Suraiya, Rintis Cara Berdialog Untuk Perdamaian di Aceh

 
Dari kejadian yang menimpa sahabatnya, dan disusul pertanyaan bernada gugatan itu, Suraiya mulai saat itu menyatakan sesuatu yang mirip sumpah: “Saya harus melakukan sesuatu”.
 
Lalu dimulailah hasrat pemihakan dan pembelaan pada kaum perempuan pada diri Suraiya Kamaruzzaman, yang baru saja meraih penghargaan perdamaian N-Peace dari lembaga di bawah naungan PBB, UNDP, awal Oktober lalu, atas dedikasinya memperjuangkan lebih dari dua puluh tahun hak-hak perempuan Aceh selama wilayah itu dikoyak konflik bersenjata.
 

Flower Aceh

 
Kesempatan untuk menyalurkan hasrat itu akhirnya terbuka lebar, ketika Suraiya mulai aktif berorganisasi saat berstatus mahasiswa baru di Fakultas Teknik di Universitas Syah Kuala, Banda Aceh.
 
Namun, dia mengaku agak kecewa ketika awal mula terjun di organisasi ekstra dan intra kampus. “Karena, kalau bergabung ke sana, selalu peran kita didomestifikasi, yaitu masuk ke seksi perempuan, terima tamu.” akunya agak tergelak.
 
Dari situlah, Suraiya lantas memutuskan untuk membangun sendiri organisasinya saat duduk di semester tiga. “Nah, yang saya lakukan dengan beberapa teman yang satu ide, kita dirikan Flower Aceh pada 1989,” ungkap Suraiya.
 
“Tujuannya sederhana saja, yaitu membagi kesempatan, membagi ilmu yang saya dapat kepada perempuan lain,” katanya, mulai bercerita.
 
Suraiya mulai mendampingi kaum perempuan
Aceh saat wilayah itu diguncang konflik bersenjata.

Awalnya, Suraiya dan kawan-kawan setiap pekan datang ke desa-desa di dekat kampus. Mereka menemui ibu-ibu untuk diajak diskusi tentang persoalan yang dihadapi dan bagaimana pemecahannya. “Seperti persoalan kesehatan reproduksi dan kemiskinan,” ungkapnya memberi contoh.

 
Dalam perkembangannya, Flower Aceh kemudian ikut mendampingi para perempuan Aceh yang terperangkap dalam konflik bersenjata di wilayah itu.
 
Di sinilah, saat konflik masih melanda tanah kelahirannya, ujian sebenarnya dirasakan langsung oleh Suraiya dan kawan-kawan.
 
“Banyak sekali pengalaman yang saya tidak akan bisa lupa, yang menjadi bagian dari catatan kehidupan saya, dan berpengaruh pada saya.”
 
Suraiya kemudian mengungkap satu peristiwa getir yang kelak begitu membekas pada dirinya — sampai kini. Kejadiannya di sebuah desa di wilayah Pidie, yang disebutnya “basis daerah Gerakan Aceh Merdeka (GAM)”.
 
Saat itu dia dan rekan-rekannya dari Flower Aceh menemui kepala desa. Walaupun merasa terharu (“tiba-tiba kepala desa itu menangis,” kata Suraiya, dengan nada tercekat) dan senang atas kedatangan Suraiya dan timnya, kepala desa itu – masih dengan berlinang air mata — memohon agar anak-anak itu tidak membantu.

Leave a Reply