Terlupakan, Kearifan We Tenri Olle, Ratu Cendekia Bugis

We Tenri Olle, Setengah Abad Kearifan Memerintah 

Sitti Aisyah We Tenri Olle, Ratu Tanete (1855-1910)
Sitti Aisyah We Tenri Olle, Ratu Tanete (1855-1910)

[DAENGRUSLE.NET] – Sudah sejak lama, dalam tradisi Bugis, peran perempuan tidak hanya dijadikan simbol kejelitaan atau pengasuh rumah tangga bagi suami dan anak-anaknya. Tapi juga, perempuan Bugis sudah ikut mendominasi pranata sosial-budaya dan politik di kerajaan-kerajaan Bugis jauh sejak masa epos La Galigo mula dikisahkan. Nenek moyang Bugis yang disebut Tomanurung dikisahkan tidak saja hanya seorang lelaki bernama Batara Guru, tapi juga disandingkan dengan personifikasi perempuan jelita bernama We Nyilik Timo, permaisurinya. We Nyilik Timo juga dipercaya sangat berperan melahirkan gagasan-gagasan besar tentang pondasi bangunan kebudayaan Bugis awal.

Kerajaan-kerajaan Bugis, dikenal sejak dulu sangat egaliter dan demokratis. Pada masa-masa awal pemerintahannya, pemilihan raja didasarkan pada kecakapan individual dan kolektif dengan mendudukkan faktor garis keturunan kebangsawanan di urutan ke sekian. Hal ini sejalan dengan kearifan lokal masyarakat Bugis yang terungkap dalam peribahasa: Maccai na malempu, Waraniwi na magetteng (Cendekia lagi jujur, Berani lagi teguh pendirian). Pemimpin yang baik bagi masyarakat Bugis adalah pemimpin yang cendekia dan jujur serta berani yang dilengkapi dengan keteguhan pada pendirian yang benar.

Ada beberapa pemimpin yang muncul dari kalangan jelata, misalnya I Sangkilang di Gowa akhir abad 18, atau beberapa Arung Matoa Wajo yang dipilih dari pemimpin-pemimpin kampung. Ada pemeo yang terpatri dalam benak orang Bugis bahwa pada dasarnya raja adalah rakyat jelata juga, mereka naik ke tahta pimpinan hanya karena kualitas kemanusiaannya melebihi yang lain.

Egalitarianisme Bugis juga diterapkan dalam keseteraan gender. Tidak saja dalam pranata sosial keseharian, kaum perempuan Bugis ditempatkan di tataran setara dengan kaum lelaki bahkan dalam sistem politik. Kronik beberapa kerajaan Bugis semisal Luwu, Bone, Tanete, Soppeng, dan Wajo beberapa kali mencatatkan raja dari kalangan perempuan. Perempuan Bugis yang menjadi raja di kerajaannya, tidak saja hanya penghias silsilah saja (lontaraq), tapi juga berkontribusi aktif untuk kemajuan rakyatnya.

Dalam buku History Of Java (1817), Thomas Stanford Raffles mencatat kesan kagum akan peran perempuan Bugis dalam masyarakatnya: “The women are held in more esteem than could be expected from the state of civilization in general, and undergo none of those severe hardships, privations or labours that restrict fecundity in other parts of the world.” [perempuan Bugis Makassar menempati posisi yang lebih terhormat daripada yang disangkakan, mereka tidak mengalami tindakan kekerasan, pelanggaran privacy atau dipekerjakan paksa sehingga membatasi aktifitas/kesuburan mereka, disbanding yang dialami kaumnya di belahan dunia lain (Raffles, History Of Java, Appendix F, “Celebes”: halaman lxxxvi).

Tak hanya dihargai pendapatnya, terkadang beberapa perempuan Bugis terpilih menjadi penguasa di kerajaannya masing-masing. Kesetaraan hak politik perempuan ini diterima secara sadar dan bertanggung-jawab hampir di semua wilayah Bugis.Kronik raja-raja Bugis mencatat beberapa perempuan Bugis yang pernah memerintah di masing-masing wilayah diantaranya:  We Tenri Rawe (Raja/Pajunge ri Luwu, abad 14), Adatuang We Abeng (1634, Ratu Sidenreng), Datu Pattiro We Tenrisoloreng (1640-Bone), We Batari Toja Daeng Tallang (1724 – Bone), Adatuang Adi We Rakkia Karaeng Kanjenne (1700an, Sidenreng), Soledatu We Ada (ratu Soppeng, istri Arung Palakka, 1670), We Maniratu Arung Datak (1840

-Bone), Besse Kajuara (1860-Bone), Andi Ninong dan Petta Ballasari (Ranreng Matoa Wajo, abad 20), Andi Depu, Datu Balanipa Mandar, Andi Pancaetana (1915, penguasa Enrekang).

Di antara perempuan-perempuan penguasa itu, tercatat bahwa Besse Kajuara We Tenriawaru dan We Maniratu Arung Datak yang gencar melakukan perlawanan bersenjata melawan kolonial Belanda di masanya.

We Tenri Olle, Memerintah 55 Tahun

Satu di antara raja perempuan Bugis yang sejatinya berkontribusi banyak namun senyap di lintas sejarah adalah Raja Tanete, Siti Aisyah We Tenri Olle, putri ke-2 La Tunampare’ To Apatorang Arung Ujung, baginda ratu yang memerintah kerajaan Tanete cukup lama, selama 55 tahun dari tahun 1855 – 1910. Di tangannyalah, popularitas Tanete melintasi samudera dan benua hingga ke Eropa melalui kontribusinya menerjemahkan mahakarya epos La Galigo dari bahasa Bugis Kuno ke bahasa Bugis umum. Terjemahan ini kemudian dimanfaatkan oleh seorang peneliti Belanda, BF Matthes untuk mengadopsinya menjadi tulisan ilmiah yang akan diceritakan kemudian.

Kronik hidup We Tenri Olle, penguasa Tanete nan cerdas itu rupanya tak selengkap kronik penguasa lokal yang lain. Setidaknya dalam penelusuran di berbagai literatur, tahun kelahiran perempuan cerdas asal Tanete ini tidak pernah disebutkan. Perempuan peminat sastra dan pemerhati pendidikan ini hanya disebutkan tahun wafatnya di desa Pancana Tanete ri Lau, yang juga kampung kelahirannya, pada tahun 1919.

Masa remaja We Tenri Olle dihabiskan di istana Sultan Tanete yang saat itu diperintah oleh kakeknya dari pihak ibu: Raja Tanete La Rumpang Megga Matinroe ri Mutiara. Di tahun 1853, perempuan cerdas ini menemukan bintang terangnya kala berinteraksi dengan dua peneliti asal Eropa, BF Matthes dari Belanda dan Ida Pfeiffer asal Austria. BF Matthes, yang juga mendirikan sekolah di Tanete untuk kaum laki-laki terpandang, adalah peneliti asal Belanda yang menggali sastra klasik Bugis, I La Galigo. Ida Pfeiffer, perempuan petualang asal Austria itu sempat singgah di kerajaan Tanete dalam perjalanan keliling dunianya. Interaksi antara Matthes, Pfeiffer dan We Tenri Olle membuka bendala wawasan Tenri Olle muda untuk berpikiran maju melampaui zamannya.

Saat naik tahta, We Tenri Olle sejatinya harus menghadapi banyak pertentangan, bahkan dari ibundanya sendiri, Arung Pancana Collie Pujie. Sang Ibunda lebih menghendaki La Makkawaru, kakak lelaki sulung Tenri Olle untuk naik tahta. Tapi intervensi kakeknya La Rumpang, ayahanda kandung Tjollie Poedjie yang juga raja Tanete kala itu, membuat penentangan ibundanya mereda. Terlebih bahwa perilaku keseharian La Makkawaru yang gemar berjudi dan minuman keras membuatnya tersingkir dari tahta kekuasaan Tanete, satu hal yang bertolak belakang dengan perilaku Tenri Olle yang terkenal cerdas, terpelajar dan peminat sastra Bugis dan Islam.

Kerajaan Kecil yang Berperan Besar di Tangan Sang Ratu

We Tenri Olle menikah dengan Arung Bakka Soppeng, bernama La Sandji Unru, dan melahirkan tiga putri: We Pancaiktana Bunga Walie, I Pateka Tana, I Hawang dan seorang putra, La Sangaji Unru yang kelak meneruskan tahta ayahandanya sebagai Raja Bakka di Soppeng. Kedekatan antar raja-raja di daerah Bugis memungkinkan mereka saling kawin-mawin untuk mempertahankan kekerabatan dan stabilitas wilayah.

Kerajaan Tanete yang dipimpin oleh We Tenri Olle, merupakan kerajaan otonom kecil seluas 61.180 hektar dengan jumlah penduduk 13.362 jiwa pada masa itu. Kerajaan kecil ini dipersatukan dari 4 wilayah; Tanete ri Tennga, Tanete ri Lauq, Tanete ri Aja, dan Gattarang. Sebagaimana daerah lain di Sulawesi Selatan, mata pencaharian penduduk Tanete adalah bertani dan nelayan. Saat ini di zaman modern, bekas wilayah kerajaan Tanete dimasukkan sebagai salah satu wilayah administratif kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.

Saat memerintah, We Tenri Olle berusaha mempertahankan pola patron-klien dengan penjajah Belanda untuk menjaga keberlangsungan kehidupan masyarakat Tanete. Meski menyadari betapa terhinanya hidup dalam kungkungan penjajahan formal, namun ratu Tanete ini merasa kestabilan kerajaan jauh lebih dibutuhkan. Tak ada guna mengobarkan perlawanan bersenjata, apalagi kokohnya kekuatan militer Belanda saat itu tak memungkinkan untuk ditaklukkan.

Leave a Reply