Hendrini Sayang Makanan Dibuang Karena Sayang Mereka yang Terbuang

 

Hendrini Sekarsari, pelayan umat yang tak pernah menunggu untuk mengasihi sesama.

[VHRmedia.com] ~ Jemarinya berpindah dari satu nomor ke nomor lain dengan cekatan. Tidak sampai lima detik, ia sudah berbicara dengan seseorang di ujung telepon. Sehabis itu nomor lain pun dihubungi. Begitulah rutinitas Hendrini Sekarsari, 64 tahun, saban hari. Ia menghubungi restoran, hotel, atau teman-temannya yang sedang berpesta untuk meminta makanan sisa. Bukan untuk keluarganya, melainkan buat memenuhi kebutuhan makan 83 jompo, 45 orang gila, dan 73 anak asuhnya. “Kadang tulang dan kaki ayam goreng dari restoran yang kita dapat,” ujarnya saat dijumpai di lembaganya, Yayasan Penampungan Tunawisma Cacat/Wredha Pelayanan Kasih, Surabaya, awal April 2008.

Untuk memenuhi kebutuhan makan, minum, serta perawatan di yayasannya yang mencapai Rp 60 juta lebih per bulan, ia pun harus berpikir keras agar kebutuhan orang-orang yang diasuhnya tercukupi. Akhirnya ibu beranak dua ini menyiasati pemenuhan kebutuhan itu dengan membeli sayuran pada siang hari agar mendapatkan harga miring. Dia pun sering meminta barang yang sudah kedaluwarsa pada beberapa toko. “Barang kedaluwarsa kita kelola lagi dengan menggunakan arang agar tidak sakit perut. Kalau tidak begitu, tidak nutup,” ujarnya.

Meski hanya makan dengan satu jenis sayur dan kerupuk setiap harinya, Hendrini selalu memberikan makan tiga kali sehari untuk orang-orang yang diasuhya. Nenek lima cucu ini harus menghabiskan 70 kilogram beras per hari. Kenaikan harga bahan pangan kini kian memberatkan perjuangan Hendrini menolong orang-orang tak berdaya.

Mulai Melayani Dengan Sumbangan Perusahaan Jamu

Yayasan Pelayanan Kasih sudah berdiri selama 22 tahun, tepatnya mulai 25 April 1986. Hendrini memulai dari bawah. Mulanya ia mengontrak sebuah rumah di Jalan Banyu Urip, setelah disumbang Rp 5 juta oleh sebuah perusahaan jamu. Ketika itu baru 20 orang yang ia tampung. Setelah tiga tahun, ia dapat membeli sebuah rumah di Simpang Darmo Selatan seluas 6 x 30 meter.

Yayasan milik Hendrini terus berkembang. Kini wanita setinggi 170 centimeter ini memiliki panti anak seluas 760 meter persegi, panti jompo seluas 400 meter persegi, dan panti mental buat orang-orang gila seluas 1.500 meter persegi. Juga ada sebuah kolam ikan dan kebun terong yang dikelola orang panti mental yang telah sembuh. Selain dari sumbangan, Hendrini berbisnis barang antik untuk menghidupi yayasannya. Tiap bulan yayasan ini mendapatkan sumbangan dari Yayasan Dharmais, semula Rp 8 juta dan kini tinggal Rp 3 juta karena krisis ekonomi. Juga mendapatkan bantuan dari Dinas Sosial Rp 1 juta per bulan.

Para penghuni panti di bawah Yayasan Pelayanan Kasih disibukkan berbagai kegiatan. Di panti anak, misalnya, biasanya selain sekolah, mereka juga diberikan pelatihan keterampilan membuat keset dan menyambung kertas. Mereka pun diajak bernyanyi dan berdoa setiap pagi dan sore. “Mereka semua sekolah ada yang TK, SD, SMP, dan SMA, juga SLB, dengan biaya saya angsur,” ujar Hendrini.

Kegiatan para nenek dan kakek di panti jompo berjoget dan bernyanyi, yang merupakan pembangkit spirit mereka. Sedangkan penghuni panti mental atau gila tidak melakukan apa pun. Mereka yang telah sembuh akan dipekerjakan di tempat ini sebagai satpam, pencuci pakaian, penjaga jompo atau orang gila, dan memasak dengan upah Rp 10 ribu hingga 20 ribu per minggu. Hingga kini Hendrini telah menyembuhkan 100 orang lebih.

YPTC Pelayanan Kasih Surabaya

Mempekerjakan Mereka yang Dulunya Terlunta-lunta

Bukan hanya mantan orang gila yang dipekerjakan. Gelandangan yang tinggal di panti tersebut juga dipekerjakan. Susi contohnya. Meski kaki kanannya diamputasi akibat terjatuh dari kereta api dan kini menggunakan tongkat, tidak mengurungkan niat Susi untuk saling membantu di panti ini. “Membantu mencuci baju, mengawasi anak, jompo, bahkan cacat mental,”katanya.

Di yayasan ini para anak dan jompo bisa leluasa keluar dari panti untuk bermain dan mencari angin. “Asal tidak jauh-jauh,” kata Hendrini. Mereka pun selalu diabsensi pada pagi dan malam hari.

Panti untuk orang sakit jiwa pintunya tertutup rapat. Penghuninya tidak boleh keluar sama sekali. Walaupun telah disediakan kamar untuk tidur, mereka kebanyakan lebih suka tidur di teras tanpa alas. Bahkan ketika memasuki panti mental yang berjarak 700 meter dari panti anak, kami menemukan seorang anak berusia 12 tahun bernama Agung sedang diikat dengan besi. “Dia suka ngamuk, jadi kita ikat. Takut mencelakakan yang lain,” kata seorang penjaga di panti mental itu.

Panti mental ini memang lumayan jauh letaknya dibanding panti anak dan jompo yang hanya berjarak 50 meter di antara keduanya. Di dekat panti ini pun kita bisa menemui rumah-rumah penduduk. Untuk mencapai kawasan panti mental harus melewati jalan tanah yang hanya bisa dilewati satu sepeda motor. Di antara jalan itu tidak ada rumah penduduk, hanya ada ilang-ilang yang tumbuh subur.

Sampai Perkawinan Pun Ia Lepaskan

Di balik keberhasilannya itu, Hendrini berkorban sangat besar. Rumah tangganya dengan lelaki asal Solo berantakan. Ini berawal ketika ia membawa pulang seorang anak gila di Blitar yang dipasung bersama ayam. Kondisi anak itu sangat memprihatinkan: bisu, tidak mau berpakaian, susah diatur, dan suka minum minyak tanah.

Sang suami marah dan mengusir Hendrini dari rumah. “Suami saya mengatakan kalau harta semuanya untuk orang miskin, lama-lama jadi gelandangan,” katanya mengenang peristiwa pahit itu.

Hendrini pun frustrasi dan hampir bunuh diri. Tapi ia tidak patah semangat. Ia tetap berkomitmen menolong orang-orang yang dibuang, meski sendirian. Dengan menggunakan mobil Kijang bak terbuka tahun 1986 tak jarang ia turun langsung ke jalan mencari orang jompo, anak-anak gelandangan, dan orang gila. Kadang ada orang yang sengaja meninggalkan bayinya di muka gedung yayasan atau mengantarkan secara langsung. 

Ketulusan Hendrini membantu sesama ternyata tidak berjalan mulus. Ia juga pernah dikhianati oleh anak asuh. “Ada dua anak yang sekarang menjadi gelandangan kembali. Padahal, dari kecil saya tampung, pada umur 20 tahun malah mencuri mobil saya,” ujarnya.Yayasan Pelayanan Kasih membawa kebahagiaan tersendiri bagi Marcelino dan Kasih. Marcelino adalah bekas pejuang prokemerdekaan Timor Timur yang dahulu mengalami gangguan mental dan menggelandang di jalanan Surabaya, sebelum ditampung Hendrini. Saat ini Marcelino menikah dengan Kasih, perempuan tunanetra yang sudah 13 tahun tinggal di panti. Keduanya dikaruniai seorang putri. Mereka pun bekerja di panti. Marcelino mengurus kebun terong seluas 7,5 meter persegi dan budidaya ikan di kolam berukuran 200 meter persegi. Kasih bertugas mengantar anak-anak tunanetra ke sekolah. “Saya diasuh di panti ini sampai saya sekolah dan membina keluarga dengan baik di sini,” kata Kasih. [E2/Fathiyah Wardah Alatas/28-05-2008]

Leave a Reply