Mbah Pon Tegar Mengayuh Becak Melalui Cobaan Demi Cobaan

Ponirah pengayuh becak favorit Yogyakarta
Ponirah pengayuh becak favorit Yogyakarta.

MATAHARI pagi sudah meninggi saat becak itu dikeluarkan dari belakang rumah. Setelah mengelap becak sebentar, tepat pukul 7 pagi, sang empunya becak mulai mengayuh becaknya menyusuri jalan sejauh 2 kilometer menuju tempat mangkalnya. Kostumnya tak pernah berubah: kaos oblong dirangkap kemeja, celana panjang, sepatu, dan caping. Handuk kecil setia melingkari lehernya.

Pada umumnya penumpang becaknya tak memperhatikan si penarik becak. Hingga si penumpang tiba di tempat tujuan, lalu turun dari becak untuk membayar dan terkaget-kaget mendengar suara pengayuhnya yang ternyata seorang perempuan. “Saya diam saja, ndak ngomong kalau ndak ditanya,” tutur Ponirah, 57 tahun, si tukang becak itu. Adegan seperti ini memang biasa dialami Mbah Pon, panggilan Ponirah.

Penampilan Mbah Pon berambut pendek, berbadan kekar dan tegap. Sesekali terlihat kepulan asap rokok dari mulutnya. Perempuan beranak enam dan bercucu tiga ini sudah lupa kapan persisnya ia mulai menjalani profesi berat ini. Seingatnya, ia menjalani profesi ini selama 22 tahun.

Menjadi tukang becak memang bukan cita-cita Mbah Pon muda. Syahdan, pada akhir tahun 1980-an anak-anak Ponirah yang kecil mulai beranjak besar. Mereka sudah harus mengenyam bangku sekolah. Saat itu penghasilan suami Ponirah sebagai tukang becak kurang mencukupi untuk membiayai sekolah 6 anaknya. Ponirah dan suaminya kemudian memutar otak. Karena tak punya uang untuk modal berdagang dan tak mau meminjam uang karena pantang berutang, akhirnya Ponirah memilih mengikuti jejak suaminya, menarik becak.

Saat itu suami Ponirah sudah punya becak sendiri. Ia pun kemudian memakai becak kreditan milik seorang majikan becak dengan setoran Rp 3.000 per hari, termasuk uang cicilan becaknya. “Saya lunasi setelah 3 tahun,” kata Mbah Pon. Dengan becak itu, saban hari Ponirah menjaring penumpang di seputaran Pojok Benteng Kulon, Jalan Raya Bantul, Yogyakarta.

Jam kerjanya mulai pukul 7 pagi, sedangkan selesainya tak menentu. “Kadang jam 8 malam. Dulu pernah sampai jam 12 malam,” kata Mbah Pon lagi. Tapi sejak 10 tahun lalu wilayah operasi Mbah Pon bergeser ke sekitar Mapolsek Kraton. “Di sana (Pojok Benteng Kulon) ndak ada penumpang lagi. Sepi!” katanya.

Pernah di suatu masa jam kerja Ponirah lebih awal. Saat langit belum begitu terang, Ponirah sudah mengeluarkan becaknya. Ia harus stand by di rumah langganannya di Kampung Sonosewu selambatnya pukul 6 pagi. Dua anak kecil menunggu untuk diantar berangkat sekolah ke SD Keputran 3 di bilangan Kraton, tak jauh dari Pasar Ngasem.

Mbah Ponirah
Mbah Ponirah yang senyum mudah. [Foto > lukman-adalah.blogspot.com]

Selesai mengantar pelanggannya itu Mbah Pon biasanya langsung menjaring penumpang di jalanan. Namun, pukul 12 siang dia harus bergegas kembali ke SD Keputran III. Anak pelanggannya tadi menunggu untuk diantar pulang. Agar tak kelewatan, Mbah Pon tak lupa membawa jam. “Makanya saya pakai jam. Biar ndak lupa!” ceritanya.

Penghasilan Mbah Pon sebagai tukang becak memang tak seberapa. Dulu, pada tahun-tahun awal mbecak di Pojok Benteng Kulon, dia biasa pulang membawa puluhan ribu rupiah. Apalagi ketika itu ia mengayuh becak dari pagi hingga malam. Penumpang becak pun masih ramai. Pengguna motor belum seramai sekarang. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, penghasilannya menyusut drastis. Bekerja dari pukul 7 pagi dan berakhir sekitar pukul 2 atau 3 siang, penghasilan bersihnya hanya sekitar Rp 10 ribu. Sementara dia harus mengeluarkan uang untuk makan siang dan membeli rokok.

Meski penghasilannya pas-pasan, Mbah Pon tetap mengayuh becak. Apalagi suaminya, Suparjo, meninggal karena digerogoti kanker pankreas pada 2005. “Sudah dirawat di tiga rumah sakit pindah-pindah, masih ndak sembuh. Saya ndak punya uang, ya sudah dirawat di rumah,” tuturnya. Setelah suaminya meninggal, Mbah Pon menjadi tulang punggung ekonomi keluarga dengan 6 anak.

Menjadi janda dengan 6 anak kontan saja beban hidup Mbah Pon makin berat. Dua anak tertuanya kala itu memang sudah berumah tangga dan hidup mandiri. Namun, anak bungsunya masih di bangku sekolah menengah atas, dan anak yang lain bekerja serabutan. Dua becaknya, yang biasa ia kayuh dan warisan mendiang suaminya, akhirnya dijual. Akhirnya dia mempunyai satu lagi becak pemberian dosen Universitas Gadjah Mada pada tahun 2004.

Dengan becak pemberian itu Ponirah pun menetapkan hati dan tekad untuk terus mengayuh becak demi membiayai sekolah anaknya. “Kalau ndak mbecak, ya ndak punya uang buat bayar sekolahan sama makan sehari-hari,” katanya.

Satu cobaan pergi, cobaan lain datang. Setahun kemudian rumah kecilnya di Dusun Njeblog, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, rusak parah akibat gempa dashyat pada 27 Mei 2006. Mbah Pon dan 2 anaknya selamat dari maut. “Saya sudah bangun, siap-siap mbecak. Anak saya langsung lari keluar rumah,” ujar Mbah Pon mengingat gempa yang merenggut ribuan nyawa di Yogyakarta dua tahun silam. Mbah Pon dan anak-anaknya memang selamat dari gempa, tapi rumahnya rusak. Selain itu 40 ekor bebek miliknya mati terkena reruntuhan kandang. Semua telurnya juga pecah. Mbah Pon pun hanya bisa merenungi nasib. “Saya pasrah pada Gusti Allah,” ujarnya.

Tuhan maha adil. Suatu hari setelah gempa, anaknya dihubungi sebuah perusahaan produsen minuman energi. Mbah Pon ditawari membintangi iklan minuman energi. Menurut cerita anaknya, perusahaan itu melihat Mbah Pon sebagai sosok orang yang tak kenal menyerah dan tidak takluk pada kemiskinan.

Menjadi bintang iklan merupakan anugerah tersendiri bagi Mbah Pon. Dari aktingnya itu dia mendapat imbalan Rp 6 juta. Sebulan kemudian, sepulang dari Jakarta setelah promosi iklan tersebut, Mbah Pon ditanya minta apa. “Saya minta dibangunkan rumah,” jawabnya enteng. Gayung pun bersambut. Perusahaan itu kemudian mengantarkan uang Rp 30 juta yang kemudian dipakai Mbah Pon membangun kembali rumahnya. Rumahnya yang rusak akibat goyangan gempa pun kembali berdiri.

Kesan Mbah Pon sebagai perempuan perkasa menguat setelah dia mendapatkan penghargaan sebagai Wanita Perkasa Yogyakarta dalam perayaan Hari Kartini di Daerah Istimewa Yogyakarta. Saat itu Kapolsek Kraton yang dijabat seorang perempuan mengusulkan Ponirah yang biasa mangkal di depan Mapolsek Kraton sebagai salah satu penerima penghargaan. “Bu Kapolek yang usul,” kata Mbah Pon yang dikenal ramah senyum oleh warga sekitar Kraton. Panitia pun menyetujui. Mbah Pon akhirnya menerima anugerah tersebut langsung dari Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X dan istri, GKR Hemas.

Mbah Pon jebolan kelas IV sekolah dasar. Sampai usia tua tubuhnya selalu sehat. Ia mengaku tak pernah mengalami gangguan kesehatan selama menarik becak. Padahal, usianya sudah menjelang kepala enam dan setiap pagi hanya sarapan segelas teh hangat dan sebatang rokok. “Saya bisa makan ya habis narik,” katanya.

Anak dan kerabat sudah meminta Mbah Pon pensiun mengayuh becak. Nyatatanya, di usia menjelang kepala enam, dia harus tetap mengayuh becak. “Kalau ndak mbecak, makan apa?” ujarnya.

Mbah Pon tak tahu kapan akan berhenti mengayuh becak. Ia masih menyimpan cita-cita menggembala bebek seperti dulu. Namun, 40 ekor bebeknya sudah mati tertimpa gempa. Bantuan yang mengalir deras setelah gempa Yogya tak menciprati Mbah Pon. Ia tak punya uang untuk membeli bebek. “Ndak ada uang. Seekor harganya 25 ribu rupiah. Uang dari mana?” kata Mbah Pon yang kini menjadi selebritis di Bantul setelah menjadi bintang iklan.

Foto oleh Reza Yunanto: Ponirah sedang mengayuh becaknya.
sumber >> VHRmedia.com/Maret2008/judul asli: Ponirah Pengayuh Becak

 

Leave a Reply