Suraiya, Rintis Cara Berdialog Untuk Perdamaian di Aceh

Implementasi Qanun

 
Potret diri Suraiya Kamaruzzaman dan lima aktivis lainnya yang memperoleh penghargaan perdamaian UNDP.

“Kalau melihat aturan hukum syariat islam (di Aceh), tidak tertulis perbedaan-perbedaan yang signifikan atau pelarangan ruang-ruang perempuan, ” ujar Suraiya, saat saya tanya apakah keberadaan Perda Syariat Islam di Aceh, kurang memberi tempat kepada perempuan.

 
“Tapi saya melihat pada proses implementasi,” tambahnya, dengan nada tegas.
 
Dia kemudian mencontohkan implementasi yang dia maksudkan. “Contoh sederhana saja, ketika Polisi Syariat memerika pakaian di check point, itu sering yang jadi sasaran adalah perempuan”.
 
“Atau perempuan yang miskin, karena perempuan dalam mobil tidak diperiksa. Jadi yang menghadapi situasinya adalah kelompok perempuan marginal”.
 
Dia lantas mengambil contoh hukuman cambuk untuk kasus perjudian: “Nah, kalau orang kaya bisa membayar, ada pilihan dicambuk atau bayar denda, sehingga yang menghadapi situasi ini adalah orang miskin”.
 
“Di situ yang menimbulkan ketidakadilan,” tandas Suraiya, yang pernah dipercaya sebagai Ketua Dewan Pengurus Nasional Perserikatan Solidaritas Perempuan (2001-2004) ini.
 

Memastikan regulasi

 
Dari situasi seperti itu, apa yang bisa Anda lakukan? tanya saya.
 
“Yang saya lakukan sebenarnya hal yang sangat kecil. Saya tidak bisa kerja sendiri , tapi bekerja sama dengan teman-teman, baik golongan civil society, maupun pemerintah, akademisi, dan ulama,” kata Suraiya, pendiri Balai Syura Ureung Inong Aceh pada tahun 2000 lalu.
 
Dia lantas mencontohkan langkah-langkah yang telah dilakukan: “Bersama teman-teman (saya) mendorong perencanaan program anggaran Gubernur baru terpilih lima tahun ke depan, lebih responsif gender.”
 
Hal ini dilakukan, “sehingga ada anggaran program yang dialokasikan dan direncanakan untuk memenuhi hak korban kekerasan agar sesuai standar layanan minimum”.
 
Di luar upaya seperti itu, Suraiya mengaku ikut mendorong kaum perempuan Aceh untuk berperan aktif dalam mengambil keputusan politik di tingkat daerah. “Dan ini tidak mudah,” akunya.
 
“Dimulai dari proses penguatan perempuan itu sendiri, seperti melalui pendidikan, training, sampai kemudian memastikan (agar) partai politik membuka ruangan tersebut untuk perempuan”.
 
Dalam upaya tersebut, Suraiya dan kawan-kawannya mengaku telah memastikan bahwa semua regulasi yang telah diberlakukan di Aceh responsif terhadap isu gender.
 
“Seharusnya Qanun ini benar-benar diimplementasikan oleh pemerintah, sehingga hak-hak perempuan Aceh terpenuhi,” tandas istri Tedjo Hadi ini, tetap dengan nada bersemangat. :: [BBCNews/7nov2012]
 
 

Leave a Reply