kali logika atau akal sehat tidak jalan di Indonesia. Pokoknya, masih banyak proyek yang harus saya tangani dalam beberapa bulan ke depan.

Apa saran Anda untuk penderita kanker di tanah air?

Tetap gembira, tetap semangat, optimistis, tenang, tidak usah cemas. Sebisa mungkin mengisi hidup dengan kegiatan yang bermanfaat bagi orang banyak. Perhatikan makanan, istirahat, rajin minum obat, kontrol secara rutin di rumah sakit. Kanker itu bisa ditidurkan kok. :: BLOGHARUK+AMAZON.COM

Wawancara dimuat pada RADAR SURABAYA edisi Minggu, 23 September 2013

Intro >> Penerbit KPG

Leave a Reply