Kisah Keuletan Tiga Mama Asuh Di Timor Barat

Padahal menurut Elis, tujuan mereka murni ingin membantu anak-anak untuk bisa bersekolah. “Kami paling bisa bantu itu sampai SMA, itu juga kalo banyak orang mungkin agak berat. Paling tamat SMP-lah,” ujar Elis. “Rasanya tidak tega kalo lihat ada anak yang putus sekolah,” sambung Eny. “Kami bilang ke orang tua mereka, kalo kesulitan biaya sekolah anak, mari ko kita duduk sama-sama pikir jalan keluarnya,” lagi kata Elis. Oleh karena itu, mereka hanya mau menampung dan mengasuh anak-anak yang sudah mendapat persetujuan dari para orangtua mereka. Syarat utamanya sangat sederhana. “Yang penting itu anak mau sekolah,” ujar Eny. “Kalo tidak mau sekolah, kami tolak.”

Dari sembilan anak yang ada sebagian adalah keluarga dari Elis dan Ela, sisanya adalah keluarga Eny. Orangtua kandung anak-anak ini semuanya masih lengkap. “Ada yang pi (pergi – red) jadi TKI di Malaysia sana. Yang lain, orang tuanya di Kupang,” jelas Elis. “Itu ada satu dari Baumata sana. Elsa tu, sekarang dia su kelas dua SMA,” celetuk Eny, sambil menunjuk seorang gadis remaja yang tersenyum malu, duduk di sebelah kanan tak jauh dari Elis dan Eny. Baumata, terletak di kelurahan Penfui-Kupang, terkenal dengan sumber airnya yang melimpah sehingga dimanfaatkan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kupang dan perusahaan air minum swasta Aguamor. Hubungan antara anak-anak ini dengan orangtua kandung mereka tetap terjalin, lewat kunjungan langsung maupun surat. “Idus ini,” kata Eny, sambil menunjuk seorang anak lelaki kecil yang duduk di tikar tepat di depan kami, nama lengkapnya Alfridus Nahak, masih duduk di bangku SD. “Dia baru saja menerima surat dari mamanya yang kerja di Malaysia sana kemarin sore.”

anaksd_nttKehadiran anak-anak, seperti Edny yang masih balita hingga Elsa yang sudah remaja, dengan berbagai tingkah dan polah laku mereka, menjadi hiburan tersendiri bagi Elis, Eny dan Ela. “Yang paling nakal itu Idus dengan Maxi,” kata Elis, lanjutnya, “Kadang kita musti marah-marah bahkan hukum dengan rotan.” Perhatian dan kasih sayang yang harus diberikan sama kepada ke sembilan anak ini, terkadang mendatangkan kecemburuan di antara anak-anak. “Dorang yang su besar ini kadang bilang, ma dong ni hanya sayang Edny sa,” cerita Eny. Edny Permata nama lengkapnya, seorang bocah yang baru berumur sekitar dua tahun. Sudah diasuh sejak masih bayi. “Karena kita ambil dia ini dari masih belum bisa omong, belum bisa jalan jadi, mau tidak mau perhatian lebih banyak ke dia e,” jelas Eny. Hal itu yang coba dijelaskan kepada anak lainnya. Nama Edny pun dicarikan oleh Elis dan Eny, “Sampai satu hari pikir dia pung nama ini,” aku Elis, sambil mengelus kepala Edny yang duduk santai di pangkuannya. Edny Permata berarti Permatanya Elis dan Eny. “Kalo sakit dong semua manja, seperti minta kita kasi perhatian lebih begitu,” ujar Eny, “Satu itu, Melda. Dia kalo sakit, kita harus peluk dulu baru tenang,” sambungnya. Melda, gadis cilik yang duduk dekat pintu di samping Idus hanya tersenyum malu sambil memainkan rambutnya yang pendek sebahu.

Selain membantu membiayai kebutuhan hidup dan sekolah anak-anak seperti biaya buku-buku hingga uang jajan dan transport, Elis, Eny dan Ela juga mendorong minat belajar anak sebisa mungkin. “Kalo ada PR (pekerjaan rumah-red) yang tidak bisa mereka kerja, kalo kami tahu kami bantu kasi tunjuk caranya, kalo tidak tau juga kami usaha cari orang yang mungkin lebih tahu untuk bimbing ini anak dong,” cerita Eny.

Dari tujuh anak yang sudah bersekolah, menurut Elis, ada tiga yang prestasinya di sekolah bagus. Elsa Haumeni, saat ujian kenaikan kelas yang baru lewat, mendapat rangking dua. Yanto, kakak pertama, Melda, Maxi dan Idus juga selalu dalam sepuluh besar terbaik di kelasnya di SMP N I. Begitu juga dengan Melda di SD Katholik I, saat naik ke kelas enam belum lama ini mendapat juara II mengungguli teman-temannya yang kebanyakan anak keluarga mampu. Hal ini tentunya membawa kebahagiaan tersendiri bagi ketiga mama angkat mereka.

Tak banyak yang diharapkan ketiga perempuan tangguh ini selain harapan akan masa depan yang baik bagi kesembilan anak asuhan mereka. “Kami hanya bantu kasi sekolah sa, soal masa depan, ada di dong pung tangan sendiri e…,” ujar Eny. “Kami hanya harap supaya suatu saat, apa pun yang dong pilih entah sekolah lanjut ka atau buka usaha, jangan bikin malu kami sebagai orangtua ini,” harap Elis. Ela yang baru tiba dari kios satunya, hanya menganggukkan kepala mengiyakan.

Menetap Demi Ketenangan Memberi

Pada saat tulisan ini dibuat pada bulan Agustus 2007, keluarga besar itu sedang menanti waktu yang tepat untuk pindah ke lokasi baru, ke tanah mereka sendiri, yang dibeli secara bersama dengan 82 keluarga lainnya di dusun Haliwen desa Kabuna. Elisabeth Namok termasuk salah satu yang mewakili kelompok perempuan dalam negosiasi lahan mandiri belum lama ini. “Di sana nanti, saya tidak pusing lagi dengan masalah tanah, kami bisa lebih tenang untuk tinggal,” ujar Elis. Menurutnya persoalan rumah di sana juga bukan prioritas, sekalipun rumah yang telah dibangun dengan susah payah di Weraihenek harus dibongkar ulang. “Paling penting itu, kami pung anak dong ini bisa sekolah dengan tenang,” ujarnya mengakhiri wawancara kami siang itu.

Elsa dan adik-adiknya termasuk anak-anak yang beruntung jika dibandingkan dengan jutaan anak Indonesia lain yang kurang beruntung karena kehilangan kasih sayang orangtua akibat konflik, bencana alam, atau karena menjadi korban perdagangan anak. Setidaknya, Elsa dan kedelapan adiknya masih bisa menikmati hak-hak mereka sebagai anak manusia. [Olyvianus Dadi Lado/Agustus2006]

sumber >> 22 agustus 2006 di volkes.blogspot.com dan reload di www.cistimor.or.id

 

 

 

 

Leave a Reply