Suraiya, Rintis Cara Berdialog Untuk Perdamaian di Aceh

Setelah perdamaian

 
“Tidak serta merta,” begitulah kalimat yang meluncur dari mulut Suraiya, saat saya tanya apakah setelah kesepakatan damai Pemerintah Indonesia-GAM, maka persoalan-persoalan kekerasan yang menimpa perempuan Aceh berkurang.
 
“Tapi perubahan ke arah positif, pasti dong… Perang senjata terbuka sudah tidak ada kan”.
 

Di masa konflik, menurutnya, perempuan tidak pernah memiliki
kesempatan untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan
menyangkut kebijakan daerah.

 
Setelah perdamaian, perempuan Aceh lebih leluasa
untuk terlibat dalam keputusan politik
di wilayah itu.

Sekarang, “walau jumlahnya masih terbatas, kita (perempuan) mulai terlibat. Misalnya ada sebagian teman-teman aktivis perempuan, aktivis NGO atau akademisi, terlibat dalam tim drafter yang dirancang (pihak) eksekutif atau legislatif”.

 
Ruang partisipasi bagi perempuan Aceh, menurutnya, saat ini juga lebih terbuka. “Cuma jumlahnya saja masih perlu ditingkatkan. Tidak bisa, misalnya, dalam pembuatan perda atau qanun, dengan mengundang tiga orang perempuan, dianggap sudah terwakili. Belum”.
 
Idealnya, menurut Suraiya, kalau mengacu resolusi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), seharusnya pada pemilu kepala daerah pertama di Aceh, ruang untuk perempuan harus diberikan semaksimal mungkin.
 
“Paling tidak minimal 30 persen anggota DPR itu dari kaum perempuan, sehingga perencanaan, penganggaran, atau kebijakan itu memiliki perspektif untuk melihat keadilan pada perempuan dan lelaki”.
 
Diakuinya persoalan ini bukan hanya terjadi di Aceh, tetapi juga di tingkat nasional serta jamak terjadi daerah lain.
 
“Jadi masih banyak persoalan yang harus diselesaikan,” tegas Suraiya yang kini terlibat dalam program kerja sama kemitraan Indonesia-Australia, Logica 2, yang menitikberatkan pada berbagai program perdamaian lanjutan.
 

Leave a Reply