Perempuan Gerabah Pagerjurang Pelestari Kearifan Sunan

tulisan > Ganug Nugroho Adi | foto-foto > solografi.com

SOLORAYA + SOLOGRAFI – Para perempuan itu duduk menyamping. Tangan-tangan mereka begitu cekatan membentuk tanah liat di atas tatakan yang berputar. Pada saat yang sama,  kedua kaki mereka secara bergantian mengayun bambu yang dihubungkan dengan tali pada tatakan. Ayunan kaki secara terus menerus itulah yang membuat tatakan berbentuk lingkaran berdiameter sekitar 30 cm berputar.

Kelak, jika seluruh proses selesai, dari tangan-tangan mereka dihasilkan aneka gerabah seperti mangkuk, cangkir, piring, kendi, cobek, vas bunga, dan nampan buah. Proses pembuatan gerabah seperti itulah yang dikenal dengan teknik gerabah putaran miring.

Selain karena cara duduk perajin yang serong –tidak menghadap lurus ke depan, posisi tatakan kayu untuk tanah liat juga diletakkan miring hampir 45 derajat, tidak datar atau tidak sejajar dengan permukaan tanah. Itulah cara pembuatan gerabah yang unik, dan hanya dimiliki secara turun-temurun oleh warga Dusun Pagerjurang, Desa Melikan, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

“Teknik putar miring seperti ini biasanya untuk untuk membuat gerabah-gerabah yang ukurannya kecil dan tipis, seperti dinner set, nampan buah, kendi, mangkuk, dan teko. Kalau yang seperti Ini para perempuan yang mengerjakan,” kata Tukiyem (55), seorang perajin.

Sedangkan untuk gerabah ukuran besar dan tebal seperti pot bunga dan gentong, lanjut dia, dibuat oleh para pria dengan menggunakan teknik gerabah putaran datar. Ibu sembilan anak ini mengaku sudah membuat gerabah sejak masih kelas 3 Sekolah Dasar. Semasa masih hidup, kakek dan kedua orang tuanya adalah perajin gerabah yang cukup ternama di Dusun Pagerjurang. Kini, bersama suaminya Tukiyem meneruskan usaha pembuatan gerabah warisan keluarga. Anak-anak Tukiyem juga memiliki usaha yang sama.

“Semuanya membuat  gerabah. Ada beberapa anak saya yang membuka toko, dan menjadi penghubung antara pembeli dan perajin di sini,” tambah Tukiyem.

Desa perajin gerabah

Tidak hanya keluarga Tukiyem, hampir semua warga Dusun Pagerjurang, Desa Melikan, Kecamatan Wedi, memiliki usaha pembuatan gerabah. Setidaknya ada sekitar 200 industri rumahan gerabah di Pagerjurang. Di Pagherjurang, industri-industri rumahan ini satu sama lain saling bersebelahan, berseberangan. Beberapa di antaranya hanya dipisahkan oleh gang atau pun pagar pekarangan. Uniknya, para perajin tidak menganggap satu sama lain sebagai pesaing.

Begitu melewati  gapura dusun, nuansa kawasan sentra kerajinan gerabah langsung terasa. Gerai-gerai sederhana berjajar di sepanjang kanan-kiri jalan hingga masuk ke gang-gang sempit. Aneka gerabah di tumpuk di atas rak kayu susun, atau ditata di teras-teras rumah.  Hampir semua pekarangan juga dipenuhi gerabah setengah jadi yang dijemur. Sementara di bagian lain teras  beberapa perempuan sedang membuat gerabah.

Dusun Pagerjurang terletak di tepi Jalan Bayat-Wedi, sekitar 20 kilometer arah tenggara pusat kota kabupaten. Sebuah dusun yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota. Pada Mei tahun 2006 lalu, desa ini ikut porak-poranda akibat gempa seperti desa-desa lain di Kecamatan Bayat, Wedi, dan Gantiwarno. Namun bencana gempa justru membuat sentra industri Pagerjurang banyak dikenal.

“Sebelum gempa, orang tahunya sentra kerajinan gerabah ya hanya Kasongan (Yogyakarta). Tapi setelah itu mereka jadi tahu bahwa sebagian gerabah yang dijual di Kasongan berasal dari Pagerjurang. Banyak pembeli asing yang kiemudian melirik dusun ini,” tutur perajin gerabah yang lain, Suranto (50).

Tanpa bahan kimia

Berbeda dengan gerabah Kasongan atau tempat lain, gerabah Pagerjurang  tidak pernah diwarnai dengan zat kimia. Satu-satunya pewarnaan hanya menggunakan tanah merah. Warna gerabah dibiarkan natural -hitam kecoklatan sesuai dengan sifat tanah seusai pembakaran (terakota). Warna ini dibuat lewat pengapasan (reduksi). Keunikan lain, gerabah Pagerjurang dibiarkan polos tanpa glasir (pelapis yang membuat permukaan mengkilap).

“Pembakaran dilakukan di dalam tungku besar dengan menggunakan kayu bakar terus menyala selama 24 jam dengan suhu sekitar 600 derajad celsius.  Setelah tungku padam, perajin masih harus menunggu 12 jam lagi sebelum akhirnya gerabah-gerabah dikeluarkan dari tungku,” jelas Suranto.

“Dengan proses pembuatan yang alami seperti itu, tak heran jika gerabah Pagerjurang sangat aman digunakan untuk memasak, makan, dan minum. Orang-orang kota banyak yang menggunakan kendi untuk tempat air minum. Katanya airnya lebih segar,” ujar Harjanto (40) yang rumahnya  berseberangan dengan rumah Suranto.

Selama ini gerabah Pagerjurang memang dikenal memiliki kualitas bagus karena dibuat dari tanah  pegunungan yang memiliki daya tahan lebih kuat dibanding tanah biasa. Bahan baku ini masih   dicampur dengan  bahan pelapis berupa tanah liat dari wonogiri yang hampir tidak memiliki sedikit kandungan pasir sehingga lebih padat dan liat.

Kekhasan itulah yang menjadi daya tarik para pembeli. Apalagi Harganya jauh lebih murah dari gerabah Kasongan. Harga eceran hanya berkisar Rp 5.000 sampai Rp 150.000, bergantung pada ukuran dan bentuk. Bahkan untuk gerabah piring, cangkir, dan cobek  harganya hanya  Rp 1.000. Tak heran jika setiap hari Dusun Pagerjurang banyak dikunjungi pembeli, terutama pembeli eceran. Meski belum tentu enam bulan, beberapa pembeli dari manca negara, seperti Jepang, Spanyol, Argentina, dan Belanda juga memesan gerabah Pagerjurang.

“Saya sedang menyelesaikan tiga kontainer gerabah rumah tangga pesanan dari Belanda, seperti piring, kendi, gelas, cobek, mangkuk, dan nampan buah,” ujar Suranto.

Tumbuh dan belajar bersama

Untuk memenuhi pesanan itu, Suranto tidak bekerja sendiri. Ia meminta beberapa perajin lain untuk memasok gerabah. Dengan cara seperti itu, semua perajin di Pagerjurang akan mendapatkan penghasilan. Hal yang sama juga dilakukan oleh para perajin lain jika mendapat pesanan partai besar.

Di Pagerjurang, para perajin tumbuh dan belajar bersama. Jika salah satu perrajin mendapat order besar, yang lain akan kebagian. Nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong begitu terpelihara di antara mereka.

“Tapi pesanan dalam jumlah besar seperti ini sudah tidak sesering dulu. Yang sering ya 500, 200, 100, bahkan 20 biji pun kami layani. Tidak banyak tidak apa-apa yang penting ajeg (rutin),” kata Harjanti (34), seorang perajin.

Konon, teknik gerabah putaran miring ini sudah ada di Pagerjurang sejak 300 tahun lalu pada masa Sunan Bayat (Sunan Pandanaran), seorang ulama penyebar agama Islam di Jawa. Menurut Kepala Desa Melikan, Bambang Susilo, pada masa itu pembuat gerabah di Pagerjurang adalah para perempuan yang berkebaya dan mengenakan kain jarik -kain batik yang dililitkan menutup tubuh bagian bawah. Sementara itu para pria hanya bertugas mencari tanah liat.

Bambang melanjutkan Sunan Bayat meminta agar tatakan gerabah dibuat miring dengan pertimbangan nilai etika. Sunan Bayat melihat  kekurangpantasan ketika seorang perempuan ikut memutar gerabah dengan dengan kaki mengangkang  seperti perajin laki-laki.

Adat Jawa memberi petuah bahwa perempuan Jawa tidak boleh duduk dalam posisi mengangkang. Tidak sopan. Maka teknik putaran miring menjadi pilihan tepat agar para  perempuan tetap bisa membuat gerabah tanpa harus melanggar aturan adat.

“Perempuan tidak sopan kalau duduk mengangkang sehingga Kanjeng Sunan (Bayat) meminta posisi tatakan gerabah diubah miring. Karena itu gerabah di sini juga sering disebut dengan gerabah Sunan,” jelas Bambang.

Kini para perempuan perajin gerabah tidak lagi mengenakan kain jarik. Mereka bisa mengenakan panjang atau pun rok panjang. Namun alasan kesopanan tampaknya masih sangat relevan. Anehnya, banyak perempuan yang tidak tahu mengapa posisi tatakan gerabahnya dibuat miring.

“Dari dulu sudah seperti ini, saya hanya mengikuti saja. Setahu saya kalau tatakannya miring itu untuk perempuan. Yang laki-laki tatakannya di tengah,” kata Mei (23).

Tahun 1994, teknik gerabah putaran miring ini menarik perhatian Chitaru Kawasaki, seorang profesor dari Universitas Kyoto Seika, Jepang, untuk melakukan penelitian. Dia bahkan rela tinggal di Melikan untuk risetnya. Hasilnya, Pemerintah Jepang kemudian memberikan bantuan Rp 1 miliar untuk membangun Laboratorium Pusat Pelestarian Budaya Keramik Putaran Miring Melikan pada tahun 2004 lalu.

Di laboratorium ini, pengunjung bisa melihat secara langsung proses pembuatan gerabah dengan teknik putaran miring dari awal sampai akhir. Mereka juga bisa mencoba ikut membuat gerabah, dan hasil karyanya boleh dibawa pulang.

“Laboratorium ini juga sering menjadi tujuan wisata edukasi bagi pelajar,” jelas Bambang.

Dari nilai eknomi, gerabah tradisional Pagerjurang memang tak menghasilkan uang yang berlimpah bagi perajinnya. Alasan kepraktisan membuat  masyarakat modern meninggalkan gerabah, dan lebih memilih peralatan rumah tangga dari bahan plastik atau almunium.

Tak seperti sepuluh tahun silam, penghasilan perajin di Pagerjurang pun jauh berkurang. Hasil penjualan produksi gerabah hanya cukup untuk hidup sehari-hari. Zaman boleh berubah. Namun sebagian besar perajin gerabah di Pagerjurang tetap bertahan memproduksi gerabah tradisional mereka.

“Di luar sana ada banyak gerabah modern, baik teknik mapun desainnya.. Tapi gerabah tradisional hanya ada di Pagerjurang. Ini gerabah peninggalan Sunan (Bayat), dan kami bangga dengan kekhasan ini,” kata Harjanto. :: SOLORAYA.COM+SOLOGRAFI.COM/Ganug Nugroho Adi/nov2013

https://soloraya.com/2013/11/02/gerabah-pagerjurang-gerabah-warisan-sunan/

Leave a Reply